Di Yogyakarta, hasil budaya masa klasik jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan hasil budaya masa prasejarah. Hasil budaya yang termasuk dalam masa klasik ini berasal dari abad VIII-abad X Masehi. Hasil budaya masa klasik yang paling menonjol dan mencari masa itu adalah candi dengan kemegahan dan keindahan arsitekturnya.
Menurut data dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta, sampai saat ini, di Yogyakarta sudah ditemukan kembali lebih dari 100 candi atau bangunan Hindu-Buddha lainnya, yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah Prambanan dan Kalasan. Bangunan-bangunan tersebut kebanyakan ditemukan dalam keadaan runtuh dan rusak, bahkan sebagian sudah tinggal menjadi nama desa (toponim), tanpa dapat ditemukan reruntuhannya.
Distribusi keberadaan candi-candi di Yogyakarta tidak merata. Daerah yang memiliki daya dukung lingkungan potensial lebih banyak memiliki candi, bila dibandingkan dengan daerah yang daya dukung lingkungannya kurang potensial. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa di daerah yang potensi lingkungannya kurang pun terdapat bangunan candi, seperti yang terjadi di daerah perbukitan di sebelah selatan Prambanan.
Bangunan-bangunan yang didirikan di daerah perbukitan di sebelah selatan Prambanan oleh NJ Krom, arkeolog Belanda disebut sebagai “Civa Plateau”, atau yang sering kita sebut sebagai “Siwa Plateau”. Sebutan ini sebenarnya kurang tepat mengingat candi-candi dan bangunan lain yang ada tidak hanya berlatarbelakang agama Hindu, tapi juga Buddha. Diantara bangunan dikawasan itu ada beberapa yang unik misalnya Candi Boko, Candi Barong, Candi Banyunibo, dan Candi Ijo.
Nah, acara trip kali ini, saya akan memandu kalian untuk mengenal lebih dekat keempat candi tersebut. Keempat candi “Siwa Plateau” lokasinya tidak berjauhan dan dapat ditempuh dalam satu hari, sayangnya karena informasi sejarah yang terlalu banyak untuk di-share, maka keempat candi tersebut akan saya bagi dalam empat posting yang bersambung dan saling terkait. Yuks, kita mulai trip candi-candi di kawasan Siwa Plateau 😉
Candi Boko
Candi Boko dapat disebut sebagai kompleks Ratu Boko karena luas dan banyaknya bangunan di situs tersebut, diantaranya berupa gapura-gapura, candi batu putih, batur pendapa, miniatur candi, tembok keliling, kolam dan stupa. Adanya variasi temuan yang berbeda dengan temuan candi pada umumnya, maka kompleks Ratu Boko diasumsikan sebagai reruntuhan suatu bangunan keraton.

Kompleks bangunan yang dikenal sebagai Keraton Ratu Boko ini terletak di Bukit Boko, sebelah selatan Prambanan. Dilihat dari lokasinya, kompleks Ratu Boko mempunyai keunikan dan daya tarik tersendiri karena dari kompleks tersebut dapat dinikmati pemandangan yang indah. Sejauh mata memandang akan terlihat Candi Prambanan dengan latar belakang Gunung Merapi dan suasana pedesaan dengan sawah subur yang ada disekelilingnya. Sementara itu, lingkungan sekitar Ratu Boko sendiri kurang subur, sehingga untuk membangun dan menempatinya diperlukan pengetahuan dan tehnik adaptasi secara khusus, menurut Kusen, berkaitan pula dengan adanya bencana letusan Gunung Merapi (Kusen. 1995. “Kompleks Ratu Boko: Latar Belakang Pemilihan Tempat Pembangunan”, Dalam berkala Arkeologi Th.XV Edisi Khusus, Manusia dalam Ruang: Studi Kawasan Terhadap Arkeologi, Hlm.128-132).

Ada sejumlah cerita rakyat terkait dengan Keraton Ratu Boko. Salah satu cerita bahwa Keraton Ratu Boko adalah keraton dimana ayah dari Roro Jonggrang berkuasa. Cerita rakyat ini terkait dengan mitos dibangunnya Candi Sewu dalam satu malam, dikawasan Candi Prambanan. Tentu saja, cerita rakyat semacam ini hanya legenda.
Dari Prasasti Siwagrha, dapat diketahui bahwa pembangunan Candi Prambanan pada tahun 778 Saka (856 Masehi) oleh Rakai Pikatan, sebagai tanda kemenangan Rakai Pikatan dalam pertempuran melawan Balaputeradewa yang berlangsung di Bukit Boko. Jadi, ada kemungkinan Bukit Boko adalah tempat yang pernah dipakai Balaputeradewa dalam masa kepemimpinannya yang singkat memerintah Mataram Kuno sebelum kemudian dia dilengserkan oleh kakaknya sendiri, Pramudhiawardhani, dan kemudian melarikan diri ke Sumatra Selatan, dan menjadi raja di Sriwijaya.

Dari beberapa kompleks wisata candi yang ada di selatan Prambanan, Keraton Ratu Boko inilah yang paling sering dikunjungi setelah Candi Prambanan. Meski begitu, dari tahun ke tahun, tidak ada pembenahan dan perawatan yang semestinya di kawasan Cagar Budaya ini. Jika anda sering datang kesini, dipastikan anda akan banyak bertemu dengan orang-orang yang sedang photo pre-wedding atau orang-orang yang berusaha mengambil gambar senja dari Bukit Boko.
Apalagi lokasi Candi yang dikanan kirinya adalah perumahan perkampungan, membuat anda sebenarnya bisa masuk ke dalam tanpa harus bertemu dengan petugas retribusi. Bukan itu saja, kawasan bukit Boko ini adalah tempat merumputnya kambing-kambing penduduk local.

Riwayat pendirian dan penggunaan bangunan di kompleks Ratu Boko dapat diketahui dari isi sejumlah prasasti yang ditemukan di kompleks ini. Berdasarkan sumber prasasti, daerah ini pada masa lalu bernama Walaing. Prasasti tertua yang ditemukan berangka tahun 792 Masehi, berisi tentang peringatan pendirian Abhayagiriwihara oleh Rakai Panangkaran. Berdasarkan struktur bangunan dan prasasti-prasasti yang ditemukan tersebut, Kusen berpendapat bahwa semula kompleks bangunan di Boko merupakan sebuah wihara untuk pendeta Buddha yang bernama Abhayagiri (Kusen. 1995. “Kompleks Ratu Boko: Latar Belakang Pemilihan Tempat Pembangunan”, Dalam berkala Arkeologi Th.XV Edisi Khusus, Manusia dalam Ruang: Studi Kawasan Terhadap Arkeologi, Hlm.128-132).

Selanjutnya, pada tahun 856 Masehi kompleks tersebut difungsikan sebagai keraton oleh seorang penguasa beragama Hindu yang bernama Rakai Walaing Pu Khumbayoni. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila unsur agama Hindu dan Buddha tampak pada kompleks bangunan ini.
Unsur Hindu dapat ditunjukkan melalui yoni, tiga miniature candi, arca Ganesha dan Durga, serta lempengan emas dan perak bertuliskan mantera agama Hindu. Sedangkan Unsur Buddha terlihat dari adanya arca Buddha, reruntuhan stupa, dan stupika.

Pemilihan bukit Boko sebagai lokasi wihara dan keraton tampaknya di satu sisi didasari atas pertimbangan suasananya yang tenang dan mempunyai pembatas alami yang memisahkan kehidupan baik para pendeta maupun penguasa dengan masyarakat yang bermukim di sekitar bukit. Di sisi lain, bukit ini dekat dengan kawasan yang subur dan padat penduduk.
Kompleks bangunan di Bukit Boko dapat disebut sebagai keraton, selain memang disinggung dalam prasasti, juga karena kemiripannya dengan gambaran sebuah keraton. Dalam kitab kesusastraan, antara lain Bharatayudha, Kresnayana, Gatotkacasraya, dan Bhomakawya disebutkan bahwa keraton merupakan kompleks bangunan yang dikelilingi pagar bergapura, di dalamnya terdapat kolam dan sejumlah bangunan lain seperti bangunan pemujaan dan diluar keraton terdapat alun-alun. Adanya sejumlah umpak serta batur-batur dari batu andesit di kompleks ini mengindikasikan bahwa dahulu bangunan-bangunan yang berdiri diatasnya terbuat dari bahan yang mudah rusak seperti kayu, sehingga tidak ditemukan bekasnya.

Berdasarkan letaknya, bangunan-bangunan pada kompleks Ratu Boko dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu kelompok barat, tenggara, dan timur. Bangunan-bangunan pada kompleks tersebut terletak pada teras-teras yang dibuat pada punggung hingga puncak bukit, dengan halaman paling depan terletak di sebelah barat, terdiri atas tiga teras. Masing-masing teras dipisahkan oleh pagar dari batu andesit setinggi 3,50 meter, dan tebing teras diperkuat dengan susunan batu andesit. Batas halaman sebelah selatan juga berupa pagar dari batu andesit. Batas halaman sebelah selatan juga berupa pagar dari batu andesit, namun batas utara merupakan dinding bukit yang dipahat langsung.
Teras pertama dengan teras kedua dihubungkan oleh gapura I, sedangkan gapura II menghubungkan teras kedua dan ketiga. Di bagian luar pagar yang membatasi teras kedua dan teras ketiga terdapat parit selebar 1,50 meter. Dinding dan dasar parit diperkuat dengan susunan batu andesit. Bangunan lain pada kelompok barat meliputi fondasi (batur) dari batu putih yang diberi kode A, sebuah batur (batur B) yang diduga sebagai tempat pembakaraan, serta sebuah kolam kecil.

Kelompok bangunan di bagian tenggara meliputi struktur lantai, gapura, batur pendopo, batur pringgitan, miniature candi, tembok keliling, dua kompleks kolam, dan reruntuhan stupa. Kedua kompleks kolam dibatasi pagar dan memiliki gapura sebagai jalan masuk. Bangunan kelompok timur meliputi satu buah kolam dan dua buah gua yang disebut Gua Lanang dan Gua Wadon. Hal yang menarik, pada dasarnya kolam dipahatkan lingga yoni, langsung pada batuan induk (bedrock).

Untuk meningkatkan daya tarik wisatanya, di Candi Boko diadakan pementasan sendratari “Sumunaring Abhayagiri”, semacam Sendratari “Ramayana” di Candi Prambanan, ataupun sendratari “Mahakarya” di Candi Borobudur. Belum terlalu popular, tapi setidaknya telah ada usaha untuk meningkatkan daya tariknya. Bukan itu saja, pemerintah daerah beberapa tahun terakhir ini telah mencoba meningkatkan minat wisata ke Keraton Ratu Boko, dengan sesering mungkin mengadakan kegiatan dikawasan ini, seperti acara jalan santai atau sepeda gembira.
Menjelang Perayaan Nyepi, biasanya ada acara “Mendhak Tirta” untuk mengawali acara Tawur Agung (Wisuda Bhumi) di Candi Prambanan. Acara “Mendhak Tirta” adalah mengambil air suci dari tujuh mata air di kawasan Jawa Tengah, salah satunya dari mata air di Bukit Boko. Lalu dengan diiringi gamelan baleganjur, iring-iringan tersebut berjalan kaki sejauh 3 km ke candi Prambanan, air akan didoakan dan diarak keliling Candi Prambanan oleh Wasi dan Pandita. Pada hari-hari besar seperti ini, tentu saja keramaiannya akan menyedot banyak perhatian dari wisatawan, terutama wisatawan asing.

Sayangnya, hingga hari ini saya belum menemukan petugas yang bertugas “menceritakan” Keraton Ratu Boko pada para pengunjung yang ingin belajar sejarah. Tentunya, bagi orang awam seperti kita, susah mencintai sejarah jika hanya melihat tumpukan batu andesit tanpa ada yang menceritakannya. Benar khan temans?
to be continued…Candi Barong 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
*(sumber data sejarah: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta)