Setelah sukses dengan Touring de Pacitan dan Touring de Cilacap, para anggota Team Touring Sambang Alam mulai kecanduan untuk menjelajahi kawasan lain. Kali ini pilihannya adalah Kawasan Wisata Dieng. Kenapa Dieng? Alasannya mudah, Dieng terletak tidak jauh dari Jogja. Jadi semakin dekat jaraknya, semakin banyak pesertanya.
Seperti biasa, jadwal kumpul dimarkas besar jam setengah 7 pagi tet, jadi molor sampe jam 8 siang karena kudu menunggu peserta touring dadakan yang bertipikal molor ala jam karet.
Akhirnya setelah semua pasukan lengkap, kami pun berangkat ke arah utara. Kami memilih lewat daerah Borobudur lalu baru ambil arah ke Wonosobo. Beberapa jalan dipenuhi dengan tanjakan jahanam, jalanan yang sempit dan beberapa kerusakan jalan ditambah salah satu peserta sempat kecelakaan karena terlalu yak-yak-an numpak motor membuat perjalanan menuju Dieng yang harus cepat jadi terasa lama, karena kami harus memastikan bahwa tiap peserta baik-baik saja selama perjalanan.
Kami sampai di kawasan Dieng pada saat adzan dhuhur. Siang banget yaks? Tapi tak apalah, yang penting semua pasukan aman, toh ini hanya acara jalan-jalan saja, jadi ya gpp pelan-pelan yang penting selamat sehat walafiat.

Hal pertama yang kami lakukan sesampainya di Kawasan Wisata Dieng adalah makan siang. Waktu itu sih pilihannya ga neko-neko, kami makan siang tongseng dan beberapa bapak-bapak mencoba kopi purwaceng. Sebenarnya kopi purwaceng itu cuma minuman kopi dicampur purwaceng, bisa kok ditemui dimana-mana. Purwaceng itu sejenis tanaman yang dipercayai menambah semangat, cocok buat para laki-laki. Mitosnya, purwaceng berfungsi seperti viagra. Jadi biasanya bapak-bapak yang demen minuman ini. Bagi yang ga suka minum kopi, disediakan juga teh purwaceng.
Saya sendiri ga nyobain gimana rasanya. Ga kepengen juga sich. Saya pilih minum es carica. Carica itu sejenis minuman yang asalnya dari buah bernama Carica, bentuknya mirip banget sama pepaya tapi lebih kecil. Ya iyalah buah carica mirip sama pepaya, khan mereka sepupu-an, satu simbah. Carica atau pepaya gunung, asalnya dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan. Entah kapan ber-migrasi ke Wonosobo, mungkin pas jaman kita dijajah Portugis. Selain di Wonosobo, carica juga bisa kita temui perkebunannya di Bali, biasanya disebut dengan Gedang Memedi. Tapi kalo cuman mau nyari minuman carica, ditiap swalayan Jogja juga banyak kok 😉
Selain itu di kawasan wisata Dieng juga ada penjual mie ongklok. Ga tau juga sich, apakah ini jadi makanan khas di daerah Wonosobo atau bukan. Soalnya di sekitar kampus UGM, juga ada banyak penjual mie ongklok, tapi asalnya dari Temanggung!
Lokasi yang pertama kali kami datangi adalah Telaga Warna. Kenapa namanya Telaga Warna? ya karena ada telaga yang berwarna-warni. Huehe!

Menurut penjual makanan yang kami ajak ngobrol, dikasih nama Telaga Warna karena telaganya bisa berubah-ubah warna sesuai cuaca, bisa berwarna hijau, kuning, biru dan kuning atau kayak pelangi.

Tapi pas kami datang, kebetulan warnanya cuma hijau toska. Warna telaga ini sebenarnya dipengaruhi oleh kandungan belerang dalam air. Nah, jadi jangan heran kalo pas kalian datang ke Telaga Warna akan disambut oleh aroma belerang yang cenderung berbau busuk. Jadi ya ditahan-tahan saja ya mencium bau belerang selama disini.

Selain Telaga Warna, di lokasi ini juga ada beberapa tempat wisata seperti Goa Semar, Goa Sumur, Goa Jaran, dan Telaga Pengilon. Beberapa bapak-bapak keukeuh untuk masuk satu per satu goa. Tapi saya memilih untuk tetap duduk-duduk saja disekitar Telaga Warna.
Kalo dari cerita teman-teman yang masuk ke dalam Goa. Goanya cukup lumayan bagus. Bahkan dijadikan tempat untuk bersemedi memohon sesuatu. Di salah satu goa (kalo ga salah namanya Goa Sumur) ada air yang katanya kalo buat cuci muka akan membuat awet muda. Huehe! nyatanya mitos air awet muda ini selalu ada ditiap daerah 😉
Eh saya sendiri, selama menunggu teman-teman mblusukkan ke dalam goa, saya ngobrol dengan turis dari Jerman. Nasibnya sama dengan saya, sama-sama menunggu. Bedanya dia menunggu keluarganya yang lagi mblusukkan ke dalam goa.

Pas awal kenalan, saya sok-sok-an nanya pake bahasa Enggres, begitu tau dia orang Jerman, langsung sok nanya pake bahasa Jerman, haisssh sok banget ya saya! Tapi si bule malah njawab pake bahasa Indonesia yang lancar. Lho,piye tho iki mbakayu? selidik punya selidik, ternyata dia mahasiswi di UGM dan udah beberapa tahun tinggal di Jogja. Owalahhh. Tambah mirip dunks kita 😉 sayangnya temen-temenku (yang pada sirik) malah meng-crop gambar saya. Jadi saya ga nampak duduk bersebelahan nich!
Dari si mbak bule ini, kita malah jadi tau tentang Telaga Pengilon. Mitosnya, di danau ini kita bisa tahu tentang isi hati kita. Kalo kita keliatan cakep atau ganteng pas ngaca di telaga ini, artinya kita berhati baik. Nah kebalikannya, kalo kita ngaca ditelaga trus keliatan jelek, itu artinya kita berhati ga baik. Jiaaah, malu ya dapet cerita rakyat dari bule. huaha!

Dari sini, kita langsung melesat menuju Kawah Sikidang. Kawah Sikidang itu berupa hamparan tanah luas, dimana dibeberapa tempat ada tanah berlumpur yang mengepul panas karena dahulunya dataran tinggi Dieng ini adalah kawasan vulkanik aktif, yang seiring dengan proses alam menjadi mati. Tapi ga sepenuhnya mati, buktinya masih ada sisa-sisa panas yang mengepul dari perut bumi.

Bisa dibayangkan ga, dulunya tanah yang kami injak ini adalah kawah gunung berapi. Beberapa orang yang pergi bersama kami bercerita kalo asap belerang yang mengepul itu bisa berpindah-pindah, makanya namanya Kawah Sikidang, berasal dari kata Kidang atau Kijang, yang umumnya selalu berpindah-pindah atau loncat-loncat. Nah, kami kudu hati-hati jalan nich, apalagi dimusim hujan kayak gini. Bahaya kalo pecicilan!

Selanjutnya, perjalanan kami lanjutkan menuju ke komplek candi Dieng Plateau.
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak