Hari masih begitu pagi, adzan subuh belum berkumandang saat sebuah pesan singkat masuk ke layar handphone. Sebuah undangan Puja Waisak dari teman-teman umat Budha Tantrayana Kasogatan datang bersama hembus gigil pagi. Saya kembali merapatkan selimut sambil membaca rundown prosesi Puja Waisak yang berlangsung di beberapa candi di DIY dan Jawa Tengah.
Hari Raya Waisak tahun 2018 jatuh pada Selasa, 29 Mei 2018, tepat di hari ke-13 Ramadhan, di saat purnama dalam energi penuh.
Matahari masih malu-malu bersinar saat saya tiba di Sorogenen, Kecamatan Kalasan, rumah salah satu pemimpin jemaat Budha Tantrayana Kasogatan yang ada di Jogja. Saya tersenyum dan mulai menyalami satu per satu umat Budha Tantrayana Kasogatan. Tidak banyak memang jumlah jemaat Budha Tantrayana Kasogatan, akan tetapi kehadiran mereka selalu ada dan diakui di antara ke-bhinneka-an Jogja.
Saya berkali-kali merapatkan jaket menutupi kebaya putih, kembali membenahi kain jarik yang menutupi setengah tubuh ke bawah. Udara segar dan gigil dingin bercampur jadi satu dalam hening yang syahdu. Kami serombongan naik mobil menuju ke Umbul Geneng di Kabupaten Klaten.
Dalam ritual Puja Bakti umat Budha Tantrayana Kasogatan, air memiliki posisi penting yang tidak boleh terlewatkan sebagai salah satu bagian dari keseimbangan Alam Semesta. Langkah kaki pertama kami tiba di Umbul Geneng seiring kokok ayam jantan di kampung sebelah. Umbul Geneng adalah satu dari 7 sumber mata air kuno (patirtan) dalam kepercayaan agama Budha Tantrayana Kasogatan.
Pengambilan air dari 7 patirtan atau mata air kuno, yaitu Umbul Geneng, Umbul Cokro Tulung, Patirtan Cabean Kunti, Sendang Pitu, Cepogo, Umbul Pluneng merupakan bagian dari prosesi Puja Panca Tathagata.

Prosesi selanjutnya adalah Melukat. Melukat dalam Budha Tantrayana Kasogatan hampir sama dengan melukat yang dilakukan umat Hindu Bali, yaitu upacara pembersihan diri manusia.
Melukat adalah ritual simbol bahwa manusia sebelum Puja Bakti (sembahyang) haruslah dalam keadaan bersih pikiran dan jiwa secara jasmani dan spiritual. Prosesi melukat dilaksanakan di Umbul Geneng dilanjutkan dengan Wejangan Dharma oleh Mpu Kamandriya, Pemangku Umbul Geneng.

Acara kemudian dilanjutkan dengan Bhakti Sosial Penyembuhan di Candi Sojiwan hingga matahari bergeser ke barat. Setelah sejenak istirahat, perjalanan berlanjut ke Candi Banyunibo.
Jika hari sebelumnya Puja Bhakti dilaksanakan di Candi Kalasan dalam rangka memohon perlindungan untuk Nusantara kepada Dewi Tara. Maka siang ini, prosesi di Candi Banyunibo dinamakan dengan Puja Panca Tathagata.
Saya mengeluarkan kamera dari tas, mengedarkan pandangan mata dan sibuk mengabadikan momen. “Sore yang indah, ya?”, suara seorang laki-laki membuat konsentrasiku terpecah. Aku menoleh mencari sumber suara. Laki-laki itu bernama R. Aku tak begitu mengenalnya. Ini pertama kalinya kami bertemu dalam Puja Bhakti.
Aku kembali melempar pandangan pada langit sore yang sangat indah. Nampak di sana, di depan Candi, sawah-sawah yang hampir memasuki musim panen. Candi Banyunibo tepat menghadap arah barat. Larik-larik cahaya sore membuat Candi Banyunibo berwarna emas dalam keanggunannya.

“Kau tahu, dahulu tempat ini merupakan tempat tinggal para Bhikuni”, suara R kembali memecah keheningan. Percakapan singkat yang membuatku menurunkan kamera.
R berjalan acuh keluar dari halaman Candi. Aku membenahi jarik yang kupakai, berjalan cepat mengikutinya. Candi Banyunibo terletak di Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY.
Tak banyak yang tahu lokasi Candi Banyunibo karena memang candi ini terletak di bawah bukit, jauh dari hiruk pikuk dunia. Kecuali kalian umat Buddha, Hindu, atau seorang pemerhati batuan candi, rasanya jarang sekali orang yang tahu lokasi Candi Banyunibo.
Padahal tidak sulit menemukan Candi Banyunibo. Kita hanya cukup menemukan Kompleks Candi Prambanan di ujung timur DIY. Salah satu tempat wisata candi yang sangat terkenal seantero negri. Menuju ke sana pun cukup gampang, ada angkutan publik yaitu bus transjogja.
Turun saja di depan Candi Prambanan, lalu menyebrang ke selatan, ke Pasar Prambanan. Menuju ke selatan, hingga menemukan plang arah “Keraton Boko”, ikuti jalan hingga bertemu plang “Candi Banyunibo”. Hanya 4 km dari Pasar Prambanan. Jangan khawatir, sepanjang perjalanan menuju Candi Banyunibo, mata Anda akan dicuci dengan hamparan sawah hijau yang saat ini menguning menjelang musim panen. Letak Candi Banyunibo di sisi tenggara Candi Bokoharjo.

“Dulunya ada dua patung Bodhisatwa dan satu patung Budha di dalam candi. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi”, R bercerita sambil kami terus berjalan mengelilingi candi. “Tidak ada yang tahu dengan pasti di mana patung-patung tersebut saat ini berada”, jelas R sebelum aku sempat bertanya.
“Hingga kini belum ada satupun prasasti yang menyebutkan Candi Banyunibo dibangun tahun berapa, oleh siapa, untuk siapa. Candi ini hanya diperkirakan di bangun di abad yang sama dengan candi-candi di sekitarnya karena ada garis imajiner yang menyambungkan antara Candi Kalasan, Candi Sari, Candi Sambisari dan Candi Banyunibo dalam kajian spiritual umat Budha Tantrayana Kasogatan”.
“Bagian yang menarik dari Candi Banyunibo adalah candi ini dibangun dekat dengan kawasan Civa Plateau, sebutan dari NJ Krom (arkeolog Belanda) untuk perbukitan di atas Candi Banyunibo”.
“Coba lihat ke sana, di atas bukit itu letak Candi Barong”, kata R sambil menunjuk ke arah timur laut. “Lalu di bukit yang itu lokasi Candi Ijo, Kraton Boko, Candi Dawangsari yang semuanya adalah Candi Hindu”.
“Tidakkah mengherankan bahwa Candi Banyunibo adalah Candi Buddha yang dikelilingi oleh Candi Hindu. Candi Buddha dibangun di tengah-tengah peradaban Candi Hindu?”

Kami berhenti di sebuah pasar ramadhan milik Genpi Jogja. Sebuah komunitas anak muda yang fokus untuk memajukan pariwisata Jogja dan Indonesia. Komunitas ini di bawah naungan Kemenpar. Beberapa hasil karya mereka bisa dilihat di genpi.co.
Tampak beberapa penjual sedang menyiapkan dagangan. Jajanan pasar yang bermacam-macam. “Ini namanya Pasar Banyunibo. Semua penjualnya adalah warga Dusun Cepit. Yang paling terkenal di sini adalah nasi telang. Nasi dengan pewarna dari bunga telang”.
“Kalau kau memperhatikan, relief di Candi Banyunibo adalah relief perempuan bernama Dewi Hariti dikelilingi anak-anaknya. Dewi Hariti adalah dewi kesuburan. Warga lokal percaya bahwa bunga telang adalah bunga favorit Dewi Hariti, karena itu mereka menanamnya”, untuk pertama kalinya R tersenyum simpul.

“Enten anglo (ada anglo), bu?”, sapa R pada salah satu penjual.
“Enten (ada)”. Seorang ibu di ujung los pasar yang terbuat dari bambu itu menjawab, “Tapi di rumah, mas. Saya ambilkan?”.
“Ga usah, bu. Biar saya ambil sendiri”, jawab R sambil tersenyum. ”Di rumah ada orang, kan?”.
Kami berjalan melintasi Pasar Banyunibo. Kuhitung ada 12 lapak. Satu los dibagi menjadi 6 lapak. Di tengah pasar ada kursi-kursi panjang terbuat dari kayu. Ada panggung lengkap dengan soundsystem dan sudut yang sengaja di desain sebagai spot berfoto. Ada gardu semacam balai-balai yang jika menyentuhnya, rasanya ingin merebahkan kepala.

Selepas gapura selamat datang di Pasar Banyunibo, kiri kanan dipagari dengan tongkat obor yang aku yakin sekali, di malam hari suasana romantis datang dari cahaya obor tersebut.
Kami memasuki rumah berwarna biru. Rumah Ibu Ngatiyem. Rumah merangkap toko kelontong yang dikelola putrinya. Di rumah itu, R menitipkan anglo yang biasa dipakai untuk membakar dupa Puja Bhakti.
“Lihat, sapinya bu Ngatiyem gemuk-gemuk”, tunjuk R pada kandang sapi yang nampak dari halaman depan rumah.
“Sepertinya tempat ini indah jika di pagi hari. Aku membayangkan sawah di halaman Candi dalam larik sinar mentari. Lalu pohon-pohon dalam berkabut. Udara segar dimana-mana”, kataku.
“Banyak kok teman-teman luar kota yang menginap di sini untuk menikmati keeksotisan Candi Banyunibo di pagi hari. Beberapa rumah sudah menyediakan homestay dengan harga yang murah, sekitar 30-50 ribu, tergantung rumah warganya”
Kami berjalan buru-buru melintasi setengah Pasar Banyunibo. Siang menjelang sore, anak-anak muda sudah mulai berdatangan ke Pasar Banyunibo. Gardu khusus milik Lurah Pasar di letakkan dengan posisi paling mencolok mata, tepat dimana semua orang yang berjalan dari parkir masuk ke pasar akan melewatinya pertama kali.
Jemparingan (panahan khas Jawa), berkuda, naik bendi, bermain Long Bumbung (mercon besar dari bambu panjang), memandikan sapi dijadikan warga dusun Cepit sebagai atraksi tambahan bagi Pasar Banyunibo di luar atraksi hiburan di atas panggung.

“Dusun Cepit ini, semua warganya 100% muslim. Di sini tinggal 70 KK. Kamu lihat kan masjid besar berwarna biru itu. Mereka menyebutnya Candi Biru”, R terkekeh sambil menunjukkan sebuah masjid besar. “Itu candi mereka dan itu candi kita”, R tersenyum sambil menatap Banyunibo.
Pasar Banyunibo ini adalah pesona Ramadan yang sulit dicarikan padanannya di tempat lain. Bahkan di luar negeri nun jauh di sana. Lihat saja, ada peradaban Budha dan Hindu di tengah kampung Muslim.

Teman-teman Budha Tantrayana Kasogatan satu per satu datang memenuhi halaman Candi Banyunibo. Prosesi Puja Panca Tathagata sangat penting dalam Budha Tantrayana Kasogatan, ini adalah prosesi spritual inti dan sangat privat dimana doa-doa dirajahkan ke Alam Semesta. Sedangkan Puja Waisak yang berlangsung malam harinya dianggap semacam resepsi sebuah hari raya bagi umat Budha Tantrayana Kasogatan. Puja Panca Tathagata di akhiri dengan ruwatan potong rambut, bakar rambut di halaman luar candi, tanam rambut di Bukit Boko, dan larung rambut di Kali Opak.

Saat matahari tergelincir tenggelam di ufuk barat, kami sudah duduk di sekitar Candi Sojiwan. Makan malam, membersihkan diri dan mulai mematutkan diri dalam pakaian terbaik berwarna putih. Bulan purnama nampak penuh di langit malam saat perjalanan kami lanjutkan ke Candi Sewu. Sebuah resepsi akbar sebagai puncak acara Puja Waisak di Candi Sewu bersama Majelis Budhayana Indonesia telah tersaji.

Kami berjalan kaki memasuki tanah lapang Candi Sewu tanpa alas kaki dengan membawa dupa dan sesaji. Bunga di tangan mengajarkan kami bahwa secantik apapun, setiap kehidupan pasti akan layu. Dupa yang kami bawa mengajarkan bahwa hidup harus didermakan, agar kelak setelah mati, seperti dupa, “aroma wangi” hidup kita tetap akan memenuhi atmosfer meski tubuh sudah tidak ada lagi di bumi.

Sedangkan berjalan tanpa alas kaki mengajarkan satu hal, bahwa hidup kita berasal dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah.
Semakin malam, udara terasa semakin menggigil. Tapi energi yang begitu besar dalam Puja Waisak membuat hati kami terasa hangat. Saya melihat wajah-wajah lelah, namun bahagia. Semoga toleransi agama di Jogja dan Indonesia tetap selalu terpelihara.
OM TARE TUTTARE TURE SOHA.