“Mas, apa kau akan tetap mencintaiku meski aku tak lagi jadi manuk yang paling cantik?”, tanya Betina pada pejantannya. Jogja di sore hari hanya ada hujan dan batu-batu basah. Matanya menerawang jauh, menembus jeruji besi yang menjadi penghalang antara dunianya dengan manusia.
“Apakah cinta perlu dikatakan, dik?” jawab Jantan dengan suara lembut.
“Kau tahu kan, aku memilihmu bukan karena kau manuk paling cantik di tempat ini”, katanya sambil menatap mata si Betina, “Aku mencintaimu, barangkali karena itu satu-satunya hal berguna yang bisa kulakukan untuk membalas semua kebaikanmu”.
Betina itu merebahkan kepalanya di bahu Jantan. Merapatkan telinga pada jantung kekasihnya. Menajamkan pendengaran pada degup jantung Jantan, manuk yang paling dicintainya.
Betina sadar, ditengah kesempurnaan cinta mereka, pujaan hatinya selalu kesepian.
Iya. Kekasihnya selalu kesepian. Apalagi di sore yang hujan. Batu-batu basah dan tanah yang becek.
“Apalah arti menjadi manuk yang paling keren di sangkar ini, jika kita tak mampu terbang jauh”, ujar kekasihnya suatu hari.
Betina berusaha memahami kesedihan pujaan hati. Tidak seperti Betina yang sejak lahir sudah di dalam sangkar. Kekasihnya, Jantan, dibawa dari kota lain. Kota yang sangat jauh. Melewati banyak sungai dan laut. Kekasihnya lahir di alam bebas.
Betina tidak paham apa itu bebas. Sebuah kosa kata yang tidak ada dikamusnya. Buat Betina, bebas terdengar mengerikan.
Meski begitu, Betina cukup puas, sangkar itu menjadi alasan Jantan tetap berada di sisinya. “Kau disisiku saja, tidak perlu kemana-mana”, bisik Betina dalam hati.
“Mungkin, kau tak pernah jatuh cinta kepadaku, mas. Tapi mencintaiku saja, itu sudah lebih dari kata cukup untukku. Sungguh”.
Sore itu, hujan turun deras di Jogja. Betina memandang batu-batu basah diluar sangkar mereka. Memeluk kekasihnya begitu rapat.
Mereka hanya sepasang manuk. Tidak ada pisang goreng, tidak ada segelas kopi untuk mereka. Meskipun harganya mahal. Ya cuma manuk. Tidak berhak bermimpi.
Tidak berhak. Mimpi hanya milik manusia. Dan kami hanya kaum papa, hanya seekor manuk. Dipotret, lalu dilupakan.