Semerbak Cinta Bungur Merah Jambu


Telaga Jonge
Telaga Jonge milik IG @ardiphoto

AROMA itu sudah tercium sebelum terlihat. Dari jarak 45 kilometer lebih, ke selatan. Aroma yang menggelayut di udara. Jauh sebelum perbukitan sewu di sisi selatan Jogja, membentang antara bandara Adi Sutjipto dengan Kwangen. Aku tahu kenanganku melaju lebih cepat dari yang bisa ditempuh raga.

————–

Hari masih pagi benar, gigil dingin belum juga hilang saat kukeluarkan sepeda dari halaman rumah. Aku mengayuh sepeda menuju sekolah. Hanya 6 kilometer dari rumah. Jarak yang terbilang jauh untuk anak kota, tapi tidak untuk anak desa seperti kami. Jarak yang bisa kutempuh hanya dalam 20 menit. Penawar dingin pagi.

Baru sebulan aku naik kelas 3 SMP, tak ada yang istimewa di sekolah. Aku kenal dengan baik semua guru di SMP. Tapi, teman paling istimewa yang kumiliki adalah Pak Kirman, penjaga sekolah.

Dari Pak Kirman-lah, aku mendapat banyak cerita folklore tentang Telaga Jonge. Telaga yang berada di sisi utara sekolah. Kisah-kisah folklore yang kelak, akhirnya membuatku pergi meninggalkan dusun ini.

Pak Kirman juga memberi cerita tentang anak pindahan baru di kelas. Anak perempuan berambut lurus sebahu, yang suka duduk di bawah pohon bungur tua sambil membaca buku. Pak Kirman adalah informan bagiku, pemberi data terpercaya.

“Kau mau nasi goreng buatan ibuku?”. Aku masih ingat sekali, betapa pagi itu, jantungku berdetak lebih kencang daripada biasanya. Gabungan detak tak beraturan karena lelah mengayuh sepeda 6 kilometer, ditambah detak tak beraturan karena pandangan matanya.

P, nama anak baru itu, melepaskan pandangan matanya dari buku, melirik acuh padaku. Sudah sejak seminggu yang lalu, aku melatih diri mengucapkan kata-kata itu. Dan semalam, aku meminta ibu memasak nasi goreng agar aku punya alasan menyapanya.

Aku masih menata nafasku yang terengah-engah, memasukkan ujung baju seragam ke balik ikat pinggang. Memasang senyum sedemikian rapi di depan gadis berambut lurus sebahu itu.

Aku sengaja benar memarkirkan sepeda di dekat pohon bungur tua, karena aku takut, keberanianku pupus jika harus berjalan kaki dari sekolah menuju ke bungur tua ini.

Kabut pagi masih menyelimuti Telaga Jonge. Aku melihat P merapatkan jaket yang dipakainya, kembali menatap deretan kata dalam buku di tangannya. Bersikap acuh padaku.

“Ibuku tiap pagi memaksaku membawa bekal makanan. Satu untuk Pak Kirman. Satu untukku”, suaraku mengusik ketenangan pagi. “Kalau kau mau, kita bisa sarapan bersama”. Kuberanikan duduk tak jauh dari gadis itu, meletakkan tas punggung di sampingnya, mengajaknya berbicara.

Itu adalah pagi pertama, dan selanjutnya menjadi ritual bagi pagi-pagi yang lain. Aku tahu, P tidak punya teman selain diriku. Gadis itu baru saja pindah ke dusun ini. Rumahnya tak jauh dari Telaga Jonge. Di pojokan dusun Kwangen, rumah terakhir sebelum berganti dusun yang lain.

Ibunya baru saja meninggal, mungkin karena itu aku selalu melihat kesedihan berbayang di matanya. Sedang ayahnya, bekerja di lain pulau. “Tinggal di rumah mbah putri adalah pilihan yang dianggap tepat oleh ayah”, begitu katanya suatu hari saat aku menemaninya di pagi yang entah keberapa.

Pagi itu, pagi memasuki musim hujan. Aku masih mengingat aroma atsiri rumput hijau bercampur dengan aroma kembang bungur berwarna merah jambu. Manis, sekaligus pahit yang lesap oleh kabut pagi.
——-

“Apakah kau tahu, kalau makam Kiai Jonge berada di tengah telaga?”. Seperti biasa, aku menemani P duduk di bawah pohon bungur tua, sambil menunggu bel sekolah berbunyi.

P sangat menyukai pohon bungur tua ini. Dia suka memunguti kembangnya yang berwarna merah jambu. Menyelipkan kembangnya pada telinga kiri dan tak lama kemudian, kembang itu merosot karena rambut P yang licin.

“Benarkah?”, P menurunkan buku dari pandangan matanya. Melempar pandangan ke tengah telaga. “Kupikir itu hanya tahayul”.

“Hanya kau yang menganggap Kyai Jonge tahayul. Mungkin karena kau tidak lahir di dusun ini”. Aku menatap P, “Tapi tidak warga di sini. Kisah Kyai Jonge hadir dan tumbuh bersama setiap kelahiran warga baru di sini”.

Aku ingat percakapan semalam dengan ibu. Kami masih di meja makan saat ibu menyampaikan kegelisahan hatinya karena aku dekat dengan gadis Kwangen.

Kegelisahan yang akhirnya membuatku, untuk pertama kalinya, mendengar kisah mengerikan itu. “Tidak ada satu pun anak dusun Kwangen yang boleh menikah dengan warga Mentel”. Ibu berkata sambil berbisik, takut jika kisah itu benar-benar nyata.

“Itu tahayul”, sahutku. “Ibuk terlalu banyak mendengar cerita-cerita aneh”. Gemerisik kering daun jati makin terdengar di antara senyap tembok rumah kami.

“Simbahmu dulu yang bercerita, Le”, kata ibuku. “Dulu zaman simbah, ada warga yang berani melanggar pantangan itu. Pengantin laki-laki meninggal saat perjalanan menuju rumah pengantin wanita. Sejak itu, tidak ada warga Kwangen dan Mentel yang berani melanggar pantangan, sampai sekarang”.

Suara ibu bergetar menahan sesak di dadanya. “Ibuk hanya ga mau kamu kenapa-kenapa, Le”.

Aku terdiam. Semenjak Bapak tidak ada, aku tahu perasaan ibu semakin peka terhadap banyak hal. Tapi kisah yang ini sungguh konyol. Sungguh.

Malam menyelamatkanku dari percakapan dengan ibu. Aku tak tahu harus menjawab apa. Aku tidak ingin menyakiti hati ibu, tapi bukan berarti aku harus mengorbankan perasaanku sendiri, kan?

Kemuraman selalu keluar dan masuk pada halaman yang nyaris sama. Aku menghela nafas dalam-dalam saat kudapati punggung ibu yang bergetar getir. Itu malam dimana kelak, aku mengutuk diriku sendiri dan semua kisah-kisah folklore yang waktu kecil sering aku dengar dari Pak Kirman. Tapi siapa yang bisa membuang masa lalu? Kita selalu tidak bisa beranjak jauh-jauh dari sana.

Aku masih duduk di tepi telaga Jonge. Tak jauh dari pohon bungur tua, menatap P dari kejauhan. Aku tak tahu mesti memulai dari mana, menjelaskan pada P bahwa ibu akan mengirim aku kuliah ke kota yang jauh. “Jauh dari Jogja, agar aku tidak jatuh cinta padamu”, bisikku dalam hati.

Aku menatap P lekat-lekat. Aku ingin merekam pagi ini dalam ingatanku. Wajahmu di antara larik-larik cahaya pagi. Aku menghirup dalam-dalam udara pagi itu. Aroma kembang bungur berwarna merah jambu bercampur atsiri rumput hijau. Kelak, ingatan inilah yang kupanggil datang, jika aku merindukanmu P.
———–

Aku menggegam stang sepeda motor semakin erat, menembus ujung-ujung jalan yang menghilangkan mobil, angkutan umum, dan sepeda motor yang melaju terburu-buru.

Aku bahkan lupa sudah berapa lama meninggalkan kota ini. Setelah pergi dari Jogja, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah konsentrasi pada kuliah agar bisa segera lulus. Kemudian bekerja di tempat yang diinginkan ibu.

Hingga dua hari yang lalu, dari sepupuku, aku mendengar kabar bahwa perempuan yang sangat kucintai itu, seminggu lagi akan melangsungkan pernikahan.

Aku langsung terduduk, selama beberapa saat tidak bisa melakukan apa-apa. Dan ketika pulang kerja, selama dua hari aku mengurung diri di dalam kamar, hanya menangis dan menangis. Aku tidak peduli lagi dengan segala urusan kantor.

Dan siang ini, disinilah aku, pulang tanpa mengabari ibu. Hanya sepupu yang kukabari sebelum pesawat bertolak ke Jogja, dari Jakarta.

Aku menggegam stang sepeda motor semakin erat, memacunya terburu-buru melintasi Piyungan – Bukit Bintang – menembus Wonosari. Hanya 45 kilometer. Jarak yang dulu kujanjikan padamu, begitu dekat, tapi sekarang terasa begitu jauh karena rindu.

Kenangan melaju lebih cepat dari yang bisa ditempuh raga. Dadaku menabuh rasa cemas. Menimbulkan rasa mual dan sesak.
————-

“Kau sungguh-sungguh akan menikah dengan laki-laki itu?”, pagi itu kami duduk berdua di bawah pohon bungur tua yang kembangnya berwarna merah jambu.

Aku menoleh, menatap P, perempuan yg beberapa tahun terakhir ini wajahnya memenuhi mimpi-mimpiku. “Apakah jarak membuatmu berhenti mencintaiku?”, tanyaku.

“Kita bukan anak kecil, R. Usia kita tidak lagi muda. Tidak mungkin kukatakan padamu kau terlalu baik, kemudian seperti anak remaja, kita berpisah, tak bertegur sapa”, P menjelaskan secara perlahan.

“Apakah laki-laki itu mencintaimu?”, kataku lirih, “Seperti aku.”

P menatap mataku, mengulurkan tangannya mencoba menghapus air yang menggenang di mataku. Aku menjauhkan kepala dengan cepat, menolak disentuh P.

“Ayahku semakin menua, R. Aku putri satu-satunya. Ia ingin segera menimang cucu”, jelas P, “Kau tidak mungkin tinggal di kota ini. Kau punya karir yang bagus di kotamu. Aku tak mungkin pindah ke kotamu. Aku teramat mencintai ayahku, mencintai tempat ini, telaga Jonge ini”.

“Laki-laki itu tidak sehebat dirimu. Jika itu membuatmu lebih baik”, P tersenyum getir, “Ia tidak pernah membuatku tertawa, tidak sekalipun mendebat perkataanku -seperti yg selalu kurindukan darimu- tapi ia bisa mengurusku dengan baik”.

“Jika waktu boleh mundur sejenak, jika tidak ada tahayul bodoh itu diantara kita. Jika ibuku merestui hubungan kita. Apakah kau akan tetap meninggalkanku?” Mataku lekat menatap mata P. Mencari jawaban yang kucari.

Sambil menarik nafas panjang, P berkata: “Waktu tidak berjalan mundur, R. Waktu berjalan maju”.

“Termasuk jika kukatakan “aku akan melamarmu diwaktu yang tepat”, bahuku bergetar saat aku mengatakannya. “Beri aku sedikit waktu lagi, P”. Aku menarik nafas panjang, tersengal, menahan sesak yang semakin membucah.

“Besok adalah hari pernikahanku, R. Aku tidak bisa membatalkan begitu saja dan mempermalukan ayahku di hadapan orang banyak”, kata P tertunduk.

Hari itu, aku sadar, keputusanku pergi jauh dari dusun, menyetujui keinginan ibuku adalah keputusan terburuk yang pernah kubuat.

“Bolehkah aku tetap mencintaimu? Karena menghapusmu dari ingatanku seperti menghapus ingatan tentang diriku sendiri”, aku menatap nanar mata P. Perempuan yang wajahnya mengisi mimpi-mimpiku sejak pertemuan pertama kami di bawah pohon bungur tua ini.

Aku ingat pagi itu, kabut menyelimuti telaga Jonge. Beberapa orang lalu lalang melewati area joging track. Aroma kembang bungur berwarna merah jambu bercampur dengan aroma atsiri rumput hijau. Aroma yang seumur hidup akan menyiksaku.

Manis, sekaligus pahit yang lesap oleh kabut pagi.

Advertisement