[Culinary] nyangkruk nang angkringan!


Angkringan
Angkringan

Angkringan (Jogja) atau yang biasa disebut Hik (Solo) adalah sebuah fenomena sosial tersendiri. Angkringan yang berasal dari bahasa Jawa “Angkring” biasanya terdiri dari sebuah gerobak dorong yang menjual berbagai macam makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan. Di Solo, warga lokal menyebutnya sebagai warung HIK (“Hidangan Istimewa ala Kampung”).

Gerobak angkringan biasa ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli. Makanan yang dijual meliputi sego kucing, gorengan, sate usus, sate telor puyuh, kripik dan lain-lain. Minuman yang dijualpun beraneka macam seperti teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe, susu, dan yang ter-favorite biasanya STMJ (susu telur madu jahe). Semua dijual dengan harga yang sangat terjangkau (biasa disebut dengan harga mahasiswa).

Uniknya adalah saat ini, menu-menu khas milik Angkringan tidak lagi hanya dijual di angkringan tapi dapat juga ditemui di warung-warung makan biasa.

Fenomena yang sedikit berbeda, angkringan dulu beroperasi mulai sore hari, dan cuma mengandalkan penerangan tradisional berupa senthir atau cuma dibantu oleh terangnya lampu jalan. Tapi saat ini banyak sekali dijumpai angkringan yang malah berjualan pada siang hari. Meski tetap saja, beberapa angkringan bertahan berjualan di malam hari.

Angkringan sendiri sangat populer karena biasanya di Jogja, mulai dari tukang becak, tukang bangunan, pegawai kantor, mahasiswa, seniman, bahkan hingga pejabat dan eksekutif semua tidak sungkan berkumpul di angkringan hanya sekedar untuk mengobrol dengan santai dalam suasana penuh kekeluargaan hingga larut malam – meskipun tak saling kenal – tentang berbagai hal atau kadang berdiskusi tentang kondisi politik yang sedang hot.

Acara duduk-duduk menghabiskan waktu sambil mengobrol ngalor ngidul biasanya disebut dengan nyangkruk. Oleh karena itu, angkringan atau hik selalu identik dengan nyangkruk.

Sebagai tempat yang dianggap egaliter, angkringan dijadikan sebagai salah satu ikon Jogja, karena bervariasinya pembeli yang datang, tidak membeda-bedakan strata sosial atau hal-hal yang berkaitan dengaan SARA menggambarkan kondisi masyarakat Jogjakarta (yang meski sebuah kerajaan) akan tetapi hidup dengan prinsip egaliter dalam masyarakatnya, sebuah Indonesia kecil!

Tulisan Terbaru:

Advertisement

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.