Ngurah Rai. Siapapun yang pernah ke Bali pasti kenal nama ini. Nama I Gusti Ngurah Rai diabadikan dalam banyak tempat di Bali. Dari nama jalan, bandara, hingga dibuatkan dua patung Ngurah Rai dalam posisi berhadapan dalam ukuran berbeda di daerah Tuban. Sebenarnya bukan hanya Bali, di lain daerah pun banyak nama jalan mempergunakan nama Ngurah Rai.
Patung Pak Rai yang saya ambil gambarnya ini terletak tidak jauh dari Patung Gatotkaca Seraya di daerah Tuban. Terletak di pintu masuk menuju Bandara.

Lalu siapakah Pak Rai? Beliau lahir di desa Carangsari, Petang, Kabupaten Badung, Bali tanggal 30 Januari 1917 dengan nama I Gusti Ngurah Rai. Kita mengenal Pak Rai lewat buku-buku sejarah tentang Puputan Margarana.
Puputan berasal dari kata puput. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata puput bermakna terlepas dan tanggal. Tapi menurut orang Bali, kata puputan berarti perang sampai titik darah terakhir. Margarana merupakan nama tempat pertempuran ini terjadi, yaitu dari daerah Marga, Tabanan, Bali.
Dalam buku sejarah, ada dua puputan yang sangat terkenal, yaitu Puputan Jagaraga dan Puputan Margarana.
Puputan Jagaraga terkait cerita tentang Hak Tawan Karang, sebuah hak yang dimiliki oleh Kerajaan yang ada di Pulau Bali, dimana jika ada kapal yang terdampar, maka Kerajaan tempat kapal tersebut terdampar memiliki hak sepenuhnya atas kapal dan harta ataupun manusia yang ada di dalam kapal tersebut. Hingga suatu saat, kapal VOC terdampar di Kerajaan Buleleng.
Sesuai hukum yang berlaku, Buleleng pun merasa berhak atas kapal milik VOC tersebut. Permintaan VOC agar Buleleng melepas kapal tersebut pun ditolak. Hak Tawan Karang inilah yang menjadi alasan VOC menyerang Buleleng dan melanggar perjanjian damai diantara VOC dengan kerajaan-kerajaan di Bali.
Perlawanan rakyat Buleleng melawan VOC inilah yang kita kenal dengan Puputan Jagaraga. Puputan karena rakyat Buleleng yang dalam persenjataan kalah jauh dengan Belanda, berjuang hingga titik darah terakhir mempertahankan tanah air mereka.
Sedangkan Puputan Margarana terjadi berabad-abad kemudian, tepatnya pada 20 November 1946. Saat peristiwa tersebut terjadi, usia Pak Rai masih 29 tahun, masih muda tapi sangat berwibawa. Ini bisa di baca dari buku “Orang-orang di Sekitar Pak Rai: Cerita Para Sahabat Pahlawan Nasional Brigjen TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai”.
Pada masa-masa itu, Belanda lewat Perjanjian Linggarjati berusaha kembali memiliki Indonesia dengan membentuk negara boneka yaitu Negara Indonesia Timur. Untuk memperkuat kekuasaan Belanda, direkrutlah beberapa pemuda yang tergabung dalam PPN (Pemuda Pembela Negara) yang bertugas untuk membunuh pasukan Pak Rai –Ciung Wanara– dan orang-orang yang setia pada NKRI.
Jangan pikir bahwa Belanda bisa berkuasa di Indonesia karena jumlah mereka ada banyak di Indonesia. Tidak! Umumnya pasukan yang loyal pada Belanda itu adalah pribumi yang bergaya sok Belanda, sok borjuis!
Ada sebuah surat yang ditulis Pak Rai yang sangat terkenal.
18 Mei 1946
Kepada Jth. Toean Overste Termeulen di Denpasar Merdeka!Soal perundingan, kami serahkan kepada kebijaksanaan Pemimpin-pemimpin kita di Djawa. Bali boekan tempatnya peroendingan diplomatik. Dan saya boekan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya menghendaki lenyapnya Belanda dari poelau Bali atau kami sanggoep dan berdjandji bertempur sampai tjita-tjita kita tertjapai. Selama Toean tinggal di Bali, poelau Bali tetap menjadi belanga pertoempahan darah, antara kita dengan pihak Toean.
Sekali merdeka tetap merdeka.
Dewan Perdjoeangan Bali I Gusti Ngurah Rai
Surat ini merupakan penolakan dari Ngurah Rai atas ajakan Overste Termeulen untuk menyerah. Beberapa bulan setelah surat ini, terjadilah Puputan Margarana.
Dalam peristiwa ini, pasukan Pak Rai (Ciung Wanara) yang berjumlah 96 orang itu semuanya gugur, termasuk Pak Rai sendiri. Sebaliknya, di pihak Belanda sekitar 400 orang yang tewas.
Sampai sekarang sejarah tetap mengenang, Puputan Margarana sebagai perang paling heroik yang pernah ada di Pulau Bali. Untuk menghormati jasa-jasa Pak Rai dan pasukannya, warga Bali mendirikan Tugu Pahlawan Taman Pujaan Bangsa di bekas arena pertempuran, dan menjadikan tanggal 20 november 1946 sebagai hari perang puputan margarana.
Pak Rai dan pasukannya Ciung Wanara, menjadikan Bali dikenal bukan hanya sebagai pulau dewata yang indah, tapi juga sebagai tempat lahirnya seorang pemberani. Seharusnya anak-anak muda Bali sangat bangga memiliki leluhur semacam beliau 😉 dan tentunya kita semua anak-anak bangsa Indonesia!
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak