Pura Lingsar. Saya berkali-kali menyebut tempat ini dalam beberapa tulisan saya sebelumnya. Pasti kalian penasaran Pura Lingsar itu kayak apa kan? Karena itu, kali ini saya akan mengulasnya untuk kalian š
Pura Lingsar terletak sekitar 15 km dari pusat Kota Mataram. Pura ini selain digunakan umat Hindu untuk beribadah, pura ini juga digunakan sebagai tempat sembahyang suku Sasak yang menganut Islam.
Dua penganut juga berarti dua sesajen yang berbeda. Umat Hindu menggunakan daun kelapa sebagai wadah sesajen, sedangkan warga Sasak memakai daun pisang. Bahkan secara rutin diadakan doa bersama dari berbagai pemeluk agama yang ada di Lombok.
Simbol toleransi, juga dilambangkan dengan aturan tak tertulis, bahwa siapa saja yang datang ke tempat suci itu, tak diperkenankan menghaturkan sesaji dari babi dan sapi. Babi haram bagi umat Islam, dan sapi dianggap suci oleh umat Hindu. Ini yang baru namanya toleransi beragama!
Salah satu ciri khas yang dimiliki Pura Lingsar adalah mata air yang sangat besar dan melimpah, dalam bahasa Bali disebut telaga ageng, sedangkan dari bahasa Sasaknya dikatakan sebagai aik mual.
Aik berarti āairā dan mual mengandung arti āmelimpah keluarā. Lantaran itu pula Pura Lingsar kerap disebut oleh warga suku Sasak dengan sebutan Pura Aik Mual.
Dalam pura ini, dipercaya mengalir sebuah mata air yang dianggap suci oleh sebagian penduduk karena dipercaya mampu memberikan peruntungan.
Mata air ini juga menimbulkan mitos. Pertama, mitos tentang Ikan keberuntungan.
Di dalam mata air tersebut, hidup ikan julit (ikan yang mirip belut) berumur ratusan tahun. Para guide menyebutnya ikan tuna, bukan karena jenisnya tuna. Konon, dulu seorang turis dari Italia menyebutnya ikan fortuna (ikan keberuntungan), mungkin karena itu dipanggil menjadi ātunaā.
Apabila seseorang mengunjungi kolam ini dan ikan tersebut kebetulan keluar, ini menandakan keberuntungan bagi pengunjung tersebut. Karenanya, para pengunjung biasanya menggunakan berbagai cara untuk “memaksa” agar ikan tersebut bisa keluar, di antaranya memancingnya dengan sebutir telur.
Mitos kedua, melempar koin. Di kolam itu juga, ada ritual melempar uang logam (koin) ke kolam sambil membalikan badan. Sambil melempar uang logam, kita dapat memanjatkan keinginan kita. Karena kebanyakan yang berkunjung adalah anak-anak muda, maka biasanya permintaannya adalah minta jodoh. Huehe!
Mitos ketiga, menghitung batu keramat. Disamping kolam keberuntungan, ada sebuah tempat berisi batu-batu keramat yang dibungkus kain. Oleh guide, kami masing-masing diberi kesempatan menghitung jumlah batu, sebanyak tiga kali. Jika setelah menghitung sebanyak 3 kali, hitungan kami selalu sama, maka dipercaya akan mendapat keberuntungan!
Di Pura Lingsar, salah satu upacaraĀ yang dilakukan bersama oleh umat Hindu dan Suku Sasak yang beragama Islam adalah Pujawali. Setiap purnama ning sasih kanemāmenurut hitungan panangggalan Bali atau sekitar bulan Desember, upacara pujawali diselenggarakan.
Pujawali, di berbagai tempat lain pelaksanaannya dilakukan sepenuhnya oleh umat Hindu. Namun khusus di Pura Lingsar, upacara pujawali setempat dirangkai dengan tradisi perang topat. Sebuah tradisi yang pelaksanaannya didominasi masyarakat suku Sasakāpenduduk asli Lombok, bersama masyarakat dari suku Bali yang telah turun temurun bermukim di Lombok.
Perang topat atau ketupat berlangsung bersamaan dengan upacara pujawali. Prosesinya pun tak bisa dipisahkan dari pelaksanaan upacara tahunan itu. Karena itu, hajatan besar ini dipuput Ida Pedanda (Pendeta Hindu).
Kalau tak ada pujawali, perang topat tak kan dilaksanakan karena perang topat satu rangkaian dengan pelaksanaan pujawali. Prosesi ini tak bisa dipisah-pisah.
āPeperanganā berlangsung beberapa menit, setelah itu, ketupat yang dijadikan peluru lalu dipungut kembali oleh peserta untuk dibawa pulang dan diletakkan di sawah. Dalam perang topat, wanita yang sedang haid tak boleh mengikuti.
Perang topat bertujuan untuk mendapatkan berkah dan keselamatan, terutama bagi petani anggota Subakāsistem irigasi pertanian–.
Yang menarik dari Pura Lingsar adalah terdapat banyak penjual sate bulayak di sekitar pura. Bulayak adalah sejenis lontong yang dibungkus dengan daun kelapa yang dililit-lilit seperti spiral. Bulayak, semacam lontong versi Lombok. Biasanya dimakan dengan sate. Dengan harga Rp 15.000,- per porsi, kalian bisa mendapatkan 6 bulayak dan 15 tusuk sate dengan rasa yang yummy!
Jika anda berkunjung ke Pura Lingsar, jangan heran kalo yang datang ke sini kebanyakan bule. Di tempat ini jarang sekali terdapat wisatawan dalam negeri. Lonely Planet-lah yang mengulas kisah tentang Pura Lingsar, sehingga kini turis Luar Negeri mengenal Pura Lingsar sebagai salah satu tempat yang wajib dikunjungi jika berkunjung ke Lombok.
Anda juga berminat datang? š
–Selamat Jalan-Jalan–
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak