
Judul: Di Kaki Bukit Cibalak
Penulis: Ahmad Tohari
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun: 2005
Hlm: 170
ISBN: 979-605-054-4
Buku ini bersetting di sebuah desa bernama Tanggir di tahun 1970-an. Tokoh utamanya adalah Pambudi, berusia 24 tahun, bekerja sebagai pengurus lumbung koperasi Desa Tanggir. Buku ini bercerita tentang intrik-intrik kekuasaan yang terjadi di desa Tanggir. Tentang Pambudi yang jujur, tapi kalah oleh keadaan. Tentang Pak Dirga, Lurah yang menghalalkan segala macam cara untuk melestarikan kekuasaannya. Tentang Poyo, rekan kerja Pambudi, yang rela melakukan apa saja Asal Bapak Senang.
Konflik bermula saat Pambudi menyampaikan pendapatnya atas kekurangsenangannya dengan kebijakan Pak Lurah menghabiskan banyak dana pada saat pelantikkan hingga harus membobol kas darurat desa. Pendapat ini juga yang kemudian bergulir menjadi bola panas. Pambudi dipecat dengan alasan menggelapkan kas desa.
Cerita berlanjut dengan tersingkirnya Pambudi dari desanya dan merantau ke Yogya. Di Yogya, Pambudi bertemu teman lama yang memintanya meneruskan belajar sambil bekerja di sebuah toko. Melalui surat kabar, Pambudi melanjutkan perlawanannya terhadap Kepala Desa yang telah menyingkirkannya, dan berhasil! Akan tetapi, Pambudi mesti berbesar hati kehilangan Sanis, gadis yang dicintainya.
Ahmad Tohari seperti biasanya, menyuguhkan cerita tentang sebuah desa dengan caranya yang khas. Dengan menyelipkan beberapa filsafat Jawa dalam cerita sehari-hari, Tohari mengajak kita kembali mengkritisi sesuatu yang telah ada sebelum kita, tapi terabaikan.
“ Wani ngalah luhur wekasane. Berani mengalah luhur akhirnya. Ingat, hanya Arjuna yang kecil yang dapat mengalahkan Nirwatakawaca yang raksasa, hanya si kecil Daud yang bisa mengalahkan Goliath. Toh Don Quichote tidak berhasil menumbangkan sebuah kincir angin meskipun memakai baju besi dan pedang jenawi. Lalu, camkanlah, I have not begun to fight yet”. (hal.116-117).
–Selamat Membaca–
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
Ahmad Tohari, slah satu seorang penulis favorit saya. gaya bhsa dlm brcrita’a yg slalu ssuai dngn kondisi dan bngsa Indonesia, membuat dia seakan-akan tahu betul dn sudah tinggl bratus-ratus thun di negeri ini.
krn di setiap buku’a, dia selalu menampilkan kultur indonesia yg kntal.
smoga dksh link tuk donwload ebook’a jg (klo ada)… hehe 😀
wah sama mas…
saya cinta sekali dengan Ahmad Tohari
Nyehehe…
Keren euy. Senang rasanya masih ada pembaca novel para penulis Indonesia… 🙂
ehhh kebetulan saya mmg ga terlalu suka dgn penulis luar mbak, hanya bbrp saja saya baca, misal kayak Paulo Coelho, kebanyakan tidak 😉