Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018


Penampilan At Adau
Penampilan At Adau di panggung utama RWMF 2018

Televisi masih menyala dengan berita paling pagi ketika saya bangun tidur. Saya membuka mata, meraih handphone di sisi tempat tidur, “Pukul 07.00 pagi”, gumamku. Kepala masih berat, rasanya ingin tidur lebih lama.

Selepas dini hari mata baru bisa terpejam. Maklum saja, alarm tubuh masih Jogja meski saat ini saya sedang terduduk di sebuah ranjang di penginapan Damai Resort, Kuching, Sarawak, Malaysia.

Semalam, Rainforest World Music Festival hari ke-2 di hadiri lebih dari 9.000 pengunjung. Penonton begitu padat memenuhi halaman panggung. Malam minggu yang sungguh pecah!

Saya bergegas menyibak selimut, bangun tidur, minum air putih dan mandi air hangat. Sudah tidak sabar menunggu puncak acara, yaitu RWMF hari ke-3.

Masih nyata dalam ingatan saya, semalam irama musik yang dimainkan At Adau memenuhi atmosfer Rainforest World Music Festival. Semua penonton menggila, melompat tak terkendali mengikuti ritme Sape’ yang dimainkan At Adau. Rainforest World Music Festival menjadi samudera energi yang kegembiraan berkelindan tidak hanya di telinga, tapi juga merasuk hingga jiwa.

Penggemar At Adau di RWMF 2018

“Bagaimana bisa?”, tanya saya dalam hati. “Bagaimana bisa sebuah band musik yang mengusung musik tradisional (Sape’) bisa membuat penggemarnya begitu menggila”, kata saya tidak habis pikir pada teman-teman media di Rainforest World Music Festival 2018.

Ini pertanyaan yang sebenarnya tidak aneh. Karena buat saya yang lahir dan besar di Indonesia, energi “kegilaan” seperti ini hanya bisa di dapatkan saat saya menghadiri acara musik dari popstar atau rockstar, tapi ini sebuah band yang musik dominannya adalah dentingan Sape’?

“Bagaimana bisa?”, kata saya sambil geleng-geleng kepala. “Bagaimana bisa Sape’ bisa begitu populer dan akrab di telinga warga Malaysia, padahal di negri saya (yang katanya menguasai sebagian besar wilayah di Pulau Borneo) musik tradisional, perlahan tapi pasti, sekarat dan beberapa mati.

“At Adau memang gila”, maki saya. “Mereka fenomenal!”. Untuk mampu mengubah selera industri musik, Anda tidak cukup hanya dengan jenius. Anda harus gila. Dan sekali lagi, At Adau memang gila. Mereka keren sangat!

Penggemar At Adau di RWMF 2018

At Adau, salah satu band lokal Kuching yang empat tahun terakhir ini naik daun di industri musik Sarawak, Malaysia. Terdiri dari 6 orang anggota, yang memang lahir dan tumbuh bersama musik tradisional. Ada Ezra Tekola, Jackson Lian Ngau, Meldrick Udos, Alfanso McKenzie, Cedric Riseng, dan Juju (nama aslinya Ju Hyun Lee, anggota At Adau yang berasal dari Korea). Irama musik yang di dominasi dengan detingan Sape’ (dawai khas Dayak) membuat lagu-lagu At Adau sangat khas. Tadi malam, sebagian besar penonton yang datang memang merupakan penggemar setia At Adau.

Group Band biasanya memang memiliki kelompok fans setia yang mengikuti kemanapun band idola tampil, tak terkecuali At Adau. Saking populernya setiap show mereka selalu dibanjiri dengan anak-anak remaja yang “tergila-gila” pada permainan musik Sape’ dengan gaya khas At Adau. Para groupies yang umumnya usia remaja ini melompat, teriak, menari, bergembira, menyanyi dan bersukacita.

Penggemar At Adau
Penggemar At Adau di RWMF 2018

Gila! Baru kali ini saya melihat musik tradisional memberi efek luar biasa pada ribuan remaja. Rasa takjub yang tak kunjung habis hingga hari ini.

Setiap menonton At Adau di atas panggung dan melihat respon penggemar yang begitu gila, saya sering banget menceracau: “Kapan ya di negri saya, ada band yang musiknya mengusung musik tradisional, tapi penontonnya begitu gila, begitu antusias seperti menonton popstar atau rockstar?”

Jackson Lian Ngau, founder At Adau yang juga merupakan putra dari Mathew Ngau, legenda Sape’ hidup. Menyebut dirinya sebagai pejuang modern dengan misi untuk menyelamatkan tradisi budaya dari kematian di dunia modern ini. Lian dalam salah satu pernyataannya menyebutkan bahwa “Saya percaya dengan menyelamatkan dan mencintai tradisi kita sendiri dan menghormati tradisi lain, kita dapat mempromosikan perdamaian di dunia”

At Adau di panggung utama RWMF 2018
At Adau di panggung utama RWMF 2018

Melihat At Adau di atas panggung rasanya seperti melihat konsep Rainforest World Music Festival secara keseluruhan. Rainforest World Music Festival memang tidak seperti festival musik lain yang pernah saya tonton. Di Rainforest World Music Festival, musisi-musisi dari seluruh dunia bersinergi “berjuang” di jalan yang sama, yaitu transfer ilmu pada generasi yang lain.

At Adau, merujuk pada nama kayu adau. Kayu yang kuat dan liat. Barangkali energi demikianlah yang membentuk At Adau. Energi Sape’, perut dan melodi musisi pribumi bersinergi secara harmoni dengan musik modern, dan tentunya selera industri musik. Rainforest World Music Festival membuat segala sesuatunya mungkin, tumbuh bersama antara musik tradisional dan musik modern, tanpa ada diskriminasi.

Rainforest World Music Festival bagai sebuah sekolah alam yang mengajarkan kepada kami ribuan “nada” yang ada di benua lain, tanpa kami harus berkeliling dunia. Kami cukup hadir di Rainforest World Music Festival, dan dunia yang datang kepada kami. Amazing!

“Music in itself is healing. It’s an explosive expression of humanity. It’s something we are all touched by. No matter what culture we’re from. Everyone loves music.” (Billy Joel). Hadir di Rainforest World Music Festival, buat saya, berarti ikut serta dalam perayaan musik dunia.

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.