Hari Keempat, Kamis, 19 Mei 2011
Setelah sarapan pagi dengan nasi kuning. Kami pergi ke daerah Pasar Burung Cakra. Di daerah tersebut, terdapat beberapa tempat yang menyewakan sepeda motor. Pada umumnya, motor matic di hargai Rp 50.000,- sehari semalam, sedangkan motor manual Rp 35.000,- sehari semalam.
Perhatikan benar motor yang anda sewa. Mulai dari kelengkapan surat, helm, ban, rem, dan lain sebagainya. Anda tidak mau kan mendorong motor di tengah hutan atau di pinggir pantai yang sepi di tengah malam.
Begitu mendapatkan motor, kami langsung menuju pom bensin terdekat. Ternyata di seberang jalan pom bensin terdapat dua pura yang kami cari, yaitu Pura Meru dan Pura Mayura. Wah, tidak perlu jauh-jauh rupanya.
Pura Meru

Pura Meru merupakan pura yang terbesar di Lombok. Dari jalan, terlihat gapura tinggi bernuansa merah bata dan tiga puncak pura yang menjulang tinggi. Pada saat kami memasuki pelataran pura, sudah ada seorang guide yang siap menemani berkeliling pura. Kami diharuskan memakai kain panjang bermotif berwarna kuning sebagai bagian untuk menghormati tempat suci.
Kompleks Pura Meru terdiri dari Pura Brahma, Siwa dan Wisnu. Tiga pura utama beratap susun 9 dan susun 11, diantara semuanya Pura Siwa-lah yang paling menjulang tinggi. Setiap pura utama mewakili gunung yang tertinggi dan disucikan dari tiga pulau. Pura Brahma mewakili Gunung Agung di Bali, Pura Siwa mewakili Gunung Rinjani di Lombok, dan Pura Wisnu mewakili Semeru di Jawa.
Saat perayaan piodalan setiap pura akan dihias menggunakan kain yang warnanya memiliki makna religius. Pura Brahma menggunakan warna merah yang berarti api, simbol dari umat hindu yang meninggal dunia lalu dikremasi menggunakan api dari Dewa Brahma. Pura Siwa menggunakan kain warna putih yang berarti air yang mensucikan, abu hasil kremasi akan dilarung ke laut. Pura Siwa juga memiliki atap yang paling tinggi, ini mewakili wilayah Lombok bahkan dunia yang sebagian besarnya merupakan laut. Pura Wisnu hitam yang berarti malam dan kegelapan. Kegelapan bisa berarti kematian, kehidupan setelah mati atau malah sebaliknya kehidupan baru.
Yang menarik adalah mesjid yang terletak di sebelah pura, dan di seberang jalan (di dekat Pura Mayura) terdapat sebuah gereja tua. Indonesia mini, gumam saya.
Dari info guide kami, pura ini merupakan peninggalan Majapahit. Ciri khasnya adalah batu merah yang mewarnai hampir keseluruhan kompleks bangunan pura ini. Jika info ini benar adanya, tentu saja kita salut, karena masih bertahan dan dirawat dengan baik. Notabene, jika kita melihat trowulan (yang konon adalah lokasi kerajaan Majapahit) hanya tinggal sisa-sisa situs.
Pura Mayura

Pura Mayura atau yang lebih terkenal sebagai Taman Air Mayura terletak di sebrang jalan Pura Meru. Pura Mayura mengingatkan saya pada Taman Sari di Jogja, ini menegaskan bahwa air merupakan bagian unsur yang penting dalam kehidupan religius di setiap agama.
Bangunan Pura Mayura yang kental dengan corak Bali, Jawa dan Lombok dibangun pada masa ketika Kerajaan Bali masih berkuasa di Pulau Lombok, tepatnya pada tahun 1744 M. oleh Raja A.A. Made Karangasem. Bangunan ini pada awalnya bernama Taman Istana Kelepug. Nama tersebut diambil dari suara yang muncul (kelepug-kelepug) karena derasnya air yang keluar dari mata air di tengah kolam dalam taman tersebut.
Taman ini mengalami proses renovasi sekitar tahun 1866, sejak itu nama Istana Kelepug berganti menjadi Istana Mayura. Kata “Mayura” sendiri berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti burung merak. Konon, pada masa Raja A.A. Ngurah Karangasem, banyak ular berkeliaran di taman Istana sehingga mengganggu aktivitas kerajaan, sejak itu di sekitar taman ini dipelihara burung merak yang suka memangsa ular sehingga Istana menjadi aman.
Di tengah kolam berdiri sebuah bangunan yang disebut “Bale Kambang”. Ada yang menyebutnya gili karena keberadaannya di tengah-tengah kolam yang menyerupai pulau kecil di tengah samudera. Pada zaman Rad Kerta, pengadilan terhadap orang yang berperkara biasanya disidangkan di Bale Kambang.
Di dalam komplek ini banyak sekali dijumpai pohon manggis berderet rapi yang menambah kesejukan hawa udara di taman. Jika sedang musim, biasanya pengunjung diperbolehkan untuk memetik beberapa buah manggis.
Menurut guide yang memandu kami, roh utama taman ini adalah sebuah pura yang terletak di hulu kolam. Sebuah bangunan suci yang masih dipergunakan oleh keluarga kerajaan bersembahyang tiap hari. Namun karena luasnya taman, deretan pohon manggis, kolam yang lebar serta letak pura yang di ujung, menjadikan pura ini selalu terlewatkan dari perhatian para pengunjung. Pura tersebut masih menggunakan namanya yang lama “Kelepug” untuk mengingatkan akan nama asli lokasi ini.

Pura Lingsar

Dalam buku Lonely Planet, Pura Lingsar merupakan salah satu tempat yang wajib dikunjungi jika anda datang ke Lombok. Pura yang sekitar 15 km dari pusat Kota Mataram ini, selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, pura ini juga digunakan sebagai tempat sembahyang suku Sasak yang menganut Islam.
Pura Lingsar adalah salah satu tempat di Lombok sebagai bukti bahwa penganut Hindu dan Wektu Telu (kepercayaan Sasak) hidup akur bak saudara. Dua penganut juga berarti dua sesajen yang berbeda. Umat Hindu menggunakan daun kelapa sebagai wadah sesajen, sedangkan warga Sasak memakai daun pisang. Bahkan secara rutin diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Simbol toleransi, juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji dari babi dan sapi. Babi haram bagi umat Isalam, dan sapi dianggap suci oleh umat Hindu.
Salah satu ciri khas yang dimiliki Pura Lingsar adalah adanya mata air yang sangat besar dan melimpah, dalam bahasa Bali disebut telaga ageng, sedangkan dari bahasa Sasaknya dikatakan sebagai aik mual. Aik berarti “air” dan mual mengandung arti “melimpah keluar”. Lantaran itu pula Pura Lingsar kerap disebut oleh warga suku Sasak dengan sebutan Pura Aik Mual.
Dalam pura ini mengalir sebuah mata air yang dianggap suci oleh sebagian penduduk karena dipercaya mampu memberikan peruntungan. Di dalam mata air tersebut, ada ikan julit (ikan yang mirip belut) yang berumur ratusan tahun. Para guide menyebutnya ikan tuna, bukan karena jenisnya tuna. Tapi konon, dulu seorang turis dari Italia menyebutnya ikan fortuna (ikan keberuntungan), mungkin karena itu dipanggil menjadi “tuna”.
Apabila seseorang mengunjungi kolam ini dan ikan tersebut kebetulan keluar, ini menandakan keberuntungan bagi pengunjung tersebut. Karenanya, para pengunjung biasanya menggunakan berbagai cara agar ikan tersebut bisa keluar, di antaranya memancingnya dengan sebutir telur.
Di kolam itu juga, ada ritual melempar uang logam (koin) ke kolam sambil membalikan badan. Sambil melempar uang logam, kita dapat memanjatkan keinginan kita. Karena kebanyakan yang berkunjung adalah anak-anak muda, maka biasanya permintaannya adalah minta jodoh. Huehe!

Cerita menarik lainnya, disamping kolam keberuntungan, ada sebuah tempat berisi batu-batu keramat yang dibungkus kain. Oleh guide, kami masing-masing diberi kesempatan menghitung jumlah batu, sebanyak tiga kali. Jika setelah menghitung sebanyak 3 kali, hitungan kami selalu sama, maka dipercaya akan mendapat keberuntungan!
Salah satu upacara di Pura Lingsar yang dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak yang beraga Islam adalah Pujawali. Setiap purnama ning sasih kanem–menurut hitungan panangggalan Bali atau sekitar bulan Desember, upacara pujawali diselenggarakan.
Pujawali, di berbagai tempat lain pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali setempat dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasak–penduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.
Perang topat atau ketupat berlangsung bersamaan dengan upacara pujawali. Prosesinya pun tak bisa dipisahkan dari pelaksanaan upacara tahunan itu. Karena itu, hajatan besar ini dipuput Ida Pedanda (Pendeta Hindu). Kalau tak ada pujawali, perang topat tak kan dilaksanakan karena perang topat satu rangkaian dengan pelaksanaan pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah
”Peperangan” berlangsung beberapa menit, setelah itu, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang dan diletakkan di sawah. Dalam perang topat, wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti. Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subak—sistem irigasi pertanian.
Salah satu yang menarik dari Pura Lingsar adalah banyaknya penjual sate bulayak di sekitar pura. Bulayak adalah sejenis lontong yang dibungkus dengan daun kelapa yang dililit-lilit seperti spiral. Bulayak, semacam lontong versi Lombok. Biasanya dimakan dengan sate. Dengan harga Rp 15.000,- saya mendapat 6 bulayak dan 15 tusuk sate. Rasanya, yummy!

Pura Suranadi
Dari Pura Lingsar, kami menuju ke atas, ke arah lembah Gunung Rinjani. Disana ada tempat menarik yaitu Hutan Wisata Sesaot dan Suranadi. Karena waktu itu sudah jam 15.00 maka diputuskan cukup berkunjung ke Pura Suranadi saja.

Suranadi berasal dari kata “sura” yang berarti dewa, dan “nadi” memiliki arti sungai. Konon, Suranadi juga mengandung arti “kahyangan” dalam kamus bahasa Jawa Kuno. Terletak di samping Hutan Wisata Suranadi, yang terdapat banyak sekali monyet-monyet jinak.
Areal Pura Suranadi yang luas dan asri memiliki 5 (lima) buah mata air yang dikenal dengan nama Panca Tirtha atau Pancaksara.
Konon keberadaan Pura Suranadi terkait dengan perjalanan Danghyang Dwijendra — dikenal pula dengan nama Pedanda Sakti Wawu Rauh — menuju Sasak (Lombok) untuk kedua kalinya. Di Lombok, beliau dijuluki juga sebagai Pangeran Sangupati. Guna menjaga agar umat Hindu yang ditinggalkan bisa melakukan tertib upacara menurut ajaran agama yang telah ditentukan, lantas beliau dengan “puja mantera”-nya memunculkan pancatirtha (lima macam tirta) di Suranadi.
Versi lain yang menyebutkan, Pura Suranadi dibangun atas gagasan raja Pagesangan bernama AA Nyoman Karang pada 1720 Masehi. Seorang pendeta dari Bali — cucu Danghyang Dwijendra — bernama Pedanda Sakti Abah, dipanggil oleh raja Pagesangan guna melaksanakan panca yadnya, yakni lima macam pengorbanan suci menurut ajaran agama Hindu. Guna kelangsungan kegiatan ritual secara berkelanjutan itulah, dipilih Suranadi sebagai tempatnya.
Kami sendiri tidak berlama-lama di Pura ini. Saat kami datang, bertepatan dengan waktunya sembahyang sore bagi umat Hindu. Dari warga lokal, kami mendapat informasi bahwa terdapat gado-gado Suranadi yang terkenal sangat enak. Sayangnya kami tidak sempat mencoba karena buru-buru melanjutkan perjalanan ke Taman Narmada.
Taman Narmada
Taman Wisata Narmada terletak di Desa Lembuah, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat, sekitar 10 kilometer sebelah timur Kota Mataram. Taman yang luasnya sekitar 2 ha ini dibangun pada tahun 1727 oleh Raja Mataram Lombok, Anak Agung Ngurah Karang Asem, sebagai tempat upacara Pakelem yang diselenggarakan setiap purnama kelima tahun Caka (Oktober-November). Selain tempat upacara, Taman Narmada juga digunakan sebagai tempat peristirahatan keluarga raja pada saat musim kemarau.
Nama Narmada diambil dari Narmadanadi, anak Sungai Gangga yang sangat suci di India. Dahulu kemungkinan nama Narmada digunakan untuk menamai nama mata air yang membentuk beberapa kolam dan sebuah sungai di tempat tersebut. Lama-kelamaan digunakan untuk menyebut pura dan keseluruhan kompleks Taman Narmada.
Didalamnya terdapat mata air yang konon airnya berasal dari Gunung Rinjani dan dipercaya bisa menjadikan seseorang tetap awet muda sehingga disebut Air Awet Muda. Nama Pura ini diambil dari sebuah sungai suci di India yang memuja Shiwa yaitu Pura Kalasa.

Taman ini juga memiliki kolam renang publik. Banyak juga pengunjung yang membawa jerigen berisi air narmada sebagai oleh-oleh. “Air Narmada” menjadi merk dagang air minum paling terkenal di Lombok. Nah, setelah menikmati air narmada yang segar. Di pintu keluar, terdapat penjual-penjual souvenir khas Lombok semacam songket kain lombok, gelang mutiara, dan lain-lain.
Desa Sayang-Sayang
Desa Sayang-Sayang terdapat di utara Cakra. Ini adalah sebuah kampung wisata di Lombok yang menjual kerajinan khas Lombok. Bagi yang memang senang mengoleksi berbagai macam kerajinan khas, di kampung ini dapat membeli dengan harga yang lebih miring daripada yang dijual di toko.
Pasar seni
Pasar Seni yang paling terkenal adalah yang terletak di pinggir pantai Senggigi. Padahal selain disana, di dekat desa Sayang-Sayang, juga terdapat Pasar Seni yang koleksinya lengkap dan dijual dengan harga bersaing. Selain itu, lokasinya tidak jauh dari Cakra dan buka sampai malam hari.
Di semua lokasi yang saya kunjungi hari itu belum dikelola oleh pemerintah kota, tetapi oleh masyarakat secara swadaya. Memang tidak ada retribusi yang dipungut (kecuali Taman Narmada), akan tetapi hampir di tiap lokasi, kami menghabiskan uang dalam jumlah yang jauh lebih banyak untuk sewa kain, guide, sumbangan, ataupun membeli sesaji. Ketiadaan brosur mengenai Pura juga membuat pengunjung mau tidak mau harus menggunakan jasa guide. Dan anehnya, hampir di tiap pura yang kami kunjungi, semua mengklaim sebagai pura yang tertua!
(to be continued…)
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
wah terimakasih atas infonya sangat bermanfaat, saya yang tinggal di lombok aja belum banyak mengetahui tentang ini … makasih salam kenal.. ayo berkunjung ke blog saya.