Gara-gara baca blog-nya tetangga, kami jadi pingin nyatroni beberapa destination wisata di Pacitan.
Kenapa Pacitan? Alasannya mudah, dari banyak blog yang kami baca, Pacitan memiliki banyak lokasi wisata alam yang indah, dan yang terpenting karena Pacitan tidak jauh lokasinya dari Jogja. Kami cukup menyebrangi Gunungkidul dan Hap! Sampailah kami di Pacitan.
Mungkin karena lokasi yang akan kami kunjungi kali ini tidak terlalu jauhlah, beberapa ibu-ibu berminat sekali untuk ikut. Jadi, demi kemaslahatan orang banyak, kami putuskan jalan-jalan kali ini, kami hanya mengunjungi beberapa lokasi yang tidak terlalu sulit untuk dijangkau.
Minggu pagi, kami berkumpul ditempat yang telah ditentukan jam 6 pagi. Yah, namanya juga bawa ibu-ibu, jam-nya jadi molor. Jam 08.30 WIB kami baru berangkat. Para ibu kami paketkan dalam sebuah mobil bersama setumpuk makanan (huehe!). Dan kami mengendarai motor ramai-ramai.
Perjalanan yang harusnya bisa ditempuh dalam 2 jam, kami lalui cukup lama, (lagi-lagi) karena ibu-ibu seringkali minta berhenti istirahat dan kebelet pipis, haduuuhhh… mesti extra sabar nich!
Goa Gong
Tempat pertama yang kami kunjungi adalah Goa Gong. Pacitan memang terkenal sebagai Kota 1001 Goa. Sama dengan Gunungkidul, Pacitan juga menyimpan banyak temuan fosil manusia purba dan peralatan manusia purba dalam jumlah ribuan.

Bisakah Anda membayangkan, jika dahulu kala ternyata Gunungkidul dan Pacitan merupakan daerah yang sangat subur. Logikanya, karena manusia purba pada masa itu masih hidup secara nomaden dan food gathering, maka manusia purba biasanya memilih hidup di daerah-daerah yang dianggap paling subur. Fenomena alam-lah yang membuat Gunungkidul dan Pacitan menjadi daerah yang seperti sekarang kita kenal, kawasan karst.
Disatu sisi, kawasan karst membuat suatu kawasan menjadi tandus karena tidak memiliki tanah yang subur untuk pertanian, hal ini menyebabkan salah satunya air bersih menjadi sulit ditemukan pada kawasan karst jika musim kemarau sudah tiba. Disisi lain, kawasan karst menganugerahkan goa-goa alam yang indah, dimulai dari daerah Gombong (Jawa Tengah) berlanjut hingga kawasan di Gunungkidul dan berakhir di Pacitan. Jika anda berjalan-jalan di sepanjang kawasan ini, anda akan menemukan banyak goa dan luweng yang menjadi sentra penelitian bagi perkembangan ilmu arkheologi dunia.
Goa Gong terletak di desa Bomo, kecamatan Punung sekitar 30 km dari kota Pacitan. Jika anda melewati jalur Gunungkidul seperti yang kami tempuh, langkah tercepat adalah menemukan Pracimantoro. Jalan raya antara Gunungkidul-Pracimantoro meski lumayan jauh tapi tidak terasa karena jalannya beraspal halus. Jadi, ya asik-asik ajah kalo anda emang hobby naik motor. Hanya saja, begitu memasuki Pracimantoro, akan terasa bedanya. Jalan aspal di Pracimantoro terasa lebih “jelek” jika dibandingkan dengan jalanan beraspal halus milik Gunungkidul. Bahkan memasuki jalan kecil menuju Goa Gong, anda akan menemukan beberapa ruas jalan mengalami kerusakan, meski masih bisa dilalui oleh kendaraan roda 4.

Sampai di depan gerbang, kita harus menaiki beberapa anak tangga sekitar 100 meter untuk sampai ke depan Goa Gong. Jika anda punya masalah dengan kegelapan, disitu ada banyak warga lokal yang menyewakan senter.
Saya sendiri, selama menjelajahi goa, terlalu terpaku dengan jalan yang licin, dan suasana gelap, secara bersamaan kami juga mendapat pemandangan yang cukup kontras, stalagtit dan stalagmite yang diberi tata cahaya yang memukau dari lampu neon yang berwarna-warni, membuat saya jadi aras-arasan untuk mengambil beberapa foto, saya memilih untuk menikmati suasana didalam goa yang keren ini tanpa harus banyak berfoto ria.
Gua Gong merupakan goa horizontal dengan panjang sekitar 256 meter. Jalanan yang sempit dan pengunjung yang ramai, membuat saya tidak leluasa mengambil foto. Setiap saya berhenti untuk mengambil foto, beberapa orang dibelakang saya akan berteriak, “jalaaaan mbak!”. Dan saya pun buru-buru melanjutkan perjalanan dan batal mengambil gambar. Kondisi di dalam goa yang gerah terkadang membuat kita, pengunjung, merasa phobia jangan-jangan kami akan kehabisan oksigen di dalam goa (huaha! lebay ya?).

Beberapa jalur di dalam Goa sudah disemen, bahkan (ini membuat saya terkejut) sepanjang jalur perjalanan terdapat besi pegangan agar kita tidak terpeleset. Tentu saja, semua fasilitas ini dibangun agar orang tertarik dan merasa nyaman untuk datang menyelusuri Goa Gong. Tapi di sisi lain, saya merasa sedih, karena demi meningkatkan jumlah wisatawan, Goa seapik ini kudu di-“perkosa” sedemikian rupa untuk menciptakan sebuah nilai ekonomis. (Buat saya sich, namanya mblusukkan ke Goa, ya ncen kudu rekoso).
Di dalam Goa Gong terdapat lima sendang yang airnya, jika disentuh terasa sangat adem dan maknyuzzz. Beberapa pengunjung sengaja mencuci muka dengan air sendang. Menurut juru kunci, air sendang di dalam Goa Gong dipercaya memiliki nilai magis untuk menyembuhkan penyakit (hoho!).
Nah, ini bagian yang saya baru tahu setelah keluar dari Goa. Di dalam Goa Gong terdapat ruangan yang bernama ruang Sendang Bidadari, isinya sendang kecil dengan air yang dingin. Di sebelah ruang tersebut adalah ruang Bidadari, yang konon, terkadang melintas bayangan seorang wanita cantik menyerupai bidadari.

Di dalam Goa Gong terdapat batu kristal dan marmer dengan kualitas yang kabarnya mendekati sempurna (ini kata teman saya yang kuliah lapangan-nya sampai ke Goa-Goa di Pacitan). Tahukah Anda, sebenarnya stalaktit dan stalakmit di dalam Goa selagi masih ada air yg selalu menetes diujungnya, artinya dia masih bisa hidup, masih bisa terus bertumbuh. Begitu tangan nakal anda menyentuhnya (meskipun secara tak sengaja), maka batu-batu tersebut akan mati.
Di ruangan yang paling lapang, kabarnya pernah diadakan konser musik yang mewakili Indonesia, Swiss, Inggris, dan Perancis. Konser musik tersebut dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk mempromosikan Goa Gong ke mancanegara. Kebayang ga ada konser musik di dalam sebuah Goa? Saya kok malah membayangkan beberapa tahun lagi, Goa ini bakal runtuh kalo di dalam Goa yang rawan getaran seperti ini seringkali diadakan konser musik, benar-benar bahaya!
Ruang keenam adalah ruang pertapaan, dan yang terakhir barulah ruang Batu Gong. Di ruang Batu Gong inilah terdapat batu-batu yang apabila kita tabuh akan mengeluarkan bunyi seperti Gong. Anda bisa membayar beberapa puluh ribu rupiah, agar si juru kunci membunyikan si “Gong”.
Batu-batu tersebut sebenarnya adalah stalaktit, meskipun Goa Gong terhitung unik karena jika dipukul batu-batunya bisa mengeluarkan suara mirip Gong. Tapi yang harus Anda ingat dan catat setelah membaca tulisan ini adalah setiap stalakmit ataupun stalaktit yang anda lihat, tiap 1 cm-nya alam butuh waktu bertahun-tahun untuk membentuknya. Jika Anda menyentuh ataupun memukul-nya, maka stalaktit atau stalakmit tersebut perlahan-lahan akan mati, artinya batu-batu tersebut tidak dapat lagi tumbuh, lama-kelamaan menua, rapuh, dan mudah hancur. Jika sudah begitu tidak ada lagi yang dapat kita wariskan ke anak cucu kita, padahal Goa Gong diklaim sebagai Gong terindah ke-2 setelah sebuah Goa di Perancis.
Jadi, tidakkah kebiasaan kita untuk membunyikan “Gong” didalam Goa ini malah menjadi kebiasaan yang menyedihkan, karena malah dengan sengaja, kita menghilangkan hak anak-cucu kita agar dapat menikmati keajaiban tempat ini juga?
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
Haduhhh…..
menggeh-menggeh aku maca tulisan yang menurutku kudune dibikin dua, tiga atau empat journal ini….
~berrasa lagi ngejar kereta nih yang nulis….
cerita ini adalah sebuah catatan dari sehari perjalanan, dan begitulah dia dibuat. bukan untuk mengomentari per tempat wisata (meskipun nampak demikian) tapi ini sebuah catatan bagi orang2 yg ingin jalan2 ke pacitan, tp tdk punya waktu banyak. begitulah.
Aku masih belum nge dengan uang tujuh puluh ribu itu kita dapaet apa yaa..? bujat apa maksudku…
untuk mendengar suara stalagtit nya pas di-tabuh. baca baik-baik dunks.
wah, salam kenal… pingback dari blog sayalah yg membuat saya terdampar disini,,
bagaimana mengenai pacitan, menyenangkankah??
senang rasanya pacitan banyak ditulis dalam blog-blog, pasti juga akan menguntungkan pacitan, secara langsung maupun tidak langsung..
pesan dari mas yui
http://yuiworld.wordpress.com
mas yui maaf, pesan nya saya letakkan disini yaks,,,,soale komentar njenengan lebih tepat jika diletakkan disini =))
thanks ya dah mau mampir, maaf saia meng-kritik banyak wisata di pacitan, semoga menjadikan pacitan jauh lebih baik lagi, saia tetap percaya, pacitan bisa jauh lebih ramai wisata nya tanpa harus memperkosa keindahan alam-nya. Gutlak buat Pacitan!
iyes, saya sudah sampe di pacitan.. huah.. jadi kangen klayar, srau, ama gunung limo =__=
wah jalan-jalan akhir taun nichhh