Biennale Jogja XI #JNM


Biennale XI #JNM
Biennale XI #JNM

Selain di TBY, Biennale Jogja XI juga bertempat di Jogja National Museum, terletak di Jl. Gampingan no. 1, Yogyakarta. Temanya pun masih sama Equator #1 Shadow Lines: Indonesia Meets India.

Dari yang dipamerkan di JNM, nampaknya lebih menonjolkan sisi agama dan kekerasan. Tapi, menurut saya tema-nya sendiri sebenarnya adalah toleransi beragama. Hanya dikemukakan dengan cara yang berbeda.

Dalam Hindu ada beberapa cerita yang jika kita hayati, sebenarnya mengandung kisah-kisah tentang kekerasan. Semisal saja, Dewi Durga, shakti (istri) dari Dewa Siwa ini biasanya digambarkan memiliki banyak tangan yang sedang memegang bermacam senjata dengan kaki menginjak kepala raksasa.

Atau lihat saja kisah Ganesha, putra Parvati ini, kepala aslinya sesungguhnya telah hancur oleh senjata Siwa (ayahnya sendiri). Tapi dapat dihidupkan lagi oleh Dewa dengan “tumbal” memenggal salah satu kepala makhluk hidup yang menghadap utara. Kebetulan saat itu yang ditemukan adalah kepala anak gajah yang sedang menyusu pada ibunya. Alhasil, kepala anak gajah dipotong, dibawa ke hadapan dewa, dan dipasangkan pada Ganesha, putra Parvati. Jadilah, dewa Ganesha yang kita kenal saat ini adalah dewa berkepala gajah.

Cerita lain adalah dalam kisah Ramayana. Bagaimana Rahwana melakukan pengorbanan yang sangat kontroversial dan mengguncang langit bumi demi mendapat “perhatian” dewa. Rahwana memotong kepalanya sendiri. Beruntungnya, Rahwana itu berjuluk Dasamuka jadi punya 10 kepala yang bisa dipotongnya berkali-kali dan dilempar ke api pemujaan.

Kenapa yang menjadi contoh dalam Biennale XI kali ini lebih banyak ke agama Hindu? tentu saja karena di India, warganya mayoritas beragama Hindu.

Tapi yang harus disadari bahwa tiap agama dan kepercayaan, apapun itu memiliki banyak cara melakukan persembahan bagi apapun yang mereka sebut Tuhan, terkadang bahkan menggunakan cara-cara yang menurut kita sangat “radikal” karena pengorbanan selalu menuntut tumbal dan darah.

Kekerasan agama menjadi sangat luas untuk dapat didefinisikan karena tiap agama lalu percaya “menyebarkan agama” artinya mendapatkan surga. Proses penyebaran ini pun menggunakan cara-cara kekerasan. Kita belajar bagaimana Islam dengan Kristen/ Katolik menjadi bermusuhan karena adanya luka sejarah, Perang Salib. Konsep pemikiran bahwa surga itu milik agamaku dan bukan agamamu, menjadi penyebab disintegrasi yang berbuntut pada kekerasan agama.

Hmmm, pernah berpikir ga, kalo Islam ga pernah menguasai hampir seluruh Jazirah Arab, hingga ke Konstantinopel –ibukota Bizantium– yang kemudian berganti nama menjadi Istanbul. Jika saja para pedagang Arab tetap mau berdagang dengan orang-orang Eropa –yang notabene tidak Islam–, maka orang-orang Eropa tidak perlu melakukan pelayaran mengelilingi samudera untuk mencari rempah-rempah hingga ke negri asalnya, yaitu Indonesia. Jika orang-orang Eropa tidak pernah datang ke negara kita (Nusantara), mungkin kita tidak akan pernah dijajah oleh Eropa (Belanda) selama 350 tahun. Who know? Bicara masa lalu, kita selalu bicara seandainya tidak begini, seandainya tidak begitu =(

Back to Biennale XI, keberagaman agama di dalam sebuah masyarakat menjadi hal yang tak dapat dipungkiri. Nampaknya India dan Indonesia memiliki kesamaan itu. Sebagai contoh salah satu film terkenal dari India yang mendapat penghargaan Golden Globe: Slumdog Millionaire, menggambarkan bagaimana masyarakat India yang mayoritas hidup dalam kemiskinan mesti juga hidup dalam perbedaan agama yang berimplikasi pada kekerasan antar-agama juga, kadang jadi kekerasan antar-suku juga.

Konflik ini yang juga ingin dikemukakan oleh pilem “?” karya Hanung Bramantyo (yang sebenarnya pilemnya juga sarat konflik, karena pilem ini dianggap menyadur novel “tanda tanya”-nya Alm. Lan Fang). Atau masih inget kan pilem indie “CIN(T)A- Cina,Tuhan,dan Anisa-“. Bagaimana kemudian (terkadang) cinta dikalahkan oleh perbedaan agama, perbedaan suku, perbedaan sosial, dll. Meski dalam kisah lain perbedaan juga digambarkan berakhir happy ending. Tapi kita harus belajar paham, bahwa terkadang ada beberapa perbedaan yang tak mampu ditembus cinta. Tentunya cinta yang dimaksud dalam hal ini adalah cinta dalam konsep Universal. Keberagaman dalam kultur, agama, sejarah inilah yang membuat Indonesia-India memiliki problem sosial yang hampir sama.

Kekerasan kerap terjadi karena adanya ketidaktoleransian antar umat beragama. Ini menjadi kidung tragis dalam luka sejarah karena sesungguhnya kita, orang-orang yang tinggal di India dan Indonesia, menyadari sekali bahwa sejak jaman nenek moyang, kita memang hidup dalam perbedaan, entah itu perbedaan agama ataupun perbedaan suku. Lantas setelah hidup berabad-abad bersama, kenapa baru sekarang kita mempersoalkan semua perbedaan?

This slideshow requires JavaScript.

Ohiya, ada satu hal baru yang dipelajari dari Biennale XI. Di India, patung dewa yang mereka hormati, meski rusak terkadang tak berani mereka buang. Tetap di hormati dan diletakkan ditempat-tempat tertentu karena mereka percaya, membuangnya akan mendatangkan bala.

Lucunya, jika patung dewa atau gambar dewa diletakkan dipinggir jalan. Mereka akan menghormati tembok pinggir jalan tempat patung atau gambar dewa diletakkan. Ini jauh efektif dipergunakan oleh pemerintah untuk menjaga kebersihan tembok-tembok pinggir jalan daripada sebuah plang “dilarang membuang sampah” atau “dilarang kencing sembarang”. Keren khan! 😉

—The End—

Tulisan Terbaru:

Advertisement