“…untuk negeriku Indonesia,
yang dengan sedih aku cinta”.
(Ayu Utami)
Beberapa waktu yang lalu, saya mengantar seorang teman dari negeri tetangga berjalan-jalan di kota ini, Jogja. Padanya saya menunjukkan banyak tempat yang dulu tak saya temukan di Negerinya. Tentu saja, tak pernah benar-benar berbeda. Toh, sebagai Negara tetangga, kita punya iklim yang sama, punya bahasa yang juga tak jauh berbeda, dan sejarah juga mencatat, antara Negara tetangga (terkadang) juga mempunyai budaya yang hampir sama.
Contoh saja, saat saya mengajaknya menonton Pagelaran Wayang Kulit 11 Malam, 11 Dalang di Alun-Alun Utara. Teman saya sempat berkomentar: “punya Malaysia khan?”. Hampir saja saya marah saat mendengar itu. Tapi tentu saja, kemudian saya tersadar, bukankah di Putrajaya, Selangor memang banyak sekali pertunjukkan wayang kulit, meski dipertunjukkan dengan cerita daan bahasa yang berbeda, jika selintas melihat, dalam pandangan awan bukankah nampak sama.
Lantas, benarkah kita berhak marah, saat ada warga asing yang mengatakan bahwa kita memiliki “banyak kesamaan” dengan Negara tetangga? Tidak, saya tidak bicara soal klaim meng-klaim warisan budaya. Saya bicara sesuatu yang lain. Budaya, pada hakekatnya, adalah sesuatu yang seharusnya hidup dalam diri kita, dalam masyarakat kita. Sesuatu yang dapat terasakan, dapat dilihat.
Apakah memang benar wayang hidup dalam diri kita? Saya kok mempertanyakan hal ini. Pada banyak kesempatan, saya hanya melihat kaum tua, kaum minoritas (termasuk di dalamnya orang-orang yang dicap menganut “kejawen”), ataupun orang-orang yang memang kuliah di jurusan antropologi, sosiologi, sastra jawa (meskipun jumlahnya hanya dalam hitungan tangan) yang duduk menonton pertunjukkan wayang.
Wayang, menjadi hal yang asing untuk generasi muda. Padahal, generasi inilah yang akan meneruskan kelangsungan budaya kita. Lantas, jika wayang adalah sesuatu yang terasa asing dalam kehidupan sehari-hari kita, apakah kita masih berhak mengatakan ini budaya kita? Bukankah dalam budaya, kita tidak hanya dituntut mampu merunutnya lewat sejarah, tapi sekaligus melestarikannya. Soekarno menyebutkan, ada tiga prinsip kemerdekaan nasional dalam menegakkan kemerdekaan dan kedaulatan nasional bangsa ini, salah satunya berkepribadian di bidang kebudayaan. Lantas sudahkah kita berkepribadian? Sudahkah kita ber-budaya?
Ya, ya. Anda tentu paham, terkadang kita bertemu dengan banyak warga negara asing yang malah jauh lebih mengerti tentang budaya dan sejarah kita, dibandingkan teman-teman kita sendiri. Beberapa tahun yang lalu, pada saat mengunjungi petilasan Ratu Kalinyamat dalam rangka memperingati 100 tahun Kebangkitan Bangsa, saya terlibat obrolan menarik dengan Prof. Frans Husken (alm.) tentang bagaimana di masa lampau orang Jawa tak terpisahkan dari tokoh wayang. Perilaku yang menghidupkan kisah-kisah dalam Mahabarata dan Ramayana menjadi nyata, benar-benar ada. Sebut saja, kisah Ratu Kalinyamat. Sang Ratu yang hidup sejaman dengaan Jaka Tingkir alias Hadiwijaya, pernah melakukan tapa yang cukup controversial, karena “konon” kabarnya dia bertapa telanjang (sama seperti yang dilakukan Ratna Anjani, ibu dari Hanoman) dan bersumpah tidak akan menggelung rambutnya, sebelum rambutnya dicuci oleh darah Arya Penangsang (sama seperti sumpah yang di ucapkan oleh Drupadi, istri para Pendawa).
Tapi obrolan menarik tersebut selalu berhujung pada hal yang sama. Hari ini, anak muda mana yang tertarik cerita semacam itu. Sejarah adalah hal yang paling diemohi oleh para siswa.
Jika di Singapore sangat terkenal dengan Songs of The Sea-nya, maka kita punya pertunjukkan yang (sebenarnya) jauh lebih spektakuler lagi, yaitu Sendratari Ramayana. Tapi, pertanyaannya adalah berapa orang sich yang menonton pertunjukkan ini? Pernah beberapa waktu yang lalu, saya ngobrol dengan beberapa teman yang lahir dan besar di Jogja (dan yang terpenting, dianggap sebagai tokoh muda yang berkiprah dibidang Young Leaders dan aktif menulis dalam tema nasionalisme) untuk menonton pertunjukkan ini, mau tahu apa komentarnya: “bagus sich, tapi ga ngerti apa ceritanya, cuma sekedar nonton orang nari jawa ajah”. Padahal, percayakah anda, teman saya ini dengan sangat bangganya bercerita bahwa dia sudah menonton Songs of The Sea (yang tiketnya jauh lebih mahal dari Sendratari Ramayana) lebih dari lima kali. Dan komentarnya: “Songs of The Sea keren banget, saya sampai hafal cerita dan lagunya”. Nah lho?
Padahal, jika anda menonton pertunjukkan Songs of The Sea, anda akan menemukan lagu “Anak Kambing Saya” yang dulu diajarkan pada saat kita berusia TK, menjadi lagu identitas untuk menggambarkan salah satu tokoh anak melayu dalam pertunjukkan itu. Apakah saya miris mendengarnya? Tentu saja iya, tapi bukan karena lagu itu dinyanyikan dalam pertunjukkan milik Singapore itu, tapi lebih karena anak-anak TK di Indonesia jaman sekarang lebih mengenal lagu-lagu pop dewasa dengan cinta mewek-mewek, dibandingkan lagu anak-anak yang penuh keriangan.
Apapun itu. Saya yakin, kita semua tidak ingin kehilangan sesuatu yang oleh Soekarno disebut “berkepribadian di bidang kebudayaan”. Nasionalisme bukan hanya tentang upacara bendera, bukan hanya tentang ceremony, ada sesuatu yang jauh lebih penting daripada itu semua. Nasionalisme adalah juga belajar mencintai budaya bangsa ini.
Tidakkah kita bangga, bahwa kita memiliki Borobudur yang dibangun 3 abad sebelum Angkor Wat di Kamboja dan 4 abad sebelum Katedral Agung di Eropa. Tidakkah kita bangga, saat hampir semua warga asing yang pernah tinggal di Indonesia berkata bahwa Negara kita adalah surga makanan. Tapi anehnya, kita lebih suka makan makanan “asing”, hingga tak salah rasanya jika para turis lebih sering menyebut bahwa soto adalah makanan khas Malaysia, bukan Negara kita. (Sama lucunya, saat kita berkunjung ke tempat-tempat yang alamnya eksotis yang ada di Negri ini, tapi mayoritas pengunjungnya kebanyakan malah warga asing. Kebalikannya, kalo kita berkunjung ke negara-negara yang terkenal sebagai pusat perbelanjaan, isinya kebanyakan orang Indonesia).
Mencintai adalah sebuah proses belajar, itu benar sekali. Sayangnya, meski proses belajar mencintai itu jauh lebih susah dan membutuhkan banyak kesabaran, belajar mencintai adalah sesuatu yang tidak diajarkan dalam sekolah-sekolah formal kita. Kita lebih banyak tahu tentang dicintai, lebih terbiasa dicintai, karena itu lebih mudah dan gampang.
Seperti sebuah tanaman, Negara ini perlu dirawat dengan cinta, bukan dengan terus menerus bertikai, tentu saja dengan cinta yang rasional, bukan cinta yang menghalangi kita untuk melihat kebenaran. Jadi, mari kita kembali belajar mencintai negeri ini, kembali belajar mencintai budaya kita.
Selamat pitulasan, teman-teman!
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
Tulisan bagus banget ndhuk…
aku suka sekali….
Oh ya, tulisanku senada adalah ketika menanggapi hak paten akan batik, sebagaimana kulansir dari sini; http://ikanmasteri.com/archives/1460
Budaya punika dumados saking budaidayaning manungsa minangka jatidhiri lan kapribaden ingkang ngembani cipta, rasa, lan karsaning bebrayan salebetipun nepusi gesang tembayatan mangka kapurba dening papan saha wekdal.
“Rumangsa handarbeni wajib melu hanggondheli. Rumangsa melu duwe iya wajib melu tanggung jawab”
Budaya ini tercipta dari budi dan dayanya manusia yang mencerminkan jatidiri serta kepribadian dengan berbekal cipta, rasa pun karsa selama menempuh arah kehidupan sesuai tempat dan waktu.
“Merasa memiliki dan waib ikut meng-handle (merawat). Merasa ikut memiliki ya wajib ikut bertanggungjawab”.
Jika kita tilik kata demi kata pada kalimat diatas maka sedikit banyak dapat kita simpulkan bahwa sebuah budaya itu kebenarannya (menurut pemikiran saya) serupa dengan tanaman, ya tumbuh dan juga berkembang, budaya membutuhkan satu kebebasan ruang gerak dan waktu.
Sebagaimana batik yang notabene telah dipatenkan sepertinya adalah satu case yang hanya bisa dimengerti pada luar jalur budaya itu sendiri. Bagaimana tidak….? Karena jika kembali lagi kita melihat kontek yang ada mengenai budaya diatas, maka batik yang juga termasuk salah satu warisan dan peninggalan nenek moyang sebagai sesuatu yang telah ada sejak masa lampau, dinikmati masa sekarang, dan diteruskan pada masa mendatang, jelas bukanlah suatu penemuan (inventive) dan tak dapat dipatenkan.
dulu jamanku prajab, ada mata kuliah wawasan nusantara, pada saat itu widyaiswara berbicara ttg paten, kita rame2 membantah, dan menyebutnya sebagai wawasan nusantara sempit,,,eh angkatan kita malah dianggap sok minteri dan tidak menghargai, sejak itu gank prajab ku tidak lagi berbicara ttg paten,,,,males!