
“Anda belum benar-benar mengenal Kalimantan Selatan bila belum melihatnya dari air”, ucap Pak Heriansyah membuka percakapan sore itu.
Saya sedang duduk di atas atap klotok (kapal penumpang khas Banjar), memandang rumah-rumah kayu yang berjajar di tepian Sungai Martapura saat waktu bergerak lebih cepat di Banjarmasin.
Kami berangkat dengan penerbangan siang dari Soekarno-Hatta menuju Bandar Udara Syamsudin Noor yang terletak 25 kilometer dari pusat kota Banjarmasin. Rasanya baru saja tiba dan buru-buru menuju Siring Sungai Martapura yang berlokasi di jalan Piere Tendean saat warna oranye senja memantul di atas air sungai Martapura. Shutter kamera pun tak mau berhenti bergerak terus merekam keindahan senja dari atas sungai.
“Kalimantan Selatan adalah surga bagi penyuka fotografi dan petualangan. Di tempat ini banyak spot foto yang tidak bisa ditemukan di daerah lain”, Pak Heriansyah, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan melanjutkan percakapan.
Pernyataan yang sangat tepat mengingat sejak masa Hindia Belanda, keindahan Kalimantan Selatan dengan sungainya selalu menjadi daya tarik. Sejak lampau, memang banyak orang Eropa yang sudah berwisata ke sungai-sungai yang menawan di Kalimantan Selatan. Ini ditunjang dengan adanya armada kapal KPM dan NISM yang siap mengantarkan wisatawan Eropa berkeliling keindahan alam Borneo bagian selatan.
Keindahan sungai-sungai di Kalimantan Selatan bak permata dunia timur. Satu diantaranya adalah majalah Tropisch Nederland terbitan 1939. Majalah ini cukup “getol” mempromosikan keindahan sisi selatan alam Borneo. Wajar saja bila orang-orang Eropa di Hindia Belanda, bahkan menjuluki kota Banjarmasin sebagai Venetie van het Oosten atau The Venice from Eastern.
Kala itu mengunjungi Banjarmasin atau Venice di Timur dengan segala keindahannya adalah wisata langka bagi orang Eropa. Jika Venesia terkenal dengan gondolanya sebagai sarana transportasi, maka Borneo pada zaman dahulu juga memiliki jenis perahu yang tidak kalah indahnya dari gondola. Perahu ini bernama jukung.

Saya masih ingat aroma sungai Martapura yang memenuhi udara di sore itu. Aroma lumpur yang dibawa dari sungai-sungai di hulu bercampur dengan wangi buah-buahan yang dijual para acil jukung Pasar Terapung. “Sedang musim mangga kuani”, sahut salah seorang acil saat saya bertanya mengapa mangga yang dijualnya begitu segar.
Sore itu, bukan hanya kegembiraan acil jukung yang terekam oleh kamera, tapi juga keriuhan aktifitas warga Banjarmasin yang tinggal di tepian sungai Martapura nampak jelas. Mulai dari mencuci baju, mandi hingga memasak nampak jelas dari atas klotok yang kami naiki.
Urang Banjar membangun rumah dan kampung mereka di atas sungai. Rumah-rumah berbahan kayu ulin, kayu kebanggaan warga Kalimantan. Kayu ulin adalah kayu yang memiliki keistimewaan karena ketahanannya terhadap perubahan suhu, kelembapan dan pengaruh air laut.
Urang Banjar (orang Banjar) merupakan etnis mayoritas yang mendiami Kalimantan Selatan. Urang Banjar adalah bagian dari masyarakat sungai yang meletakkan ombak, angin, dan arus air sebagai urat nadi kehidupan mereka. Selama matahari masih terbit dari Timur, maka selama itu juga urang Banjar bersahabat dengan sungai.
Kehidupan yang berbasis sungai inilah yang membuat Kalimantan Selatan terkenal dengan destinasi wisata Pasar Terapung. Menurut H. Achmad Mawardi, penasehat Lambung Mangkurat Museum Community (LMMC) Kalimantan Selatan, pasar terapung (floating markets) di Kalimantan Selatan sudah ada sejak 400 tahun yang lalu.
Pernyataan ilmiah ini memperkuat pendapat sebelumnya, Idwar Saleh (1981) yang mengungkapkan bahwa pasar terapung sudah ada pada tahun 1530 Masehi pada masa pemerintahan Sultan Suriansyah (Pangeran Samudera) yang terletak pada pertemuan Sungai Karamat dan Sungai Sigaling. Kemudian bergeser ke tepi sungai Barito di daerah muara Sungai Kuin menjelang akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17 Masehi. Inilah cikal bakal dari Pasar Terapung Muara Kuin yang berlokasi di Kecamatan Banjarmasin Utara, Kalimantan Selatan.
Demikian halnya dengan pasar terapung Lok Baintan di Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar, diduga sudah ada pada abad ke-16. Tetapi baru dipergunakan secara umum ketika perpindahan keraton Banjar ke kawasan Kayu Tangi Martapura sejak awal abad ke-17. Tepatnya, tahun 1612.

Senada dengan Abdul Haris, Sekda Provinsi Kalimantan Selatan dalam sambutannya mewakili Gubernur Kalimantan Selatan menyebutkan bahwa Festival Wisata Budaya Pasar Terapung bertujuan memperkenalkan budaya sungai yang telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. “Budaya sungai juga ada di daerah lain, tapi di Kalimantan Selatan ada kekhasan tersendiri, yaitu di bidang transportasi dan perdagangan”, tegasnya lagi. “Keunikan budaya ini adalah satu-satunya di Indonesia. Budaya, sosial, politik dan sekarang fungsi sungai bertambah satu lagi, yaitu sebagai pariwisata”, lanjut Abdul Haris.
Setiap bulan agustus, Kalimantan Selatan punya agenda perhelatan akbar, yaitu Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018 yang tahun ini berlangsung 24 – 26 Agustus 2018. Festival ini masuk ke dalam 100 Calender Of Event (CoE) Kementerian Pariwisata. Even tahunan Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018 sekaligus merupakan bagian rangkaian kemeriahan Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan ke-68 dan HUT Kemerdekaan RI ke-73.
Sudah 5 (lima) tahun terakhir Festival Wisata Budaya Pasar Terapung mengambil lokasi di Siring Tepian Sungai Martapura. “Ini destinasi wisata baru yang dibuat oleh pemerintah daerah”, terang Heriansyah.
“Meski ini destinasi wisata baru, akan tetapi Pasar Terapung Siring tidak mematikan pasar terapung yang lama”, ungkap Heriansyah. “Siring justru menambah destinasi wisata baru di Kalimantan Selatan”.

Bagaimana tidak? Pasar terapung Siring Tepian Sungai Martapura terletak di tempat yang sangat strategis. Tepat di pusat kota Banjarmasin, yaitu di depan halaman kantor lama Gubernur Kalimantan Selatan, bersebelahan dengan tugu KM.0 Banjarmasin. Sepanjang waterfront Sungai Martapura dihias ciamik dengan lampu-lampu dan pohon-pohon yang membuat teduh. Sebuah tempat yang pantang dilewatkan jika kamu sedang berlibur di Kalimantan Selatan.
Ada jembatan Merdeka yang sengaja di hias warna-warni, menara pandang, patung bekantan setinggi 3 (tiga) meter, Masjid Raya Sabilal Muhtadin kebanggaan warga Banjarmasin dan pusat kuliner di sepanjang tepian Sungai Martapura.
“Dulu, acil jukung pasar terapung hanya sedikit. Semenjak adanya Festival Wisata Budaya Pasar Terapung, saat ini kami punya lebih dari 500 acil jukung”, ungkap Heriansyah.

Parade acil jukung pasar terapung dan lomba hias jukung merupakan puncak acara di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018. Festival yang digelar dalam tiga hari ini juga dimeriahkan banyak pawai budaya, pawai Volkswagen (VW) Borneo Indonesia-Malaysia-Brunei, parade sepeda antik, parade becak hias, Kalimantan Selatan fashion karnaval, lomba memasak di atas sungai hingga festival sinoman hadrah.
Festival Wisata Budaya Pasar Terapung merupakan salah satu event unggulan Dinas Pariwisata Provinsi Kalimantan Selatan untuk mencapai target 30.000 wisatawan mancanegara dan satu juta wisatawan domestik di tahun 2019.
Saran saya, berhati-hatilah. Meski Anda hanya berencana menghabiskan waktu satu atau dua hari saja, Anda bisa jatuh cinta dengan kota seribu sungai ini dan betah berlama-lama di sini. Kalimantan Selatan seromantis yang orang-orang Eropa ceritakan di masa lalu. Tempat ini adalah Venesia dari Timur.
Liputannya apik2 banget Mbak Pit…
❤❤❤