Sekitar awal Juni 2012, saya mendapat tugas ke DPRD Klungkung, kebetulan waktu itu kami diterima oleh Ketua Badan Legislasi Klungkung. Ruang Pertemuannya tidak besar, paling banyak memuat 50 orang, tapi ada yang menarik disana. Dinding ruangan tempat kami rapat, dihiasi sebuah lukisan memanjang. Kesannya seperti relief yang ada pada candi, memanjang dan bercerita sebuah kisah. Lukisan yang sangat menarik!
Kami sibuk bisik-bisik berkomentar tentang lukisan tersebut, dan di akhir acara, kami pun memberanikan diri untuk bertanya tentang makna lukisan tersebut. Pak Komang, Ketua Badan Legislasi Klungkung, pun menjelaskan kalo itu adalah lukisan gaya Kamasan, sebuah lukisan tradisional yang sangat popular di Klungkung.
Dia menjelaskan sedikit makna yang ada di balik lukisan tersebut, sambil berkata bahwa kisah dalam lukisan tersebut di ambil dari kisah yang ada di langit-langit Kertagosa. “Wow, apa itu Kertagosa?”, kata salah seorang dalam rombongan kami. “Kertagosa adalah sebuah tempat yang digunakan untuk pengadilan jaman kerajaan dulu”, begitu kata pak Komang. Jika berminat ke sana, kami bisa mengantar. Hihihi. Saking baiknya, si bapak berkenan mengantar sendiri, kami untuk mengunjungi Kertagosa. Uhuk 😉
Letak Kertagosa ga begitu jauh dari gedung DPRD Klungkung. Kertagosa bersebrangan dengan Tugu Monumen Klungkung. Pokoknya nyarinya gampang kok, di tengah kota Semarapura, dekat dengan kompleks Pemerintah Daerah Klungkung.
Pertama masuk Kertagosa, pandangan mata saya langsung tertambat pada Bale Kambang. Bale Kambang adalah sebuah bale (balai; tempat pertemuan; biasanya antara raja dengan rakyatnya) yang letaknya mengambang (di atas air atau di kelilingi air sehingga memberikan ilusi seperti nampak mengambang).

Bale Kambang atau Taman Gili Kertagosa merupakan bagian dari bangunan komplek kraton Semarapura dari Kerajaan Klungkung, dan dibangun oleh raja pertamanya, yaitu Ida I Dewa Agung Jambe sekitar tahun 1686. Nama gili yang berarti pulau, mengingatkan saya kepada “Gili” dalam bahasa sasak, bahasa asli masyarakat Lombok.
Dulu, pas jalan-jalan ke Lombok, saya sempat mblusukkan ke Pura Mayura Lombok. Pura Mayura sangat terkenal dengan Bale Kambang-nya. Sempet dapet cerita dari guide-nya, kalo Bale Kambang di Pura Mayura ada kembarannya di Bali. Wah ga nyangka, kalo yang dimaksud dengan kembarannya adalah Bale Kambang di Kertagosa. Memang sich, Bali dan Lombok, memiliki ikatan sejarah yang begitu dekat, sehingga tentu saja, dalam beberapa hal, kita bisa menemukan banyak persamaan diantara keduanya.
Yang unik dari Bale Kambang di Kertagosa adalah langit-langitnya. Lukisan di langit-langit inilah yang membuat kami datang ke tempat ini. Lukisan dengan gaya Kamasan (Kamasan adalah sebuah desa di Kabupaten Klungkung) merupakan gaya wayang yang sangat populer di masyarakat Klungkung.
Konon, pada awalnya, lukisan yang menghiasi langit-langit Bale Kambang ini terbuat dari kain dan parba. Sekitar tahun 1930, barulah diganti dengan eternit, direstorasi oleh para seniman lukis dari Kamasan sesuai dengan gambar aslinya. Restorasi lukisan terakhir dilakukan pada tahun 1960.
Masih ingat relief Borobudur tentang Karmapala? Nah Bale Kertagosa juga bicara tentang hal yang sama. Lukisan langit-langit di Bale Kertagosa paling banyak bercerita tentang karmapala dan reinkarnasi (kisah Bima Swarga dalam Swargarokanaparwa).
Jika ditelusuri, lukisan di langit-langit Bale Kertagosa terdiri dari enam deret yang bertingkat. Deretan paling bawah diambil dari cerita Tantri. Dereta kedua dari bawah tentang kisah Bimaswarga dalam Swargarakanaparwa. Deretan selanjutnya tentang kisah Bagawan Kasyapa. Deretan keempat berkisah tentang Palalindon yaitu pemaknaan gempa bumi secara mitologis. Lanjutan kisah Bimaswarga dilukiskan pada deretan kelima yang letaknya sudah hampir pada kerucut langit-langit Bale Kertagosa. Dan di deretan terakhir dilukiskan gambaran tentang kehidupan nirwana (lebih mirip Arupadatu di Borobudur).
Melihat lukisan yang ada di langit-langit Bale Kertagosa (tentang karma pala; tentang darma dan karma; tentang perbuatan baik dan buruk) oleh karena itulah Bale Kertagosa lebih cocok jika difungsikan sebagai pengadilan untuk menyelesaikan konflik diantara anggota masyarakat.
Sedangkan langit-langit di Bale Kambang dipenuhi lukisan wayang dengan kisah Ramayana dan Sutasoma. Oleh karena itu, dapat di simpulkan bahwa Bale Kambang digunakan sebagai tempat diselenggarakannya upacara keagamaan Manusa Yadnya, yaitu upacara pengorbanan suci yang bertujuan untuk membersihkan diri baik lahir maupun bathin. Salah satunya adalah Upacara Potong Gigi atau Metatah (pangur gigi) bagi putra-putri raja di Kerajaan Klungkung. Upacara Metatah ini bermakna untuk menghilangkan unsur keburukan yang ada pada diri manusia.
Hal menarik lainnya yang ada di dalam Kertagosa adalah Pemedal Agung atau Pintu Gerbang Gapura. Konon, pada saat seluruh keluarga Kerajaan Klungkung dan pengikutnya melakukan puputan (perang hingga titik darah terakhir) pada 28 April 1908, hampir seluruh keluarga Kerajaan meninggal dunia. Dan kekalahan tersebut berefek dengan dihancurkan bangunan inti dari Keraton (Istana) Semarapura. Yang hingga kini masih bisa kita nikmati dari Kerajaan Semarapura hanyalah Bale Kertagosa, Bale Kambang dan Gapura Keraton-nya.
Gapura Keraton Semarapura menjadi sebuah lokasi yang paling sering digunakan sebagai pusat kegiatan dalam perayaan keagamaan di Klungkung. Gapura ini mengingatkan saya pada Candi Wringin Lawang Trowulan, sebuah gapura keraton yang mengingatkan kita bahwa disana pernah ada sebuah kerajaan besar yang menguasai negeri ini, Majapahit. Tentu saja bentuk kedua gapura ini memiliki banyak kesamaan, gapura Semarapura dan gapura Wringin Lawang, keduanya mewakili bentuk Candi Bentar. Terinspirasi dari bentuk gunung yang terbelah dua. Bali, memang lebih kuat akar ke-Majapahit-annya daripada tanah Jawa yang lebih bangga dengan ke-Mataram-annya. Setiap berkunjung ke Bali, saya selalu merasa kembali ke masa lalu, masa-masa dimana Majapahit pernah menjadi kerajaan besar.
Setelah 1908 (kekalahan Bali dalam Puputan Klungkung; Ironisnya, 1908 juga ditandai dengan berdirinya Boedi Utomo –yang kita peringati sebagai Hari Kebangkitan Nasional), Bale Kertagosa difungsikan sebagai balai sidang pengadilan selama berlangsungnya birokrasi kolonial Belanda di Klungkung (1908-1942). Barulah sekitar tahun 1929, kepala daerah kerajaan Klungkung dijabat oleh pribumi, yaitu Ida I Dewa Agung Negara Klungkung) pada tahun 1929.
Tepat di sebelah barat Pemedal Agung adalah museum Semarajaya. Di museum ini, di simpan barang-barang berharga sejak Bali pada masa pra sejarah hingga kini. Bahkan bekas perlengkapan pengadilan di Bale Kertagosa berupa kursi dan meja kayu yang memakai ukiran dan cat prade masih ada, tersimpan dalam sebuah tempat yang dibungkus kaca besar.
Museumnya menarik, karena banyak pegawai yang menceritakan satu per satu kisah dari tiap barang yang disimpan. Tapi ya itu, saking antusiasnya pada cerita, saya sampe bingung kudu mendengarkan yang mana. Alhasil, kayak air se-drum yang diisi dalam se-ember kecil, karena otak saya ember kecilnya, ceritanya dah mirip kayak air yang luber kemana-mana, ga tertampung dalam memory saya 😉
Saya masih ingat sekali, waktu kunjungan kami ke Kertagosa, menjelang beberapa hari sebelum perayaan Saraswati, jadi memang ada sedikit keramaian di Kertagosa. Keramaian ini terkait dengan beberapa pegawai museum yang sedang berlatih seni untuk perayaan Pagerwesi, sebuah perayaan yang dilakukan beberapa hari setelah perayaan Saraswati.
Hari itu, saya habiskan dengan menonton para pegawai museum berlatih untuk perayaan Pagerwesi, sambil menikmati Klungkung di sore hari. Sebuah tempat yang membuat saya merasakan atmosfer Majapahit, sebuah perasaan yang tidak saya dapatkan, bahkan ketika saya berada di antara puing-puing sisa Majapahit, Trowulan.
Selamat Jalan-Jalan 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak