
Setelah seharian berkeliling Gili Trawangan hingga hari petang, kami pun buru-buru pulang. Di sepanjang yang kami lalui jarang sekali ada lampu jalan, cuma beberapa bungalow saja yang memasang obor sebagai petunjuk. Kehidupan malam di Trawangan baru saja dimulai. Di bar dan café yang berbentuk semi outdoor yang kami lalui menyetel music kencang-kencang seperti reggae, lounge music, rave, house music, bahkan ada juga yang menyetel lagu india koplo. Tidak salah kalau julukan Trawangan adalah party island.
Untuk makan malam, oleh pemilik penginapan kami disarankan ke Pasar Seni. Awalnya kami kebingungan. Hampir semua tempat sudah kami jelajahi. Tapi tak ada satupun tempat yang “tampak” seperti sebuah Pasar Seni. Akhirnya, setelah beberapa kali berkeliling. Kami memutuskan bahwa yang dimaksud dengan Pasar Seni adalah sebuah pasar makanan dadakan (buka setelah maghrib) yang terletak dekat dermaga. Baiklah, kami memarkir sepeda. Nampaknya, bukan pilihan buruk makan malam di dermaga sambil menikmati bulan purnama.
Kami menuju sebuah warung tenda yang nampaknya memiliki ikan mentah paling segar. Beruntungnya, si penjual adalah orang jawa timur. Ahay! baiklah mari kita bernegosiasi. Setelah tawar menawar cukup alot. Kami mendapatkan ikan kakap merah dengan ukuran cukup besar ditambah cumi yang gemuk seharga Rp 100.000,- plus bonus nasi putih, lalapan, sambal mentah dan sambal kecap. Lumayanlah buat makan berempat, cukup mengenyangkan. Yang bikin kaget adalah harga seporsi tempe yaitu Rp 10.000,- untuk 3 iris tempe. Ini berlaku juga untuk seporsi tahu. Huahaha!
Catatan: bule-bule yang saya amati. Umumnya membeli nasi goreng di warung tenda yang cukup murah. Kemudian dimakan di penginapan. Atau jika anda sedikit pede, bawa makanan anda ke sebuah warung makan yang “bagus”. pesan minuman. Dan silahkan makan di situ.
Sekitar jam 21.30 kami keluar lagi dari penginapan. Kami hendak melihat-lihat kehidupan Trawangan di malam hari. Setelah berkeliling, kami berhenti sejenak pada sebuah cafe yang memiliki view cukup lumayan. Tidak jauh tapi juga tidak terlalu dekat dengan lokasi full moon party yang musiknya hingar bingar.
Setelah minuman disediakan, pelayannya meminta kami untuk segera membayar. Nampaknya café-café disana memang tidak buka 24 jam. Kecuali tempat party tentunya. Kami memang dibiarkan menikmati minuman dan duduk-duduk di café itu sesukanya. Tapi tidak bisa lagi memesan minuman dan makanan karena bar dan dapur sudah tutup.
Bule-bule yang tinggal di Trawangan memang rata-rata berusia 18-30 tahun, beberapa malah keluarga dengan anak-anak berusia a-be-geh jadi wajar saja jika mereka suka party. Apalagi party di pantai seindah Trawangan, sesuatu yang pastinya sangat mahal di negeri mereka. Sementara beberapa bule tampak sibuk mencari teman kencan, para bartender local sibuk mengocok minuman sambil berjoget-joget “all-out”. Ada beberapa yang tampak keren. Selebihnya, gayanya membuat saya nyengir!
Catatan: Dari hasil searching di Wikipedia. Konon kabarnya, dulu pulau ini pernah dijadikan tempat pembuangan narapidana. Pada waktu itu karena semua penjara sedang penuh, raja yang waktu itu berkuasa membuang 350 orang pemberontak Sasak ke pulau ini. Baru sekitar tahun 1970-an pulau ini dikunjungi penduduk dari Sulawesi yang kemudian menetap di sini. So, jika anda berlibur di pulau ini, bayangkan saja sedang terdampar di Australia. Huehehe!
Hampir jam 12 malam, disaat semua orang memenuhi lokasi full moon party. Kami malah hendak pulang ke penginapan. Bagaimanapun kami memang benar-benar kelelahan, sudah beberapa hari ini kurang tidur. Apalagi besok kami berniat bangun jam 04.30 untuk mengejar sunrise. Jadi memang harus istirahat malam ini.
Baru 3 jam beristirahat, sekitar jam 02.30 kami dikagetkan dengan pengumuman dari toa masjid bahwa ada kebakaran di salah satu tempat di pinggir pantai. Waduh, kok aneh-aneh banget sich, sangat tidak tepat waktu. Lha wong lagi liburan di pulau kecil, kok ya ada kebakaran gitu lho.
Mengantuk tapi juga panik, kami berjalan menuju ke lokasi kebakaran. Awalnya saya pikir, yang terbakar adalah bar yang semalam dijadikan lokasi Full Moon Party. Tapi ternyata bukan. Yang terbakar malah sebuah toko toserba, toko sepatu, dan tempat atm yang lokasinya tak jauh dari ticket office (saking paniknya, saya tidak sempat membawa kamera ataupun handphone untuk mengabadikan peristiwa ini).
Di sepanjang jalan, kami bertemu banyak sekali bule-bule yang ketakutan berlari keluar dari penginapan sambil membawa tas backpack mereka bersiap-siap untuk mengungsi. Tapi ada juga bule-bule yang baik hati, berlari-lari membawa selang panjang ataupun ember untuk membantu memadamkan api.
Lokasi kebakaran yang di pantai jauh dari pemukiman penduduk menyebabkan tidak semua penduduk local mengetahui berita kebakaran tersebut. Sehingga pada saat pemadaman kebakaran berlangsung, lebih banyak bule yang membantu memadamkan api, ketimbang penduduk local. Menurut warga sendiri, di Trawangan memang sering sekali terjadi kebakaran. Jadi penduduk local tidak ada yang panic karena sudah terbiasa.
Setelah api benar-benar padam, kami memilih menunggu sunrise sambil duduk-duduk di pantai. Kami baru menyadari bahwa banyak bule yang memang memilih tidak menginap di hotel, mereka lebih memilih tidur di tepi pantai beratap langit.

Pagi itu, matahari benar-benar indah menyembul di antara gunung Rinjani dan pantai timur Trawangan.

(to be continued…)
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
ahh…
Indonesia, tanah air betaaa…..
haru aku baca ini, makasih tuk ceritanyaaaa…..
huahahha,,,,tidak ada tanah air beta. yang ada cuma kampung bule. kita tamu di negeri sendiri.
iya sedih yaaa…..
Itu baru sisi Gili Trawangan, belum keujung Timur, Papua sono…
Raja ampat milik siapaa….. Wakatobi boga sahaaa…. hufttt….
#sungguh terlaluhhh
semoga Tuhan mengijinkan saya menginjakkan kaki ke raja ampat dan wakatobi.