Setelah mblusukan di Air Terjun Banyu Nibo, kami pun berubah haluan, kami tidak jadi pergi ke Gunung Nglanggeran (yang kami perkirakan pasti kering kerontang juga), kami memilih tempat lain yang pasti banyak air-nya, yaitu pantai!
Dengan banyak pertimbangan, akhirnya kami memilih pantai Kesirat. Pertama, karena kami belum pernah kesana. Kedua, letaknya di Panggang, jadi nampaknya tak terlalu jauh dengan jalan pulang ke Jogja.

Selama menelusuri daerah Playen, kami pun menyempatkan diri mengambil banyak foto di sepanjang jalan.
Kami juga menemukan hutan kayu jati, yang nampaknya rumput-rumputnya baru saja selesai dibakar. Pada saat kami mengambil gambar, tanah yang kami injak masih terasa hangat bekas pembakaran. Mengingat kemarau yang begitu panjang, dan pohon-pohon yang tampak begitu kering. Pembakaran semacam ini pasti rawan kebakaran hutan. Dan jika terjadi kebakaran, yang sial adalah pemilik kebun jati di sebelahnya!

Sesuai informasi (yang juga berdasarkan seingat saya), petunjuk yang wajib diketahui adalah sebuah pertigaan Panggang, tikungan dengan pohon beringin besar yang biasanya dibawahnya terdapat sumber mata air.
Nah, gambar dibawah diambil dari arah Saptosari, maka kami belok ke kiri. Kalo ga salah, kampung yang kami datangi masuk Girisekar.

Sejauh jalan yang kami tempuh, dan bicara ttg “kebiasaan”, maka saya katakan “biasanya jalan-jalan menuju pantai di Gunungkidul itu beraspal halus”. Jadi, satu-satunya jalan yang kami pilih untuk lalui hanyalah jalan yang beraspal halus. Eh ternyataaa… jalan tersebut berujung pada jalan jelek di sebuah pertigaan kampung. Wah, nyasar nich!
Setelah tanya beberapa warga local, kami disarankan berbalik arah. Jalan menuju Pantai Kesirat (kalo dari tempat kami yang kebablasaan kemarin) berada di kanan jalan, ada sebuah belokan dekat masjid yang ancer-ancernya di ujung belokan tersebut ada sebuah cangkruk kecil, nah itu adalah jalan menuju Pantai Kesirat. Jalannya masih berupa jalan cor.
Hasil dari bertanya sana sini di sepanjang jalan, hampir semua ibu-ibu warga kampung yang kami temui malah menyarankan kami lebih baik pergi saja ke Pantai Gesing yang jalannya sudah jauh lebih bagus.
Huft, masa’ udah jauh-jauh kok disuruh batalkan sich buuu…?
Jadi begini petunjuknya teman, jika anda datang dari pertigaan pohon beringin Panggang tadi. Maka belokan ini berada di kiri jalan. Belokan ke kiri pertama (yang beraspal bagus) adalah jalan menuju Pantai Gesing. Belokan setelah itu, ancer-ancernya adalah tempat peternakan ayam yang sebelahnya ada masjid. Nah belokan itu yang menuju Pantai Kesirat. Ingat ya, jalannya cuma berupa jalan cor.
Di jalan yang bikin saya sport jantung ini, sialnya kami nyasar lagi ke jalan yang lebih jelek. Huaha! Pokoknya lagi apes banget! Untung kami adalah mahluk-mahluk yang ngeyel dan ndablek. Pokoknya hajar bleh, harus nemu pantainya!

Sialnya lagi, jalanan ini udah jelek, sepi banget! Kami kesulitan bertanya pada warga lokal. Lha mau tanya sama siapa, kalo semua isinya cuma mbulak.
Hampir saja putus asa. Untunglah, ada bapak-bapak yang nampaknya sedang makan siang di salah satu mbulak. Kami langsung berlari menyerbunya untuk menanyakan arah menuju pantai Kesirat.

Setelah hampir 3 km ber-degh-degh-an di sepanjang jalan cor. Kami akhirnya mencium aroma pantai. Tentunya, atas petunjuk warga lokal yang kami temui sepanjang jalan.
Melihat kondisi jalannya, sepeda motor memang harus diparkir dekat mbulak yang terlihat sedikit rata kondisi tanahnya. Dan kemudian kami harus berjalan untuk menuju pantai.
Dan ternyata, perjuangan kami tidak sia-sia. Kami menemukan Pantai Kesirat yang eksotis!

Setelah sampai disana, kami pun menyadari Pantai Kesirat lebih cocok dinamakan Tebing Kesirat. Karena memang bentuknya tebing dan jurang, dengan debur ombak yang menggetarkan.
Selama berada di sana, kami tak bertemu pengunjung lain yang secara sengaja mblusukan macam kami. Kami hanya berjumpa dengan beberapa nelayan disana. Bapak-bapak nelayan tersebut dengan senang hati bercerita tentang kelompok nelayan yang ada di desa mereka.

Karena diantara karang-karang di Pantai Kesirat ini terdapat banyak sekali tambang. Maka saya sempat bertanya pada salah satu nelayan: “apa guna tambang-tambang itu, pak?”. Ternyata tambang-tambang itu, tempat mereka meletakkan jaring ikan.
Biasanya sore jam 4 mereka ke laut untuk memasang jaring, dan sekitar jam 7 pagi, jaring baru diangkat. Dihari kedatangan kami, seorang nelayan bercerita bahwa mereka mendapatkan 40 kg ikan hari itu.
Tapi ingat yak, ikan-ikan hasil jaringan itu adalah milik bersama, dalam sebuah kelompok nelayan, bukan milik perorangan. Padahal di kampung tsb ada 3 kelompok nelayan. Kebayangkan, perjuangan para nelayan ini demi mendapatkan sepiring nasi buat keluarganya?

Menurut cerita salah satu tetangga, di sebelah pantai ini sebenarnya ada pantai berpasir putih yang sangat bagus, namanya pantai Wohkudu. Jika bermaksud hendak kesana, bisa bertanya rute-nya pada bapak-bapak nelayan. Tapi tentunya, harus berjalan lebih jauh lagi melewati medan yang lumayan melelahkan.
Kami pun menghabiskan sore itu dengan mengambil banyak gambar di pantai ini. Alasannya mudah, rute yang kami lalui tadi cukup melelahkan. Jadi kemungkinan, saya akan kembali ke tempat ini, menunggu pemda Gunungkidul memperbaiki jalannya dulu. Huaha!
–Selamat Jalan Jalan–
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak