Dari Cakranegara kami menaiki kapal untuk menyebrang ke Gili Trawangan. Sesampainya saya di Trawangan, saya dihampiri oleh seorang bapak berseragam. Setelah mendapat ucapan selamat datang, kami disuruh melapor ke sebuah tempat yang mereka sebut “office”, setelah ditanyai ini-itu dan menyuruh saya menunjukkan KTP. Mereka mencatat nomor KTP saya, nama, alamat dan diakhiri dengan tandatangan pada sebuah buku besar. Kami yang kelaparan segera mencari Warung Makan Dewi. Dari hasil searching di internet, nich warung termasuk yang paling murah di gili. So, wajib dibuktikan!
Warung Dewi terletak 30 meter dibelakang “office”. Di depan warung ada semacam pasar sayur mayur dadakan. Setelah makan siang dengan menu ayam taliwang, beberok, plecing kangkung, dan sebotol fresh tea dingin per orang, ditambah 4 botol ukuran tanggung dan 1 botol besar air narmada dingin, kami membayar sebesar Rp 78.000,- untuk semuanya. Terbilang sangat murah untuk tempat sekelas Gili Trawangan.

Catatan: Hampir disetiap warung ataupun toko yang kami temui, hanya dijual air kemasan ber-merk “Air Narmada”. Air kemasan ini produksi asli dari Lombok. Airnya lebih jernih, bersih, dan rasanya lebih segar ketimbang air kemasan merk lain yang dijual umum di luar Lombok. Masyarakat Lombok sendiri percaya bahwa meminum Air Narmada akan membuat awet muda.
Perjalanan dilanjutkan dengan mencari penginapan murah di gili. Dan itu bukan hal yang mudah. Hampir rata-rata penginapan dengan kamar mandi dalam seharga Rp 175.000,- per malam. Ini harga dalam hitungan low session, jika sedang high session bahkan kamar termurah dijual dengan harga Rp 300.000,- begitu info yang saya dapat dari bertanya harga per kamar disetiap penginapan yang kami lewati.
Jadi, kami berjalan lebih ke dalam lagi. Sampai kami bertemu dengan mas-mas berusia 20 tahun yang rambutnya keriting dan berwarna merah kekuningan, dia mengantarkan kami ke sebuah penginapan yang isinya bule semua.
Penginapannya namanya Lucky’s House. Setelah tawar menawar cukup alot dengan istri si pemilik. Kami mendapatkan dua kamar besar, dengan fasilitas “private bathroom, shower, western toilet, and fan” untuk menginap semalam dengan harga Rp 200.000,- (inget yak Rp 200.000,- untuk dua kamar) tanpa sarapan, cuma dapat kopi dan teh panas (tiap kali kita minta). Yap, lumayanlah. Kami langsung mengiyakan.
Catatan: pada umumnya penginapan di pinggir pantai jauh lebih mahal daripada yang di pemukiman penduduk. Pertama, karena view. Kedua, mereka memiliki fasilitas air tawar di penginapan. Ini baru saya sadari setelah berkeliling pulau. Pada umumnya sekamar dihargai Rp 500.000,- per malam. Konon, air tawar mereka impor langsung dari pulau Lombok dengan harga beli Rp 80.000,- per kubik. Huehehe!
Nampaknya cuma kami wisatawan local di Lucky’s House. Di penginapan ini, kami tinggal bersama bule-bule Jerman (yang kemudian kami tahu bahwa mereka sudah sebulan tinggal di gili). Sambil istirahat menikmati secangkir kopi Lombok, saya bertanya tentang rental sepeda terdekat. Rupanya penginapan ini menyediakan juga, mereka meminta harga Rp 10.000,- untuk sewa per jam, dan Rp 40.000,- untuk sehari semalam. Tentu saja, kami memilih untuk menyewa sehari semalam untuk masing-masing sepeda.
Catatan: Harga sewa sepeda di pinggir pantai umumnya jauh lebih mahal, misalnya Rp 15.000,- per jam atau Rp 50.000,- untuk sehari. Saran saya jika anda menginginkan harga sewa yang jauh lebih murah, maka sewalah sepeda bukan di daerah pinggir pantai.
Sekitar jam 11.00 siang, kami berempat sudah bersiap-siap untuk mengelilingi Gili. Di Gili terdapat awik-awik (larangan) penggunaan kendaraan bermotor. Ada 4 alternatif untuk mengelilingi pulau seluas 338 hektar ini, yaitu dengan jalan kaki, bersepeda, naik cidomo, dan berkuda. Cidomo singkatan dari cikar dokar motor. Disebut demikian karena cidomo tidak memakai roda kayu seperti dokar atau delman, tapi menggunakan roda mobil bekas. Di beberapa tempat, kami berjumpa dengan banyak bule yang lebih suka naik kuda di tepi pantai. Bahkan ada satu kuda yang hampir menabrak sepeda kami.
Kami mendapat sepeda polygon dengan keranjang di depan stangnya untuk tempat tas, kamera, dan botol minuman. Kami memilih menjelajahi sisi timurnya terlebih dahulu. Pemandangan sebelah kiri adalah bungalow, kafe, inn, restoran, kios, dan bangunan penginapan lainnya. Benar-benar kampung bule. Lebih banyak didominasi bule-bule, sementara pemukiman penduduk local berada agak di tengah-tengah.
Di sepanjang jalan yang kami lalui, hampir tiap kios menawarkan rental snorkel. Tapi, yang mencuri perhatian saya malah beberapa rental buku di Gili. Rak-rak berisi buku tebal berbahasa Inggris. Sempat terbersit di pikiran, mungkin jika saya tidak menjadi pegawai. Saya akan memilih membuka rental buku disini. Hampir tiap bule yang sedang berjemur, saya perhatikan mereka menghabiskan waktu dengan membaca buku-buku tebal. Keren!

Catatan: bule-bule di gili sangat menghormati aturan adat. Misal, mereka diperbolehkan berbikini hanya di tepi pantai. Tapi saat memasuki kawasan pemukiman penduduk. Mereka diwajibkan memakai pakaian/ kain yang menutupi tubuh.
Kami berhenti di sebuah tempat yang terkenal sebagai Turle Conservation. Awalnya konservasi ini dirintis tahun 2006. Pak Marjan, nama pengelolanya. Di bawah plang “Turtle Conservation” terdapat gambar Garuda Indonesia. Kabarnya, memang konservasi ini dibangun dengan dana bantuan dari Garuda, akan tetapi untuk pengelolaan sehari-hari masih diupayakaan secara swadaya dengan meletakkan kotak sumbangan di dekat bak konservasi.


Setelah puas berfoto-foto, kami melanjutkan mengayuh sepeda ke arah utara trawangan. Di sisi ini, suasananya lebih sepi, banyak bakau dan kaktusnya. Sebenarnya jarak yang kami tempuh baru seperempaat dari pulau trawangan. Tapi karena setiap 100 meter kami berhenti untuk berfoto-foto. Alhasil, perjalanan bersepeda ini pun terasa sangat lama.
Saya sendiri memang jarang sekali bersepeda, ditambah waktu itu tengah hari dengan kondisi cuaca yang panas terik. Rute tanahnya berpasir sehingga terasa berat di kaki sehingga kami lebih sering turun menuntun sepeda. Di beberapa jalan, bahkan kami kudu bersaing dengan cidomo dan kuda. Kring kring kring…..

Setelah mengelilingi seluruh gili trawangan. Sekitar jam 04.30, kami bersiap-siap ke kawasan barat daya. Bercampur bule-bule untuk menunggu sunset.
Akan tetapi, sayang sekali kami tidak mendapatkan sunset yang spektakuler, karena tiba-tiba gerimis datang. Padahal, jika cuaca sedang baik, menurut warga, kami bisa melihat Gunung Agung di Pulau Bali.

(to be continued…)
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
nice tripp…
harus ke sana pakdhe.
Kapan kapan kapann……?
uhfttttttttttttttt…………
mBokdhe arrange shedule donggg……
kapan apane?