Kami melaju sekitar 18 km ke arah utara dari pusat kota Kudus, ke lokasi ke-4 yaitu di kawasan Pegunungan Muria, Desa Colo Kecamatan Dawe Kudus. Seingat saya jalannya cuma lurus tapi menanjak. Di beberapa tempat yang kami lewati, kami mencium aroma tembakau yang manis.
Pegunungan Muria terletak di atas ketinggian ± 1.602 m dpl, merupakan kawasan dataran tinggi yang terdiri dari beberapa perbukitan atau pegunungan. Pada saat kami datang, rupanya sedang ada beberapa acara di Muria. Sehingga memang benar-benar ramai.
Di beberapa pemberhentian, kami dilarang naik ke Masjid Muria secara langsung, disediakan sebuah tempat yang luas untuk parkir, pilihannya adalah jalan kaki menanjak ke atas sejauh sekitar 1 km, sekitar 700 anak tangga atau naik ojek dengan harga yang fantastik. Setelah timbang menimbang, kami memilih pergi ke Air Terjun Monthel.
Air terjun Monthel berada di ketinggian ± 25 meter, waktu itu hari sudah agak sore. Di kawasan ini, jalannya menanjak dengan curam. Kami memarkirkan motor di salah satu rumah warga, setelah sholat ashar baru menuju air terjun. Karena waktu itu hari sudah cukup sore, petugas retribusi air terjun sudah tidak berjaga lagi (huehe!). Tapi kawasan air terjun ini tetap ramai, terutama pasangan anak muda yang pacaran.
Sebelum hari menjadi benar-benar gelap, kami naik jalan kaki menuju tempat parkir. Sebenarnya masih ada satu lagi air terjun yang mau kami datangi, yaitu Air Terjun 3 Rasa, tapi berhubung hari sudah gelap. Kami membatalkan mengunjunginya.
Begitu adzan maghrib dan jalanan sepi dari tukang ojek, kami memberanikan diri untuk naik ke Pesanggrahan Colo atau yang lebih dikenal dengan Masjid dan Makam Sunan Muria.
Saya baru mengerti kenapa para tukang ojek itu bersikukuh agar para pengunjung harus naik ojek menuju ke Pesanggrahan, bukan naik motor/ mobil sendiri. Jalan yang kami lalui, meski beraspal halus, tapi jalannya benar-benar curam dan menanjak mengerikan. Apalagi saat itu hari sudah gelap dan tidak ada lampu di sepanjang jalan. Rasanya kok saya seperti sedang menanjak di Gunung Penanjakan, Bromo bedanya yang ini jalannya jauh lebih halus dan beraspal, tapi tetap ga mengurangi rasa degh-deghan saya.
Meski begitu, saya ga menampik bahwa pemandangan dari atas pegunungan Muria benar-benar eksotik di malam hari. Benar-benar ga rugi. Sayang, saya ga sempat untuk mengambil foto dari atas ketinggian. Saya cukup takut menggelinding ke dalam jurang malam itu. Huehe!
Setelah selesai sholat maghrib, kami berziarah ke makam Sunan Muria yang terletak di bawah masjid. Menuju makam, kami melewati banyak terowongan yang disulap menjadi tempat yang besar dan bersih. Jadi tidak terasa menyeramkan. Bahkan di tempat security-nya saya perhatikan banyak televisi yang rupanya menampilkan gambar CCTV seluruh sudut ruangan makam. Kawasan Pesanggrahan ini diurus oleh ahli waris Sunan Muria sendiri, bukan pemerintah daerah. Mungkin karena itu, rasanya tempat ini jauh lebih baik dan bersih dari beberapa tempat yang sudah saya kunjungi.
Ohiya, meski ada larangan untuk mengambil gambar, tapi saya berhasil memotret beberapa sudut.
Di Masjid Sunan Muria, juga ada mata air yang dianggap suci dan langsung bisa diminum. Akan tetapi, atas permintaan si bapak juru kunci air sumur tersebut, saya hanya boleh mengkoleksi photo-nya untuk kepentingan pribadi, tidak dipublikasikan untuk umum. Di depan Masjid, ada banyak pedagang yang menjajakan barang dagangan seperti gelang, peci, tasbih, sarung, dan baju.
Menurut informasi dari para pedagang, jika ingin merasakan keramaian di Muria datang saja pada saat Upacara “Buka Luwur” yang diselenggarakan setiap tanggal 6 Muharrom/Syuro. Pas Upacara Buka Luwur ini, para peziarah biasanya berebut mendapatkan “Luwur” (bekas kain penutup makam) yang konon dipercaya dapat membawa keberuntungan.
Malamnya, kami baru turun gunung dan menginap di Kudus. Tak lupa juga menikmati malam minggu di Alun-alun Kudus.
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak