Ini cerita yang paling memalukan untuk ditulis, tapi baiklah kita dokumentasikan saja buat pelajaran bersama di kemudian hari 😉
Setelah mblusukkan ke Curug Pitu, kami membeli beberapa durian dan makan siang di sebuah rumah makan padang. Selanjutnya kami pun meluncur ke lokasi wisata yang selanjutnya.
Perjalanan kami lanjutkan ke Wanayasa, kebetulan rute jalan yang dilalui penuh dengan tanjakan jahanam. Dan cerita konyol dimulai gara-gara kata “Wanayasa”.
Yang tau tujuan kita mau kemana, cuma pak Asroffi sebagai pimpro, sedangkan yang laen cuma follower ajah. Kebetulan, yang ditugasi bertanya selama perjalanan namanya mas Wahyu X-urang, entah ga tau gimana ceritanya kita malah keblasuk di Wanayasa.

Emang sich kita nyampe ke Curug Wanayasa dan Pemandian Air Panas Wanayasa, tapi bukan itu yang (katanya pak Asroffi sebagai pimpro) kami cari. Nah lho, trus kita mau kemana siiich sebenarnya?



Usut punya usut, setiap kita ga tau arah, mas wahyu tanya ke warga lokal, jalan menuju ke Curug Wanayasa dan Pemandian Air Panas. Padahal setelah saya buka, baca dan pelajari berdasarkan itinerary, kami seharusnya pergi ke Curug Mrawu, bukan ke Wanayasa. Nyeeeh!
Perlu turun tangan kalo dah gini, daripada kemalaman di negeri orang, akhirnya saya bertugas bertanya ke mana arah Curug Mrawu. Untungnya petugas di Pemandian Air Panas Wanayasa orangnya baik, dia meng-informasi-kan kalo kami kudu kembali ke arah semula, menuju Kecamatan Karang Kobar, lalu cari arah ke Kecamatan Pejawaran.


Meski jauh dan penuh tanjakan jahanam, asyiknya di Kecamatan Pejawaran jalanan beraspal halus, jadi kami wawai wawai gawoh 😉
Setelah tanya beberapa kali ke warga yang kami temui, arah yang kami tuju harusnya ke desa Giritirta. Eh kok mirip nama desa di Gunungkidul ya?


Ternyata kalo dah masuk Kecamatan Pejawaran, nyari desa Giritirta itu gampang banget, ada plang gapura besar di pinggir jalan tertulis “Curug Genting & Mrawu”. Wooo segini gampang nyari lokasinya tapi kok sebelumnya kami bisa keblasuk ke Wanayasa yaks? *ngakak*
Giritirta, sesuai namanya (giri=gunung, tirta=air) kami bertemu dengan jalan kampung kecil lengkap dengan tanjakan jahanam 😉 Hingga kami sampai di sebuah jalan yang sudah tidak bisa dilalui lagi oleh motor, maka kami menitipkan sepeda motor di salah satu rumah warga, dan mulai berjalan kaki sekitar 3 km ke arah curug.


Waktu itu sudah jam setengah 6 sore. Pas berjalan melewati mbulak, kami bertemu dengan para petani yang baru ajah pulang ngarit. Sambil menyapa dan ber-ramah tamah, kami menanyakan kondisi curug, ternyata para petani malah menyarankan agar kami datang keesokan harinya saja mengingat jalan yang cukup sulit untuk dilalui di malam hari, padahal tak satupun dari kami yang membawa senter atau sumber cahaya yang lain.
Memang Curug Genting dan Curug Mrawu masih dalam kondisi alami dan belum dipungut retribusi. Implikasinya ya belum ada fasilitas apapun. Bahkan saya sempat terpeleset di beberapa tempat karena kondisi tanah merah yang licin.
Akhirnya kami pun mengalah pulang. Apalagi adzan maghrib sudah berkumandang, memanggil kami pulang.

Baru kali ini, ekspedisi mblusukkan ke curug gagal ;-(
Tapi gpp lah, jadi pelajaran buat kami semua, maybe next time kami bisa merasakan segarnya mandi di Curug Genting dan Curug Mrawu, plus kehangatan air panas Giritirta 😉
Kesimpulannya, siapa bilang only “women can’t read map”? buktinya banyak laki-laki yang juga nyasar 😉
Ini saya link beberapa gambar dari pemkab Banjarnegara, kapan-kapan kalo kalian sempat, jalan-jalan lah kesana dan bawakan aku oleh-oleh cerita yaks!



Dari Giritirta ke Kota Banjarnegara kira-kira berjarak 30 km. Malam itu, karena kami sudah berjanji bertemu salah seorang anggota team touring yang menyusul kami di Alun-Alun Banjarnegara, meluncurlah kami ke kota.
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak