Pernah denger kata “Seikerei”?
Kalo belum pernah denger, nyoook kita kilas balik jaman SMA 😉 Pas kita kelas 2 SMA, pernah belajar sejarah khan? ayo coba yang ga pernah belajar sejarah tunjuk tangaaan!
Nah, kalo kita kembali lagi buka buku, kelas 2 SMA kita belajar tentang masa pendudukan Jepang. Restorasi Meiji menjadikan agama Shinto sebagai agama negara di Jepang. Dalam agama ini, mereka percaya bahwa Kaisar mereka adalah keturunan raja matahari bernama Amaterasu yang tinggal di puncak Gunung Fujiyama. Itu sebabnya di Jepang, gunung Fujiyama sangat dihormati.
PD II adalah masa dimana Jepang hadir sebagai negara imperialisme baru dengan menguasai negara-negara yang ada di Asia, salah satunya Indonesia. Jepang pertama kali mendarat di Tarakan, Kalimantan. Dari sinilah kemudian Jepang menguasai wilayah nusantara.
Pada saat Jepang telah menguasai Nusantara (yang sekarang bernama Indonesia) ada banyak hal yang kemudian Jepang paksakan untuk kita terima, salah satunya kepercayaan. Orang Jepang percaya menghormati matahari selama 15 menit di pagi hari adalah salah satu cara menghormati Kaisar mereka, yang notabene dipercaya keturunan Dewa Matahari.
Memang di masa pendudukan Jepang, kita –rakyat jelata– yg dulu pas jaman pendudukan Hindia Belanda ga boleh sekolah, akhirnya diperbolehkan mengenyam pendidikan. Tapi itu semua dengan banyak syarat.
Beberapa syaratnya kita harus menjadikan bahasa Jepang sebagai bahasa pengantar kegiatan belajar mengajar, mengibarkan bendera Jepang disebelah Sang Saka Merah Putih, menyanyikan kimigayo setelah Indonesia Raya, dan yang paling banyak ditentang pemuka agama Islam adalah setelah upacara pagi, kita harus menghormat kepada Matahari.
Ritual menghormati matahari inilah yang dinamakan Seikerei. Tentu saja, ritual menjura pada matahari ditentang oleh banyak Kyai, karena dianggap bertentangan dengan Islam. Ada banyak pemberontakkan yang muncul, akan tetapi yang paling populer dan sering disebutkan dalam buku sejarah adalah pemberontakkan KH Zainal Mustafa dari Sukamanah, Singaparna Jawa Barat yang tidak mau menjura pada matahari.
Jepang pun menggempur pesantren kecil ini. Di akhir cerita, selain pesantren yang rata dengan tanah. Sang Kyai pun disiksa dan dihukum mati. Jenasahnya dimakamkan di Ancol.
Kenapa saya menuliskan ini? entah kenapa gambar ini membuat daya imajinasi saya berpikir liar dan berakhir pada satu kata “seikerei”.
Menjura pada matahari melayangkan pikiran saya pada sebuah film India berjudul “Mohabbatein”, di salah satu adegan Amitabh Bachan seperti melakukan tai chi (senam pernafasan) di temani Shah Rukh Khan, ada beberapa pose yang membuat saya berpikir di akhir adegan mereka menjura pada matahari.
Saya tidak tau apakah di dalam Hindu juga mengenal ritual ini. Hindu memang memuja Dewa Matahari, hanya saja tangan terbuka dalam menerima sinar matahari yang dipraktekkan oleh Amitabh Bachan dan Shah Rukh Khan dalam film itu adalah penggambaran dari penerimaan kita akan kasih Tuhan untuk semangat melanjutkan hidup, menampung sebuah energi positif dari sinar matahari kemudian di implementasikan menjadi sebuah sikap optimisme dalam hidup.
Tapi bagaimanapun sudut pandang kita –baik dari sudut pandang muslim, maupun non Islam– saat ini menunggu matahari terbit di pantai adalah sebuah fenomena tersendiri. Di Jogja sendiri, di beberapa pantai tiap pagi ramai pengunjung yang melakukan olahraga pernafasan yang sama dengan yang dilakukan oleh Amitabh Bachan dan Shah Rukh Khan. Ga tau juga sich apakah mereka sealiran ato ga. Huehe. Hanya saja, udara segar pantai dan hangatnya sinar matahari-lah yang saya rasa men-sugesti mereka untuk sembuh 😉 Wallahualam.
*gambar sunrise di ambil di Gili Trawangan
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak