
Yang khas dari pertemanan kami adalah kami selalu punya rutinitas mengisi jadwal syawalan dengan acara jalan-jalan. Lokasi yang dikunjungi bisa ke mana saja, yang penting tidak menghabiskan banyak biaya. Setelah berkali-kali mencari waktu kosong, akhirnya kami putuskan sabtu 25 agustus yang lalu sebagai waktu yang pas buat syawalan plus reuni.
Pesertanya ga banyak, maklum beberapa orang sedang di luar kota, sisanya masih berkewajiban merampungkan KKL dan KKN. Jadilah hanya kami bertiga yang bisa merayakan syawalan. Sekali dalam setahun, sayang sekali jika dilewatkan. Sebenarnya bukan syawalan secara resmi sich, ini cuma cara kami tetap menjalin tali silahturahim diantara segudang kegiatan yang tak memungkinkan kami tetap bersama. Setidaknya dalam setahun dua kali kami membuat acara untuk bertemu, pertama berbuka puasa bareng, yang kedua ber-syawalan. Bagian terpenting adalah berkumpulnya kami 😉
Sulit juga menentukan tempat yang ingin kami kunjungi. Maklum, di DIY nampaknya hampir semua tempat pernah kami jelajahi. Kami pun tidak termasuk orang yang rajin browsing tempat wisata baru. Nah berdasarkan pengetahuan yang seadanya ini, kami putuskan untuk menuju ke Pantai Timang di Gunungkidul. Lokasi ini kami tentukan pagi hari sebelum berangkat, sambil menunggu teman yang kedatangannya molor laksana jam karet!
Saya sendiri ga pernah ke Pantai Timang sebelumnya, dan tidak tahu posisi tepatnya dimana. Meski demikian, saya sudah berkali-kali nonton di tipi liputan tentang Pantai Timang, jadi setidaknya saya sudah punya ilmu kira-kira, dimana lokasi pantai tersebut. Dari info yang saya dapat, pantai Timang terletak di Tepus, tepatnya di sebelah barat pantai Siung. Hmm… berhubung dulu pas jaman kuliah saya pernah dapat jatah penelitian di Tepus, jadi saya pede banget ga bakal nyasar 😉
Kami menuju Gunungkidul lewat Pathuk, kemudian mencari arah Semanu. Dari Semanu, saya mencari jalan tembus mblusukkan ke Tepus. Saya sengaja lewat desa Purwodadi Tepus, biar temen-temen merasakan ajibnya naek motor kebut-kebutan lewat sana. Jalan yang naik turun dengan curam dan kelokan tajam, jika dipacu dengan kecepatan 100km/jam rasanya kayak naek Rollercoster di Dufan. Sensasi kayak begini, yang mau saya tunjukkan ke teman-teman. Makanya saya sengaja “melarang” mereka lewat jalan raya Baron untuk menuju Pantai Timang. Standar banget kalo lewat sana!
Ga ada petunjuk yang jelas menuju pantai Timang, satu-satunya petunjuk yang saya tau ya mencari Pantai Siung lalu ke arah barat, lalu bertanya-tanya ke warga sekitar, dimanakah belokan mencari pantai Timang.
Hasil tanya-tanya agar tidak sesat di jalan adalah kami harus menemukan masjid kecil berwarna kuning. Lalu dari masjid tersebut ikuti saja jalannya hingga menemukan gardu dengan tulisan dusun Danggolo. Dari gardu tersebut, pilih belokan paling kanan. Ikuti saja jalannya menuju pantai. Sebenarnya jaraknya ga jauh, tapi karena jalannya masih alami banget, berupa batu gamping besar-besar, jadi ya ga bisa ngebut. Kudu sabar banget lewat jalan-jalan berbatu tersebut. Sayang khan kalo motornya benjut gara-gara jalan berbatu 😉
Pantai Timang adalah pantai dengan ciri khas berbatu karang. Pantai ini mengingatkan saya pada pantai Kesirat di Panggang Gunungkidul. Sebenarnya di pantai Timang, ada juga bagian ber-pantai yang bisa dinikmati kejernihan airnya, akan tetapi batu karang yang disebut dengan watu panjang oleh warga sekitar ini, sangat ikonik sebagai ciri khas pantai Timang. Kedua batu karang besar ini dihubungkan dengan kereta gantung tradisional berupa kursi kayu yang ditali dengan tambang pada bambu-bambu yang dipancang pada batu karang.
Kebetulan pas saya datang, bertemu dengan beberapa nelayan yang sedang menggunakan kereta gantung tersebut berburu lobster di watu panjang. Jadilah kami terbengong-bengong melihat atraksi nelayan bersliweran dengan kereta gantung super darurat!

Setelah ngobrol cukup lama, ternyata saya baru tau kalo harga “permainan” kereta gantung tersebut 100ribu PP. Dulu sich gratis, tapi semenjak kemunculan pantai Timang di tipi, diikuti ramainya wisatawan yang datang sekedar ingin mencoba kereta gantung, para nelayan pun mulai memungut biaya sebagai tambahan penghasilan.
Saya sendiri ga terlalu berminat mencoba, selain saya ga yakin dengan ke-safety-annya, saya emoh mengeluarkan uang sebesar 100ribu cuma buat naek kereta gantung yang jaraknya ga begitu panjang. Harganya terlalu mahal buat kantong saya. Saya dan teman-teman memilih “cukup” berfoto ria saja 😉
Kelebihan dari pantai Timang adalah pantainya masih sangat alami, bahkan sepi pengunjung. Tidak ada retribusi, tidak ada parkir, bahkan tidak ada penjual makanan!
Kekurangannya, kondisi jalan yang sangat buruk membuat orang malas berkunjung ke pantai Timang. Kejadian terburuk yang bisa saya bayangkan adalah jika kalian datang ke pantai Timang naek sepeda motor, lalu motor kalian ban-nya bocor atau bensin habis. Maka kalian mesti berjalan begitu jauh untuk minta pertolongan pertama. Apes banget khan! Huahaha 😉
Uniknya, meski lebih dulu masuk ke tipi, pantai Timang memang ga se-ngetop pantai baru yang ada disebelah baratnya, yaitu Pantai Poktunggal. Aneh ya? Karena selain pantainya bersebelahan, kedua pantai ini memiliki akses jalan yang sama buruknya. Untuk keindahan, meski memiliki ciri khas yang berbeda, saya yakin kedua pantai ini sama-sama indah.
Barangkali karena masyarakat lebih suka pantai yang landai, dibandingkan pantai berkarang, makanya Pantai Poktunggal lebih cepat popular dibandingkan pantai Timang. Tapi kesan ini diambil hari ini. Enam bulan lagi, barangkali wisatawan akan lebih suka memacu adrenalin di pantai Timang daripada bermalas-malasan di pantai Poktunggal. Bisa saja khan 😉
Selamat Berpetualang!
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak