Perjalanan kali ini rasanya yang paling melelahkan dari semua yang pernah saya tempuh. Padahal selama mengunjungi tiap lokasi, tidak ada satupun medan yang sulit, toh jalannya lempeng-lempeng saja, tapi entah kenapa saya jatuh sakit setelah sampai rumah. Padahal dulu, saya pernah jatuh dari motor pas malam-malam nanjak Gunung Penanjakan di Bromo. Pernah juga jatuh terguling pas ngebut diatas lautan pasir di Bromo, tapi saya tetap pulang dengan sehat walafiat sampai rumah.
So, jika cerita ini dibuat terlalu lama, bukan karena saya malas menulis, tapi karena sampai saat saya menuliskan cerita ini, kepala saya masih nggliyeng karena sudah seminggu tensi masih berkutat di angka 90/60.
Perjalanan team touring kali ini berawal dari usul salah satu teman untuk menjelajahi daerah utara Jawa. Teman yang punya usul ini sendiri, jaman mudanya sudah pernah ikut ziarah makam 9 walisongo, jadi perjalanan kali ini bagian dari “rendezvous” masa-masa mudanya. Nah, itu bedanya dengan kami team touring, yang meskipun sudah seringkali jalan-jalan ke bagian utara jawa, tapi belum pernah ikut wisata ziarah.
Hari Pertama
Sabtu pagi kami semua, ber-10 orang, berniat kumpul jam 6.00 WIB di lokasi yang telah ditentukan. Niat awalnya, paling siang jam 7.00 WIB, kami semua sudah berangkat menuju lokasi. Tapi karena satu orang yang hidup di Waktu Indonesia Bagian Ngaret, alhasil kami berangkat jam 8.00 WIB.
Itupun ada cerita lucu, pas sampai Ambarawa, ada beberapa orang yang berhenti untuk membeli beberapa perlengkapan. Dan ujung-ujungnya, ada yang tasnya ketinggalan di depan sebuah Toko Kue. Apesnya, dia baru inget kalo tasnya ketinggalan pas kita semua udah memasuki Ungaran, dan keukeuh untuk balik ambil tasnya. Hampir 2 jam kami menunggu di pinggir jalan, soalnya dia malah lupa jalan ke toko kue tempat tasnya ketinggalan. Huft, pokoknya kalo lagi jalan-jalan gini, ada ajah kejadian aneh!
Kami makan siang di Demak, dengan porsi yang sedikit kalap. Seingat saya, pada saat itu cuaca begitu panas menyengat karena kemarau berkepanjangan di Pulau Jawa.
Masjid Agung Demak

Siapa yang ga kenal Masjid Demak? Meski saya pernah berulangkali melewati, tapi baru kali ini saya bisa sholat di masjid ini. Jadi, kesempatan untuk menjelajahi seluruh isi masjid jangan disia-siakan!
Pertama memasuki Masjid Demak, yang terlihat adalah banyaknya pedagang kaki lima yang menjual makanan dan minuman dihalaman masjid. Dan orang-orang yang tidur-tiduran istirahat di serambi Masjid. Mungkin karena hari itu siang benar-benar panas, jadi ngadem di Masjid memang sungguh menggoda. Saya bahkan menemukan juga beberapa pasangan muda yang pacaran disekitar Masjid, hoho!

Selesai sholat dhuhur, hal pertama yang saya lakukan adalah mencari tiang tatal Sunan Kalijaga. Menurut saya, hal yang paling menarik dari Masjid Demak adalah tiang ini. Tentu saja, seperti biasa, setelah jeprat jepret saya baru sadar, kalo ternyata ada larangan mengambil photo di dalam masjid (huehe!).

Lalu ada bapak-bapak, yang mengaku pengurus Masjid, datang mendekat. Setelah tahu kalo kami datang dari Jogja, si Bapak menerangkan sedikit sejarah tentang Masjid Demak, meski tidak lengkap tapi lumayanlah. Dan si Bapak mengijinkan saya ambil banyak foto, horeee…!
Menurut cerita si Bapak, di dalam Masjid Demak terdapat 4 buah tiang utama yang dibuat oleh para wali, dan tiap tiang dinamai dengan nama wali yang membuatnya, yaitu tiang Sunan Ampel, tiang Sunan Bonang, tiang Sunan Kalijaga dan tiang Sunan Gunung Jati. Nah, tiang buatan Sunan Kalijaga dibuat dari tatal-tatal kayu yang diikat dengan rumput rawadan. Sayangnya, kami tidak boleh naik ke lantai 2 untuk melihat secara langsung ujung-ujung tiang tatal tersebut. Katanya si Bapak begini: “yang boleh liat hanya pejabat, mbak!”. Hiks.
Kami juga diceritakan tentang kisah Syeh Siti Jenar yang katanya dibunuh oleh para wali di Masjid Demak dan kemudian jenasahnya mengeluarkan aroma wangi. Si Bapak juga menunjukkan gambar bulus, tempat imam, yang dibawahnya dipercaya, dulu, disitulah Syeh Siti Jenar dibunuh. Meski saya tahu kisah kematian Syeh Siti Jenar masih penuh kontroversi hingga hari ini. Bahkan cerita beberapa orang juga sedikit bias karena terkadang bercampur dengan dongeng dan mistis. Tapi biarlah, saya tetap suka kok jika ada yang bersedia jadi guide dan menemani berkeliling menceritakan tentang sesuatu.

Masjid Demak sendiri adalah bukti nyata peninggalan dari Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Raden Patah atau Raden Fatah sebagai pendirinya dipercaya sebagai keturunan Putri Campa dengan Raja terakhir Majapahit, Brawijaya. Karena itu, di Masjid Demak terpengaruh juga dengan budaya Cina, misal piring Cina yang ditempel ditembok, yang dipercaya sebagai pemberian dari Ibu Raden Patah, piring ini berjumlah 65 buah, sebagian dipasang pada dinding masjid untuk hiasan, sebagian lagi dipasang di tempat Imam Masjid.
Lalu, Pintu Bledeg atau pintu petir yang konon dibuat oleh Ki Ageng Selo. Pada pintu ini dilukiskan dua kebudayaan, yakni Majapahit dan Cina. Kebudayaan Majapahit digambarkan di bagian atas pintu, sedangkan kebudayaan Cina digambarkan di bagian bawah pintu. Di pintu ini, bertuliskan Condro Sengkolo, yang berbunyi Nogo Mulat Saliro Wani, dengan makna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H.

Pada saat saya datang, kebetulan Museum Masjid Demak sedang direnovasi. Sehingga kami langsung beralih masuk ke dalam makam. Ini adalah makam orang-orang yang kisah hidupnya kita baca di buku sejarah dan terkadang hidup sebagai legenda dalam masyarakat. Terutama kisah Arya Penangsang.

Kemudian saya berpikir, orang-orang yang dimakamkan disini, pada masa hidupnya beberapa orang bertikai karena kekuasaan, meski mereka satu darah. Pada akhirnya, makamnya sekompleks juga. Mungkin yang bikin saya sedikit degh-deghan adalah melihat makam Pangeran Benowo yang panjangnya hampir, berapakah itu 2,5 atau 3 meter?

Kearah pintu keluar dari makam, bisa dijumpai juga sumur keramat, banyak gelas yang bisa langsung dipakai minum disitu. Beberapa orang bahkan mengisi botol-botol mereka dengan air tersebut. Sayang, saya ga sempat mencobanya.
Begitu keluar dari makam, kami sempat mengambil foto beberapa kali. Atap masjid Demak yang dibuku biasa disebut Saka Majapahit, bentuk limas-nya yang terdiri dari tiga bagian menggambarkan ; (1) Iman, (2) Islam, dan (3) Ihsan. Saya tidak sempat mengambil gambar dan kentongannya, padahal beberapa kali melewati. Terlalu banyak orang-orang yang tidur diserambi mengganggu keindahan gambar saya!
Buat saya, melihat Masjid Demak semacam melihat kembali sebuah gambaran hegemoni Raja yang ditopang dukungan politik oleh para wali, para ulama. Anehnya, meski menurut data Masjid Demak adalah tempat teramai ke-2 di Jawa Tengah yang paling banyak pengunjungnya setelah Candi Borobudur, entah kenapa saya kok merasa masjid ini nampak tak terawat dan kotor.
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak