Setelah menikmati makan siang di Penelokan, kami pun segera menuju desa Trunyan. Menurut teman-teman yang sudah berpengalaman mblusukkan ke desa Trunyan. Ada 2 cara menuju desa Trunyan.
Pertama, lewat desa Kedisan. Kedisan adalah nama desa dimana dermaga perahu motor menuju desa Trunyan berada. Umumnya, wisatawan baik asing maupun dalam negeri, lewat dermaga Kedisan untuk menuju Trunyan. Dari Kedisan, kita bisa menyewa perahu motor untuk menyebrang. Jangan takut bakal dipalak. Di dermaga Kedisan sudah ada loket resmi milik Pemkab Bangli. Ada plang besar di depan loket, daftar harga yang harus dibayar. Biasanya disesuaikan dengan jumlah penumpang, missal kami ber5 membayar sekitar 400ribu untuk PP Kedisan – Trunyan selama 45menit.

Info dari driver saya, loket resmi ini baru saja dibuka. Dulu, kalo mau sewa perahu bermotor kudu tawar menawar. Bahkan, ada pemilik perahu motor yang kadang “nakal”. Kalo kita nawar murah dan ga sesuai harga, kadang perahu-nya diberhentikan di tengah danau, lalu mesinnya dimatiin. Sampai kita bayar sesuai harga yang diinginkan. Barulah perahu motornya, bakal melaju lagi. Wuiiih syereeem banget ga tuh? Berenang di Danau Batur bukanlah pilihan yang baik. Danaunya tampak tenang. Dan seperti kata pepatah, air tenang itu menghanyutkan!
Danau Batur memang berbeda dengan Danau Beratan. Danau Beratan lebih ramai dengan olahraga air, speed boat dan wisata air lainnya. Danau Batur berbeda. Danau Batur lebih tenang, dan mistis. Buat sebagian besar masyarakat Bali, ini adalah danau suci. Jadi, memang tidak terlalu hiruk pikuk kayak di Danau Beratan.
Cara kedua untuk mencapai desa Trunyan adalah lewat desa terdekat ke Trunyan. Cara mencapainya, cari saja desa Buahan. Dari desa Kedisan ke arah barat. Setelah sampai ke desa Buahan, ikuti jalan menuju desa Abang. Yang bikin spektakuler perjalanannya adalah kondisi jalannya. Menurut teman saya yang sudah pernah mencoba, kondisi jalannya cukup curam, naik turun pegunungan, yah kalo dibayangkan mirip jalan-jalan di daerah Tepus Gunungkidul. Hanya saja, menuju desa Abang, suasananya lebih mirip menelusuri Senggigi menuju Pelabuhan Bangsal. Sebelah gunung, sebelahnya lagi jurang menuju Danau Batur. Bener-bener memacu adrenalin khan? 😉
Kalo menuju desa Abang itu jalannya butuh mental yang gede, wajar ajalah. Khan disana memang ada Gunung Abang dengan ketinggian 2151m diatas permukaan laut. Jauh lebih tinggi dari Gunung Batur yang ketinggiannya (cuma) 1412m diatas permukaan laut. Nah, dari desa Abang inilah kita bisa sewa perahu ke desa Trunyan, yang kata teman saya cuman 200ribu. Murah khan?
Masih mau menambah adrenalin lagi? Saya sarankan, ga usah menyewa perahu motor. Di desa Abang, biasanya penduduk local menyewakan perahu lesung yang cuma bermodal dayung, menuju desa Trunyan. Dijamin dech, sensasinya top banget! Huahaha 😉

Desa Abang dihuni oleh masyarakat Bali Aga, ini adalah masyarakat asli rakyat Bali sebelum wong Majapahit menguasai pulau Bali. Di desa Abang ini terdapat pura yang cukup besar, yang bisa terlihat saat kita menyebrangi Danau Batur.
Masyarakat Bali Aga sebenarnya ga hanya tinggal di desa Trunyan Kintamani di Kabupaten Bangli. Beberapa juga tinggal di desa Tenganan Manggis Kabupaten Karangasem, dan beberapa desa seperti Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, Padangbulia di Kabupaten Buleleng.
Menurut legenda yang hidup di sekitar Danau Batur ada kisah khusus terkait legenda asal mula desa Trunyan, desa Kedisan, dan desa Abang Dukuh ini. Kisah ini dimulai dari “bau harum yang menyengat” di tanah Jawa. Aroma wangi inilah yang membawa keempat putra Raja dari Jawa tiba di Pulau Bali. Keempat putra Raja ini terkait dengan kisah Pura Batur, Pura Dalam Pingit Kedisan, Desa Abang Dukuh, dan yang terakhir adalah desa Trunyan.
Trunyan berasal dari kata taru dan menyan. Taru berarti pohon, dan menyan adalah sejenis tanaman yang mengeluarkan bau harum menyengat. Dari kata Taru Menyan inilah asal kata Trunyan.
Alkisah si putra sulung raja dari Jawa tersebut bertemu putri cantik di bawah pohon taru menyan. Si putra sulung jatuh cinta dan berniat menikahi si putri cantik. Si putri cantik pun bersedia dengan syarat, bahwa si putra sulung raja Jawa tersebut bersedia menjadi pancer jagad (pasak dunia). Si putra sulung pun bersedia menerima syarat. Semenjak mereka menikah, si putra sulung bergelar Ratu Sakti Pancering Jagad dan menjadi dewa tertinggi orang Trunyan. Si putri cantik pun kemudian bergelar Ratu Ayu Pingit Dalam Dasar, dan dipercaya sebagai penguasa Danau Batur.
Pada saat si putra sulung ini bertahta, beliau memerintahkan kepada rakyatnya agar menghilangkan aroma semerbak wangi dari taru menyan. Hal ini bertujuan agar aroma wangi tidak membuat orang dari luar trunyan datang ke tempat itu. Caranya, dengan meletakkan mayat masyarakat Bali Aga di sekitar Taru Menyan. Sejak itu, setiap ada yang meninggal, jenasah tidak pernah dikubur. Hanya digeletakkan di atas tanah di sekitar taru menyan. Aroma wangi dari taru menyan dan aroma busuk dari jenasah saling menetralisir. Cara inilah yang dipercaya si putra sulung akan menghilangkan aroma wangi dari taru menyan. (Sumber: Cerita Rakyat Nusantara).
Pertama mendarat di desa Trunyan, bulu kuduk saya merinding. Bukan karena mistis, tapi ternyata di Trunyan itu adeeem 😉 Suhu udara di desa Trunyan kira-kira 17 derajat celcius di siang hari bolong yang terik. Bahkan katanya kadang hingga 12 derajat celcius.

Pemandangan pertama di desa Trunyan adalah pura suci. Kemudian kami jalan kaki menuju areal pemakaman. Kebetulan saya bertemu serombongan bule yang lagi sibuk ambil gambar pohon taru menyan. Alhamdullilah ada manusia lain, selain kami. Di desa Trunyan emang sepi bangettt, wajarlah namanya juga kuburan. Sapa coba yang mau tinggal dan beranak pinak di areal pekuburan. Hiii serem!
Tapi itulah eksotisnya desa trunyan, sepi ga ada penghuni. Gemericik air danau Batur plus Gunung Batur yang begitu indah. Ditambah angin yang sepoi-sepoi, amazing! Kalau ini bukan areal pemakaman, dijamin deh udah jadi resort dari jaman dahulu kala.
Jangan khawatir, di sini aman kok. Kami bertemu dua warga lokal, yang nampaknya bertugas menunggui buku tamu bagi wisatawan yang masuk ke Trunyan. Setelah mengisi data diri dan kasih testimoni, kita dipersilahkan ambil gambar sepuasnya dan selama mungkin.
Konon kabarnya, Taru Menyan cuman ada di tempat ini. Di tempat lain juga ada pohon menyan, tapi ga ada yang punya keajaiban kayak Taru Menyan di desa Trunyan ini.
Pas saya datang, kebetulan ada jenasah yang baru diletakkan beberapa hari di bawah Taru Menyan. Nampak dari kondisi jenasah yang masih utuh. Jenasah ini bisa kita lihat sesukanya (dan seberaninya) karena ga ada penjaganya. Mau foto-foto disamping jenasah juga boleh kalo berani 😉
Jenasah cuma ditutup kain, kemudian ditutup oleh bambu. Di sekitar jenasah bisa dilihat beberapa peralatan rumah tangga yang nampak masih baru. Masyarakat Bali Aga percaya ada kehidupan lain setelah mati. Kehidupan kayak manusia biasa, oleh karena itu biasanya setiap jenasah juga dibekali dengan barang-barang tertentu. Lebih mirip kayak pemakamannya etnis Cina.
Ada lagi yang khas di tempat ini, setiap ada jenasah baru, pasti ada photo dari jenasah semasih hidup. Yah semacam pengganti dari batu nisan gitu dech. Biar kalo keluarganya berziarah, jadi tau jenasah saudaranya yang mana, kali ya?

Jangan takut juga, kalo jenasah yang di bawah Taru Menyan bakal menyebarkan penyakit. Desa Trunyan punya aturan tertentu mengenai hal ini. Jenasah yang diletakkan di bawah Taru Menyan (mepasah) hanyalah jenasah yang meninggal secara normal.
Sedangkan bagi yang meninggal tidak wajar seperti dibunuh, bunuh diri, meninggal karena penyakit, bahkan bayi yang gigi susunya belum tanggal haruslah dikuburkan. Kuburannya juga ga di dekat Taru Menyan, tapi di timur desa Trunyan, di daerah perbatasan antara desa Trunyan dengan desa Abang.
Khusus buat kuburan ari-ari, ari-ari diletakkan didalam tempurung kelapa dan diikat dengan daun lontar kemudian digantung diatas pohon agar tidak dimakan binatang. Tapi saat ini, kebanyakan masyarakat Bali Aga tidak lagi menggunakan serabut kelapa untuk membungkus ari – ari tapi cukup pake kresek.
Ini bukan pengalaman pertama saya ke tepi Danau Batur. Dulu, saya sempat datang ke tempat ini. Tapi karena hari sudah sangat sore, rombongan kami ga sempat menyebrang ke desa Trunyan. Alhamdullilah, akhirnya sekarang berhasil juga nyebrang. Meski begitu, kalo kapan-kapan diajak nyebrang lagi ke Trunyan, cap cusss lahhhh. Ayoook? 😉
Selamat Jalan-Jalan!
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
memungkinkan gak mba kalau bawa mobil ke desa trunyan? thanks
Bisa, tapi hanya sampai ke desa terdekat