Menyadap Dharma Dalam Sunyi


“Dharma itu begitu sulit dan dalam. Tidak semua orang bisa memahami di kehidupan sekarang”.

Sunyi sedang bergerak bebas begitu saja. Keluar dari pikiran bawah sadar, merambat ke dada dan menusuk jantung perlahan, seperti pisau yang diam-diam ditusukkan di punggungmu. Angin kemarau datang bersama bulan Juni yang kerontang, membawa gemerisik daun-daun kering pada hening malam yang semakin gigil.

Aku menggenggam stang sepeda motor semakin erat, menembus ujung-ujung jalan yang menghilangkan mobil, angkutan umum, dan sepeda motor yang melaju terburu-buru. Tak ada yang bisa diobrolkan. Pikiranku melaju lebih cepat dari yang bisa ditempuh raga.

Segerombolan sunyi yang semenjak sore singgah di dalam pikiran memanggil kembali ingatan. Mereka menabuh sepasukan rasa cemas. Menabuhnya keras, membuat rasa nyeri segera menyerang rasa khawatirku.

“Dalam prinsip Tantrayana, hanya orang yang berjodoh yang bisa memahami ajaran Budha”, suara Romo Vhira kembali hadir dalam ingatan.

Ingatan yang sama, yang kembali mengajakku hadir di sebuah sore di Candi Banyunibo. Aku mengingat kembali warna biru langit di atas candi dan berkas cahaya matahari yang jatuh di atas hamparan rumput hijau di halaman.

Umat Budha Tantrayana Kasogatan
Umat Budha Tantrayana Kasogatan

“Apa yang kita alami saat ini adalah pengaruh dari masa lalu”, kata Romo Vhira.

“Contohnya, Romo?”, tanyaku tak paham.

“Rejeki, teman-teman kita. Itu semua dari masa lalu”

“Maksud Romo, kita yang hari ini berkumpul, di kehidupan sebelumnya pernah bertemu. Itu sebabnya kita punya keterikatan di masa kini. Seperti jodoh?”

“Iya, tapi jodoh itu tidak selalu tentang pasangan hidup. Jodoh juga bisa berarti teman, mitra, bisa juga musuh”.

“Musuh juga jodoh, Romo?”

“Iya. Jodoh yang sebentar, bertengkar lalu habis. Musuh bebuyutan, ini yang namanya belenggu. Karena jika (kehidupan) kini sudah selesai, musuh bebuyutan bisa terlahir kembali menjadi orang terdekat. Bisa jadi kakak, adik, suami atau istri, bapak atau ibu, bahkan anak”.

“Hewan peliharaan itu juga jodoh. Tidak ada jodoh, tidak mungkin ada hewan peliharaan. Di kehidupan lalu, mungkin saya punya hutang pada dia. Dia punya hutang pada saya. Dia terlahir ke alam hewan karena dia punya karma buruk. Tapi, kenapa kita pelihara dia? Karena kita pernah hutang budi sama dia”

“Luas maknanya. Sangat luas. Sulit diceritakan. Ini yang disebut Dharma. Sang Budha pernah mengatakan “Dharma itu begitu sulit dan dalam. Tidak semua orang bisa memahami di kehidupan sekarang”.

“Itu prinsip Tantrayana. Hanya orang yang berjodoh yang bisa memahami ajaran Budha”.

“Kelahiran sebagai manusia, (itu) sulit. Tapi dalam kelahiran sebagai manusia inilah, kita punya kesempatan untuk belajar dharma, termasuk para dewa. Ketika Budha membabarkan dharma, semua mahluk turun ke bumi, bahkan mahluk di enam alam, ikut mendengarkan”.

“Kamu ingat tidak? Ketika saya selesai ritual Puja Panca Tathagata di Candi Banyunibo. Ada capung yang nemplok di banten. Saya katakan: jangan sampai terbunuh. Saya tepis dengan tirta, capungnya tidak terbang. Dia mendengarkan dharma”.

Menyadap Dharma Dalam Sunyi
Menyadap Dharma Dalam Sunyi

“Setelah puja selesai, capungnya mati. Bisa jadi, capung tersebut kemungkinan akan terlahir sebagai manusia. Tapi, dia beruntung, karena sudah mendengarkan dharma”

Aku mengingat kembali wajah teman-teman Budha Tantrayana Kasogatan yang memenuhi halaman Candi Banyunibo. Prosesi Puja Panca Tathagata adalah prosesi spritual inti dan sangat privat dimana doa-doa dirajahkan ke Alam Semesta: Ah, Hum, Tram, Hrih, A.

Suara lirih pak Giran yang sore itu menembangkan Kidung Mijil Waisak dalam Puja Panca Tathagata, pelan tapi pasti, menyelubungi atmosfer di sekitar Candi Banyunibo bersama wangi aroma dupa. Sesenggukannya memecah keheningan sore bersama gemerincing suara genta di tangan Romo Padma Vhira Dharma, Pandhita Budha Tantrayana Kasogatan di Jogja.

Puja Panca Tathagata
Puja Panca Tathagata

Kesadaran kembali padaku. Aku menggenggam stang sepeda motor semakin erat, menembus ujung-ujung jalan yang menghilangkan mobil, angkutan umum, dan sepeda motor yang melaju terburu-buru. Tak ada yang bisa diobrolkan. Lampu-lampu kota yang kesepian dan berdiri sendiri-sendiri.

Malam ini kegelisahan sedang bergerak bebas begitu saja. Keluar dari pikiran bawah sadar, merambat ke dada dan menusuk jantung perlahan.

Kegelisahan mendatangiku bersama bulan Juni yang kerontang, membawa gemerisik daun-daun kering pada hening malam yang semakin gigil. Berbelok di sebuah boulevard, masuk ke gang sebelah kiri lampu merah, lalu berhenti di depan halaman rumah di antara guguran daun mangga.

“Hanya orang yang berjodoh yang bisa memahami ajaran Budha”. Bangun, keluarlah dan lihat, daun-daun basah di bawah rembulan.

OM TARE TUTTARE TURE SOHA.

Advertisement