Chatsworth Road [sebuah catatan]


Minggu bergerimis di Chatsworth Road. Pagi menunjukkan 08.30 waktu setempat. Jalanan masih lengang. Beberapa warga lokal terlihat asyik ber- jogging.

Saya sedang berdiri di taxi stand ketika seorang perempuan muda yang belum genap berusia 20 tahun turun dari sebuah taxi. Nampak bingung dan serba terburu-buru.

“Pasti dia baru saja kabur”, kata teman saya.

Yap, benar. Perempuan itu seorang tenaga kerja Indonesia. Dia bercelana pendek dan membawa tas punggung. Dia baru saja kabur dari tempatnya bekerja. Macam-macam alasan mereka kabur. Beberapa karena dipukuli, tidak dibayar gajinya beberapa bulan, ada yang dituduh mencuri barang berharga majikannya, bahkan ada yang beberapa mengalami kasus pelecehan, dan lain sebagainya. Klise, alasan mereka selalu sama seperti yang kita baca di koran-koran.

“Hal seperti ini tiap hari terjadi”, begitu teman saya menerangkan. Sopir-sopir taxi-pun telah hafal, jika bertemu dengan “wajah Indonesia” dan nampak bingung tidak tahu mesti kemana. Maka mereka akan diantarkan sampai ke Chatsworth Road.

Di sini, para tenaga kerja asal Indonesia bermasalah (yang pada umumnya adalah perempuan) akan diterima, diperlakukan sebagai manusia, dan ditempatkan dalam sebuah penampungan. Jumlahnya mencapai 80 orang. “Tahun lalu sampai 100-an lebih TKW”, cerita teman saya. Mereka tinggal di penampungan sampai kasus mereka beres. Tidak bisa pulang karena paspor dan visa ditahan. Padahal kasus mereka, terkadangkala, baru selesai bertahun-tahun kemudian.

Kasus TKW semacam ini sebenarnya bukan hal baru. Koran-koran negeri kita sering memuatnya menjadi tajuk berita. Tapi umumnya, yang ter-expose masuk koran adalah nasib tenaga kerja wanita asal Indonesia yang “tersia-sia” di Malaysia dan negara-negara Arab. Untuk ukuran Singapore yang terkenal sebagai negara maju dengan tingkat criminal paling rendah di seluruh dunia, buat saya ini adalah sebuah sisi lain dari Negeri Singapore.

SDM wanita yang tidak berkualitas. Itulah masalah negeri kita. Jaman memang boleh maju. Kartini telah disebut sebagai tokoh emansipasi wanita. Pemerintah mendirikan banyak sekolah. Tapi ada berapa banyak sich perpustakaan didirikan. Atau jika saya boleh lebih sarkas lagi, berapa kali kita masuk perpustakaan untuk sekedar membaca buku. Pada kebanyakan kasus, kita lebih suka pergi ke mall daripada membaca, kita memiliki koleksi sepatu yang jauh lebih banyak daripada koleksi buku. Kontras sekali dengan warga Singapore, yang bahkan sedang di MRT-pun anteng membaca buku tebal.

Bangsa kita memang mengalami krisis. Krisis pendidikan, salah satunya. Saya tidak mendeskriditkan bahwa semua tenaga kerja wanita asal Indonesia tersebut tidak berkualitas. Tidak. Saya yakin, bangku sekolah bukan satu-satunya tempat untuk kita menimba ilmu. Karena pada kenyataannya, pekerjaan saya membuat saya bertemu dengan banyak perempuan yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi mereka sangat hebat di bidangnya. Di sisi lain, kita tidak dapat menutup mata bahwa makin hari makin banyak sarjana yang jadi pengangguran. Lantas buat apa bersekolah tinggi kalau cuma jadi pengangguran?

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa perempuan, bercerita pada saya. Di desanya, cuma ada 3 (tiga) keluarga yang menyekolahkan anak-anaknya sampai jenjang perguruan tinggi. Yang satu, anaknya pak Lurah. Dan dua orang yang lain, karena orang tua mereka bekerja di Kelurahan (hingga dianggap tahu arti penting pendidikan). Tapi bedanya mereka yang disekolahkan adalah laki-laki. Lalu bagaimana dengan nasib kita kaum perempuan, yang konon wilayahnya cuma di sekitar kasur, dapur, dan pupur. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya cuma kerja di dapur, begitu pemikiran orang-orang tua tersebut. Alasan-alasan seperti ini, membuat kita, kaum perempuan seperti hidup di Abad Kegelapan. Tak bisa mengenyam pendidikan.

Pernah suatu kali saya mendapat murid yang memang tidak berkeinginan sekolah. Bukan karena tidak mampu. Tapi tidak mau. Padahal dia dari keluarga yang cukup berada. Jenuh, katanya. Di sisi lain, saya menemui cerita yang miris. Seorang anak pintar, penerima beasiswa, yang bunuh diri hanya karena ingin melanjutkan sekolah, tapi dilarang oleh orangtuanya. Ironis? Tapi, begitulah kenyataannya.

Pendidikan memang masalah yang sangat kompleks di negeri kita. Saya jadi ingat, dulu pada saat saya mendapat nilai yang buruk di beberapa matakuliah. Salah satu dosen pernah berkata: “Perempuan itu harus pintar. Kalian (para perempuan) akan jadi guru pertama yang dikenal oleh anak-anak. Kalau ibu-nya saja bodoh, mau jadi apa anak-anak kalian!”.

Hari itu, minggu pagi di Chatsworth Road. Diantara kesibukan teman-teman merayakan Hari Buruh sekaligus Hari Kartini. Saya jadi bertanya pada diri saya sendiri: “Mau jadi apa Kartini-Kartini generasi kita?”.

1 Mei 2011.

Tulisan Terbaru:

Advertisement

4 thoughts on “Chatsworth Road [sebuah catatan]

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.