
Dari Penanjakan kami ke Bromo lewat sisi utaranya. kok tau? kata guide kami, sisi utara Bromo adalah bagian Bromo yang paling kering, gersang dan berdebu sejauh mata memandang. Tapi jangan salah, biar gersang tapi romantis lhooo 😉

Begitu sampai disana, kami langsung diajak menaiki tangga menuju puncak Bromo. Hah! ada berapa puluh tangga tuh biar nyampe puncak? trus lokasinya jauh dari parkiran lagi! males banget ga sih, abis jatuh dari motor kok disuruh jalan jauh trus menaiki tangga menuju puncak Bromo, bisa semaput saya!

So, saya memilih cara paling praktis, naik kuda! Tau ga, kuda di Bromo tuh beda sama kuda di Jogja. Kuda di Bromo rata-rata pendek dan kecil, saya ajah sampe takut, takut kalo tuh kuda pingsan dinaiki badanku yang gendut 😉 Hihi!

Jadi, saya meminta guide untuk mencarikan tukang kuda kenalannya. Hampir semua warga lokal itu saling kenal mengenal, ya iyalah namanya juga dikampung, kalo ga kenal baru aneh.
Rasanya naek kuda ke puncak Bromo itu aneh lho. Saya sendiri sudah pernah naek kuda di pantai, tapi rasanya ga seseram di Bromo. Bapak yang menuntun kuda yang saya naiki berkali-kali menyuruh saya rileks. Lha ga liat tah ini udah mencoba rileks lhooo. Tapi gimana bisa rileks, kalo jalan menanjak khan otomatis badan saya jadi harus condong ke depan. Kuda kan kalo jalan, pantatnya geyal geyol. Pas jalan menanjak gitu, trus liat ke bawah, weleh ngliyang ngliyeng kayak mau jatuh saya!
Alhasil, demi mencapai kondisi hati dan pikir yang rileks, sepanjang jalan saya nyanyi-nyanyi. Hihi! Bapak yang menuntun kuda dan orang-orang yang saya lewati sampe ngakak liat saya dengan muka pucat diatas kuda nyanyi-nyanyi ga jelas gitu. Kalo inget jaman itu, aduuuh ternyata saya itu malu-maluin banget yaks 😉

Jam setengah 7 pagi, saya sudah sampe di puncak Bromo, dalam kondisi sehat walafiat dan mendahului semua teman-teman saya yang lagi ngos-ngos-an menaiki tangga menuju puncak Bromo 😉 Haha! rasanya gimana gituuu liat temen-temen pada kecapekan menaiki tangga, padahal biasanya saya selalu jadi orang yang paling ketinggalan di belakang. Yeay! *pasang tampang setan cantik*

Menuruni Bromo dengan naek kuda itu ternyata jauh lebih deg-deg-an daripada pas nanjak lho. Karena jalanan yang temurun itu membuat si kuda agak semangat jalan dan sedikit lepas kendali, ini yang bikin jantung saya jauh lebih dag dig dug dibandingkan pas nanjak tadi. Jangan tanya bagaimana kondisi jalannya. Setelah hujan semalaman, kerasa banget jeleknya jalan berpasir yang basah ;-(

Ohiya, tau kah kalian? di tengah-tengah Bromo ada sebuah pura. Pura ini digunakan oleh masyarakat Tengger untuk upacara yang sangat terkenal yaitu Kasada. Kasada adalah upacara persembahan hasil bumi di musim panen dari masyarakat Tengger sebagai penghormatan kepada Gunung Bromo.
Upacara ini terkait dengan legenda tentang janji Roro Anteng-Joko Seger yang akan mengorbankan anak ke-15 mereka ke puncak Bromo. Sayangnya, upacara Kasada yang selalu diadakan tengah malam setiap bulan purnama pada tanggal 14 atau 15 di penanggalan Jawa, selalu jatuh di bulan Agustus. Padahal beberapa tahun terakhir ini, puasa dan lebaran selalu jatuh di bulan Agustus juga, jadi saya dan teman-teman kesulitan untuk mem-pas-kan acara jalan-jalan ke Bromo dengan menonton acara Kasada ini.
Sempat bertanya pada bapak yang menuntun kuda, apakah saya boleh masuk ke dalam pura. Tapi katanya, yang diperbolehkan masuk pura hanya bagi yang mau berdoa saja. Jadi kalo cuma mau photo-photo saja ada baiknya dari luar saja, tidak boleh masuk. Kecuali pada hari Kasada dimana pura dibuka untuk umum, maka mungkin saja kita menyelinap masuk ke dalam pura.
Bapak yang menuntun kuda ini pun bercerita, pas terjadi letusan Gunung Bromo tahun 2004 yang lalu, batu-batu yang dimuntahkan oleh Gunung Bromo ga ada satupun yang jatuh di halaman ataupun menimpa pura. Keren ya?
Jika lain kali kalian berkunjung ke puncak Bromo, saya sarankan naik kuda dari tempat parkir karena disini jauh dekat bayarnya sama yaitu 50ribu. Rugi kan kalo naeknya udah deket tangga menuju puncak Gunung Bromo, padahal bayarnya sama?
Warga Tengger itu terkenal baik dan jujur, jadi tenang ajah, disini aman. Bapak yang menuntun kuda saya, dalam sehari cuma nyari 3-4 penumpang. Kalo pas upacara Kasada paling poll 5 penumpang dalam sehari, setelah itu pulang. Saat saya tanya kok ga nyari penumpang sebanyak-banyaknya pak? jawabnya simple “bagi-bagi rejeki dengan yang lain mbak? yang penting saya cukup buat makan sehari. besok bisa nyari lagi”. Salut! Hidup emang kudu gitu, ga ngoyo yang penting cukup dan bahagia 😉
Sekitar jam 8an, kami sarapan di kaki Gunung Bromo. Berhubung hari sudah semakin siang, baru terasa kalo di Bromo itu puanas meski juga letak nya yang di ketinggian membuat kita juga kedinginan. Jadi rasa nano-nano!
Ada banyak penjual makanan di kaki Bromo. Menunya sangat sederhana. Umumnya jual mie instant dan pecel, sayang ga ada yang jual bakso disini. Saya sarapan sambil sibuk telp bapak saya di Lampung. Setelah semalam jatuh dari motor pas di Gunung Penanjakan, saya jadi takut kalo ada apa-apa yang terjadi dengan saya. Bapak saya harus tahu kalo saya sedang di puncak Bromo. Huehe!



Usai sarapan dan ngopi, kami diajak melanjutkan petualangan ke sumber air suci di Goa Widodaren, yang kata guide kami, airnya dikeramatkan oleh Suku Tengger, sebagai air suci yang digunakan pada ritual Kasada.

Akan tetapi, kondisi badan yang sangat capek membuat kami mengurungkan niat mblusukkan ke Goa Widodaren. Kami memilih untuk melanjutkan acara mblusukkan ke Pasir Berbisik yang terkenal karena pilemnya Dian Sastro itu saja 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak