Beberapa hari yang lalu, dari tanggal 5-8 Juli 2012 berlangsung Jogja Japan Week. Ini adalah sebuah perayaan dua tahunan dalam rangka hubungan kerjasama Jepang Jogja. Ini bukan acara baru, dari yang saya baca, sudah berlangsung selama 25 tahun.

Jogja Japan Week 2012 kali ini mengangkat tema “Shunkashuutou Matsuri” atau bisa diartikan juga sebagai “Perayaan 4 Musim”. Meski sama-sama negara Asia, tapi Jepang memang memiliki 4 musim, yaitu Shun/Haru (musim semi), Ka/Natsu (musim panas), Shuu/Aki (musim gugur), dan Tou/Fuyu (musim dingin).

Dalam acara Jogja Japan Week 2012, warga Jogja diperkenalkan pada Yukata. Yukata berasal dari kata yukatabira, yang berarti sehelai kimono dari kain rami. Pada awalnya yukata digunakan sebagai pakaian sewaktu mandi berendam, namun kemudian bermutasi menjadi pakaian sesudah mandi. Dulu, saat rumah-rumah Jepang belum memiliki kamar mandi, yukata biasa dipakai orang untuk pergi ke pemandian umum. Di Jepang, berendam di pemandian umum memang sangat disukai warga lokal.

Pada jaman Edo, yukatabira sangat populer, dan warga lokal umumnya hanya menyebutnya dengan yukata. Yukata yang awalnya hanya dipakai untuk pergi ke pemandian umum, kemudian dipakai juga untuk berendam, bukan hanya itu, yukata juga berfungsi untuk mengelap keringat, sekaligus menutupi ketelanjangan dari orang lain. Bahan dasar yukatabira yang terbuat dari kain rami, sangat cepat kering setelah diperas.
Sekarang, yukata terbuat dari kain katun dan dipakai sebagai pakaian tidur. Tapi meski yukata tak lagi terbuat dari kain rami, pakaian seperti ini tetap disebut katabira.

Yukata berbeda dengan kimono. Kimono adalah pakaian tradisional Jepang, yang selain sangat rumit juga sangat berat. Tergantung harganya. Semakin mahal, biasanya si pengguna kimono juga memiliki strata sosial yang jauh lebih tinggi.
Yukata memiliki pola yang sangat sederhana, dan dijahit tanpa kain pelapis di bagian pinggul atau pundak. Biasanya yukata juga di kenakan sebagai dalaman Kimono. Menurut seorang teman, yukata yang murah saja bisa mencapai 700ribu, itupun tanpa obi. Jadi bayangkan saja berapa harga kimono-nya? 😉


Dilihat dari kain nya yang tipis dan berwarna cerah dengan motif yang unyu unyu, yukata sangat cocok dipakai pada musim panas. Yukata bisa dipakai siapa saja, bisa laki-laki atau perempuan. Baik yang telah menikah maupun belum, tidak ada aturan mengenai hal ini.


Musim panas berarti musim pesta kembang api dan matsuri (festival) di Jepang. Jika terlihat orang memakai yukata, berarti tidak jauh dari tempat itu ada matsuri atau pesta kembang api.
Selain yukata, sebenarnya ada banyak kebudayaan Jepang yang diperkenalkan kepada masyarakat Jogja, seperti origami (seni melipat kertas), games bahasa Jepang, tata cara menyajikan teh, makanan jepang, musik Jepang, teater, cosplay, dll.






Di halaman parkir Jogja Museum Nasional juga dipasang bambu-bambu yang dijadikan sebagai Wishing Tree. Di pohon ini, banyak orang menuliskan harapan-harapannya dengan harapan segera terkabul. Saya jadi ingat jaman mblusukkan di Tung Chung Hongkong. Di sana, di dekat Patung Budha, juga ada wishing tree yang berisi kertas-kertas harapan dari segala penjuru dunia.


Mengikuti gegap gempita Jogja Japan Week 2012 ini, saya jadi tambah penasaran buat jalan-jalan ke Jepang. Semoga terkabul. Amien 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak