Ini bukan pertama kalinya orang-orang ditempatku bekerja melakukan perjalanan ke Bromo. Beberapa saat sebelumnya tetangga kantor mengendarai jeep mblusukkan dari Jogja sampe Bromo. Di kantorku sendiri, para juragan baru saja mblusukkan ke Bromo menyewa bus pariwisata. Semua memberikan testimoni kalo Bromo adalah salah satu tempat yang wajib dikunjungi sebelum ajal menjemput. Halah! opo tho iki…
Jadi semua hal dipersiapkan. Mulai dari nyari sponsor 😉 sampe tanya ke teman-teman yang wes pernah mblusukkan ke Bromo tentang rute yang kudu kami tempuh. Awalnya jumlah peserta melonjak karena Bromo sebagai destinasi yang menarik membuat peminat acara mblusukkan kali ini direspon oleh banyak orang, tapi mendekati hari-H hanya beberapa orang yang bertahan ikut, sisanya menghilang tak tahu rimbanya.
Seperti biasa, perjalanan Jogja ke Bromo diawali dengan berkumpul di markas besar jam setengah enam pagi, lalu setelah berdoa dan memastikan kendaraan dalam kondisi layak pakai, kami pun berangkat.

Kita memaksa peserta berangkat pagi-pagi karena perjalanan Jogja ke Bromo selain jauh juga karena waktu itu musim penghujan. Jadi berangkat pagi-pagi adalah pilihan terbaik, karena kami bisa santai berkendaraan menikmati perjalanan.
Kami memilih lewat Probolinggo. Sebenarnya Bromo dimiliki oleh 4 Kabupaten: Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Akan tetapi kami memilih lewat Probolinggo karena itu adalah rute termudah yang bisa dilewati sampai ke Bromo. Kebetulan waktu itu di Probolinggo sedang musim mangga, jadi sepanjang jalan dipenuhi aroma mangga. Sayang kami tak sempat membeli, ya iyalah mangga sekilo itu berat kalo dimasukkan ke dalam ransel kami yang besarnya tidak seberapa.
Sedihnya, selama perjalanan berangkat kami dikepung oleh hujan sepanjang jalan. Kebayang ga gimana rasanya dari Jogja sampe Probolinggo naek motor dalam hujan deras. Wuiiih hanya dengan mengingatnya saja, tiba-tiba semua persendian tubuh saya menjadi linu.
Sampai di Sukapura, hujan mulai reda. Kami mengaso sejenak di sebuah masjid. Kami mulai bergerak kembali sesaat setelah gerimis turun. Aiiihhh benar-benar menderita malam-malam begini kehujanan (lagi)!

Jam 11 malam kami sampai di Cemoro Lawang, pintu masuk menuju Bromo dari arah Probolinggo. Setelah membayar retribusi, oleh petugas kami disarankan untuk beristirahat di sebuah rumah yang disewakan menjadi penginapan. Untungnya kami membawa salah satu penjaga Villa Kaliurang, jadi kami mendelegasikan kewenangan kepadanya untuk ikut warga lokal berkeliling ke beberapa rumah yang layak kami jadikan tempat beristirahat malam ini.
Setelah menemukan sebuah rumah penginapan dan harga pun sudah deal, sekitar jam setengah 12 malam, kami mampir makan malam. Makan malam yang benar-benar malam! Jangan tanya bagaimana suhu dimalam itu, kawasan Bromo yang memiliki ketinggian 750 – 3.676 m diatas permukaan laut, dengan suhu udara 2 – 20 derajat celsius memaksa kami membeli kupluk dan syal tebal pelindung dari dinginnya udara Bromo. Jadi meski nasi goreng kami baru diangkat dari wajan atau kopi kami baru diseduh dengan air mendidih, tetap saja langsung dingin. Haisssh!

Jam 3 pagi, kami dibangunkan oleh guide demi melihat sunrise dari atas Gunung Penanjakan. Kenapa memilih jam 3 pagi? karena biasanya pas jam 4 pagi, di tanjakan jahanam menuju Gunung Penanjakan penuh dengan hartop. Jadi, kita yang naek motor kudu mengalah berangkat sejam lebih pagi.
Udara yang dingin, badan yang lelah plus kurang istirahat (saya cuma tidur setengah jam) membuat kami ga awas di perjalanan. Kami ga menyangka kalo jalan menuju Gunung Penanjakan selain sempit tapi juga rusak berlubang, udah gitu ga ada lampu jalan lagi! Wuiiihhh pengalaman tak terlupakan banget.
Untungnya kami punya guide, jadi ada penunjuk jalan meski di dalam kegelapan tanjakan jahanam Gunung Penanjakan. Di salah satu kelokan yang menanjak, motor salah satu teman tiba-tiba ga kuat nanjak. Kesalahan kami adalah mengendarai motor dalam jarak yang terlalu dekat. Jadi pas motor didepan tiba-tiba berhenti, maka motor yang dibelakang terpaksa banting kesamping biar ga nggiles motor yang didepannya. Alhasil terjadilah tabrakan beruntun dibeberapa motor yang dibelakang, termasuk motor yang saya naiki.
Nah, hasil dari kecelakaan kecil ini. Beberapa motor mengalami kerusakan, yang paling parah ya kami penumpangnya, sudah jatuh-ketimpa motor-kepala terbentur batu. Otak saya sampe ter-koplak-koplak rasanya. Halah!
Apesnya lagi, ga lama kemudian hartop-hartop mulai lewat tanjakan. Wah sereeemmm! masalahnya jalannya jelek, sempit, gelap, menanjak, dan penuh kelokan tajam. Kami jadi harus buru-buru jalan menaiki tanjakan menuju puncak biar selamat ga ketabrak!
Untungnya guide kami cihuy, buru-buru dia naek motor yang rusak karena jatuh tadi, dan ngunjal kami dua-dua naik ke puncak Gunung Penanjakan. Dan selamatlah kami! 😉



Hujan berhari-hari membuat sunrise di Bromo tidak terlalu apik. Semeru dan Bromo tertutup kabut. Meski begitu kami sudah cukup senang sampai di puncak Gunung Penanjakan dengan selamat walafiat 😉

Ternyata orang-orang yang menunggu sunrise di Gunung Penanjakan itu rame banget lho. Kata beberapa warga lokal yang berprofesi sebagai tukang parkir, pas kami datang ada banyak tamu dari Kedutaan Australia. Pada umumnya tamu-tamu ini naek hartop, satu hartop biasanya bisa disewa dengan harga 300an ribu dengan isi 6 orang per hartop (termasuk sopir).

Kami sendiri ga berlama-lama disini. Sekitar jam 6 pagi, kami sudah mblusukkan ke pasar souvenir yang ada di Gunung Penanjakan. Setelah matahari terbit, baru ngeh kalo ternyata disana rameee banget!




Udara yang dingin memaksa kami untuk selalu bergerak. Sempat terbersit untuk membeli beberapa souvenir, akan tetapi saya lebih tertarik mencari makanan penghangat. Di Gunung Penanjakan, ada banyak penjual makanan seperti jagung rebus, kacang rebus, singkong rebus, ubi rebus, tapi yang paling menarik sate kentang. Jadi ada beberapa kentang yang kecil-kecil direbus trus dimodel tusuk sate dan dibakar. Rasanya maknyusss! satu tusuk harganya 5ribu. Sayangnya saya ga sempat mem-foto-nya. Maklum, beli langsung habis! 😉


Dari Gunung Penanjakan kami diajak guide untuk segera turun menuju ke Gunung Bromo. Sepanjang menuruni Gunung Penanjakan ini, kami terpukau dengan pemandangan disekeliling. Subhanallah, kami merasa benar-benar beruntung bisa sampai disini, dan yang terpenting kami dalam kondisi sehat walafiat. Ga kebayang kalo sebelumnya kami udah tau situasi Gunung Penanjakan di siang hari begini mendebarkan. Kayaknya kami ga bakal berani mblusukkan jam 3 pagi naek motor langsung dari Jogja ke puncak Gunung Penanjakan padahal badan belom istirahat. Memang benar yang disarankan oleh guide kami, naek hartop jauh lebih aman. Huehe!
Eh iya, tau ga, pas turun dari Gunung Penanjakan ke arah Gunung Bromo, karena terlalu sibuk mengambil photo, saya dan seorang teman sempat terpisah dari rombongan. Pas menelusuri arah semalam jalan menuju Cemoro Lawang, eehhh kami malah nyasar sampe ke Tosari. Sempet nanya dengan ibu tua yang lagi ngarit dipinggir jalan, dikasih tau kalo itu arah jalan menuju ke Kota Pasuruan. Weleh! Untung warga lokal yang tinggal di sana orangnya baek-baek. Kami ditunjukkan arah jalan menuju Gunung Bromo. Ternyata jalannya bikin degh-degh-an ancurnya 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak