[Trip] Astana Giribangun Matesih Karanganyar


Kalo kalian jalan-jalan ke Tawangmangu, ada wisata ziarah yang tak boleh terlewatkan, yaitu Astana Giribangun.

Astana Giribangun adalah komplek pemakaman milik Keluarga Besar Presiden Ke-2 Indonesia Soeharto. Saya sih lebih suka menyebutnya sebagai makam Keluarga Besar Bu Tien, soalnya dari keluarga Bu Tien-lah, pak Harto mendapatkan trah ke-ningratan-nya.

pintu masuk ke Astana Giribangun
pintu masuk ke Astana Giribangun

Astana Giribangun terletak di sebelah timur kota Surakarta, tepatnya di Desa Girilayu Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, sekitar 35km dari kota Surakarta.

Sesuai trah ke-ningratan Bu Tien dari garis Ayahnya, darah biru tersebut diwariskan oleh Mangkunegaran III, sebuah Dinasty keturunan Mataram yang masih eksis sampai saat ini, Dinasty termuda yang dibangun oleh Pangeran Sambernyowo.

Tentu ayah Bu Tien bukan keturunan pertama dari Mangkunegaran III, ayah Bu Tien yang bernama Soemoharjomo merupakan keturunan ke-5 (atau malah yang ke-6?) dari Mangkunegaran III.

Sebenarnya bercerita tentang sejarah Dinasty Mangkunegaran, kita tidak bisa terlepas dari cerita tentang Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Semua dinasty ini, meski berbeda-beda dan telah mengalami konflik berkepanjangan, yang perlu diketahui adalah bahwa ketiga dynasty tersebut, sebenarnya bersaudara satu leluhur, yaitu Mataram Islam.

Adipati Anom yang mendirikan Surakarta, adalah adik dari RM Suro, Putra Mahkota dari Amangkurat IV, yang bergelar Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura. Sebenarnya, Pangeran Mangkunegara—lah yang seharusnya menjadi raja, tapi Adipati Anom yang saat itu masih berusia 15 tahun dengan dukungan Ibu Suri dan VOC, mampu menyingkirkan Pangeran Mangkunegara ke Ceylon (Srilangka) dan bertahta dengan gelar Pakubuwono II.

RM Said waktu itu masih berusia 2 tahun, saat ayahnya, Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, dibuang ke Ceylon. Pada saat umur 19 tahun, RM Said membantu pemberontakkan orang-orang Cina melawan PB II. Peristiwa tersebut terkenal dengan julukan Geger Pecinan. Geger Pecinan benar-benar membuat geger. PB II bahkan harus melarikan diri ke Ponorogo untuk menyelamatkan diri. Untuk sesaat, pemberontak bisa menguasai Keraton Kartasura dan mem-proklamirkan Sunan Kuning (12 tahun) sebagai Amangkurat V.

Dengan bantuan Pangeran Cakraningrat dari Madura, PB II mampu menyingkirkan pemberontak bahkan menangkap Sunan Kuning, yang lantas dibuang ke Ceylon. Tapi RM Said, yang merupakan Panglima Perang Amangkurat V, mampu melarikan diri dan bergabung dengan kelompok pemberontak di Sukowati (Sragen). Pada masa-masa pemberontakan ini pula, RM Said menikah dengan Rubiah, perempuan yang terkenal dengan sebutan “Matah-Hati”.

Ketidakmampuan “menaklukan” RM Said, membuat PB II mengadakan sayembara bagi siapa saja yang mampu menangkap RM Said akan diberikan hadiah tanah Sukowati (Sragen). Pangeran Mangkubumi (adik dari PB II) tampil sebagai pemenang sayembara. Sayangnya, PB II mangkir, dengan tidak menyerahkan hadiah tanah Sukowati kepada Pangeran Mangkubumi sebagai pemenang. Alhasil, Pangeran Mangkubumi yang semula mendukungnya pun bergabung bersama RM Said memberontak pada PB II.

Persekutuan antara paman (Pangeran Mangkubumi) dengan keponakan (RM Said) semakin dipererat dengan pernikahan RM Said dengan Raden Ayu Inten (puteri Pangeran Mangkubumi). Waktu itu umur RM Said masih 22 tahun, dan ini merupakan pernikahan yang kedua.

Hubungan antara Pangeran Mangkubumi dan RM Said renggang setelah adanya Perjanjian Giyanti (1755) yang membagi Mataram menjadi dua, yaitu Surakarta di bawah PB III, dan Yogyakarta dibawah Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Hamengkubuwono I. Hubungan mereka semakin buruk, tatkala RM Said yang marah karena merasa dikhianati oleh BH I, berhasil menyerang Benteng Vredeburg dan Keraton Yogyakarta.

Bahkan, saking menakutkannya kekuatan RM Said, HB I sempat mengadakan sayembara bagi siapapun yang berhasil menangkap RM Said akan diberi hadiah 500 real dan di angkat menjadi Bupati.

VOC yang kewalahan dengan pemberontakan RM Said, ikut menawarkan 1000 real bagi siapapun yang berhasil membunuh RM Said.

RM Said berhasil membangun pasukan yang militant dengan prinsip Tiji Tibe, Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh. Tiga pertempuran besar di Ponorogo, Rembang, dan Yogyakarta membuat Gubernur Direktur Jawa, Baron van Hohendorff, menjuluki RM Said dengan Pangeran Sambarnyowo, karena di setiap pertempuran RM Said digambarkan sosok penyebar maut karena kesaktiannya.

Pemberontakkan RM Said barulah dapat diredam dengan adanya Perjanjian Salatiga (1957). Berdasarkan Perjanjian Salatiga, kekuasaan Surakarta yang telah terbagi, dipecah lagi menjadi dua, yaitu Surakarta dibawah kepemimpinan Pakubuwono III dan Mangkunegaran, dibawah pimpinan RM Said, yang kemudian bergelar Mangkunegara I.

Dinasty Mangkunegaran sengaja dipilih oleh RM Said untuk menunjukkan asal muasalnya sebagai putra dari Pangeran Arya Mangkunegara Kartasura, Putra Mahkota dari Keraton Kartasura yang sesungguhnya.

Meskipun status Mangkunegaran hanyalah Kadipaten dibawah Kasunanan Surakarta, tapi secara de facto Mangkunegara memiliki kekuasaan yang sama seperti Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan diantara ke-3 kerajaan tersebut ada sebuah perjanjian yang menyatakan bahwa ketiga kerajaan tersebut memiliki kedudukan yang setingkat.

Perjanjian Salatiga memberikan Mangkunegara I wilayah kekuasaan meliputi Kadaung, Matesih, Honggobayan, Sembuyan, (Ngawen) Gunung Kidul, Pajang (sebelah utara) dan Kedu.

Jika pada umumnya, keturunan Raja Mataram setelah meninggal dimakamkan di Astana Imogiri Yogyakarta, maka Mangkunegara I membuat astana-nya sendiri dengan dimakamkan di Astana Mangadeg Matesih Surakarta.

Astana Giribangun
Astana Giribangun

Astana Mangadeg di bangun diatas Gunung Mangadeg dengan ketinggian 750 meter dpl. Sedangkan disampingnya terdapat Gunung Bangun dengan ketinggian 666 meter dpl. Pada saat pembangunan Astana Giribangun, puncak Gunung Bangun bahkan dipotong hingga 22 meter agar ketinggiannya tidak melebihi Astana Mangadeg. Ini tentunya terkait dengan filosofi orang Jawa mengenai urutan trah atau silsilah menurut derajat atau kelas pada garis keturunannya.

Konon kabarnya, diantara kedua makam ini, terdapat lorong yang menghubungkan kedua kompleks. Lorong tersebut hanya boleh dilewati orang-orang tertentu dan pada hari-hari tertentu saja.

Jika Astana Mangadeg diperuntukkan bagi keluarga kerajaan keturunan Mangkunegaran I, maka Astana Giribangun diperuntukkan bagi keluarga besar Bu Tien Soeharto.

Astana Giribangun diresmikan pada Jumat Wage tanggal 23 Juli 1976. Peresmian tersebut ditandai dengan dipindahkannya kerangka jenazah ayah ibu dari Bu Tien, yaitu KRMTH Soemoharjomo dan KRA Soeharjomo serta jenasah dari Siti Hartini Oudang (kakak tertua Ibu Tien), yang sebelumnya dimakamkan di Makam Utoroloyo, salah satu makam keluarga besar keturunan Mangkunegaran yang berada di Kota Solo.

Cungkup Argosari
Cungkup Argosari

Menurut buku Panduan Berziarah Astana Giribangun koleksi Perpustakaan Rekso Pustoko Puro Mangkunegaran (Solo), Astana Giribangun merupakan kompleks makam termuda dibandingkan kompleks makam leluhur keluarga besar Mangkunegaran.

Urutannya adalah Makam Mangkunegaran Kartasura di Imogiri Bantul (Yogyakarta), Astana Mangadeg, Astana Girilayu, Astana Oetara, Astana Giri, Astana Kablokan, Pesarean Mantenan, Pesarean Karangtengah, Pesarean Randusongo, Pesarean Temuireng, Pesarean Ngendo Kerten, dan Astana Giribangun.

Astana Giribangun mengadopsi model bangunan rumah khas jawa, yaitu joglo. Astana yang memiliki luas sekitar 200 meter persegi ini, terbagi ke dalam tiga cungkup (bagian makam) sesuai trah (silsilah keluarga) yang masing-masing bernama Cungkup Argosari, Cungkup Argokembang, dan Cungkup Argowutuh.

Di cungkup utama, cungkup Argosari inilah terletak makam utama keluarga Bu Tien, yaitu sebuah ruangan seluas 80 meter persegi dikelilingi gebyok ukiran. Dalam dinding gebyok terdapat 5 makam utama, yaitu makam dari kakak tertua, ayah dan ibu, pak Harto dan Bu Tien. Di emper cungkup Argosari terdapat 12 lubang badan, dan selasar cungkup Argosari terdapat 45 badan.

Empat tiang utama di dalam Cungkup Argosari ini terbuat dari beton yang dihiasi dengan lapisan kayu ukiran asal Jepara. Selain itu, pada dasar tiang tersebut juga dihiasi dengan cincin-cincin yang terbuat dari logam kuningan yang kilaunya mirip dengan emas. Sedangkan lantainya, yang sejak pertama melihatnya, saya pikir berasal dari marmer Italia, ternyata terbuat dari marmer buatan Tulungagung Jawa Timur.

Cungkup Argokembang disediakan bagi anggota Yayasan Mangadeg. Yayasan Mangadeg adalah yayasan yang didirikan oleh Bu Tien untuk mengelola Astana Giribangun. Sedangkan Cungkup Argowutuh disediakan bagi siapa saja yang mengajukan permohonan untuk dimakamkan disini, dan disetujui oleh Yayasan Mangadeg.

Sisi selatan Astana Giribangun berbatasan langsung dengan jurang yang di bawahnya mengalir Kali Samin yang airnya berhulu dari air terjun Tawang Mangu. Di bagian timur kompleks pemakaman, terdapat Masjid Giribangun yang cukup unik karena atapnya nampak rendah dan gelap. Di sebelahnya lagi terdapat pintu untuk menuju ke komplek pemakaman Pangeran Sambernyowo, yaitu Astana Mangadeg.

Selain udara yang segar, komplek Astana Giribangun menyediakan pemandangan alam yang mengagumkan. Kita bahkan leluasa melihat monyet-monyet bermain di atas atap. Sayangnya, di dalam cungkup Argosari, kita tidak diperbolehkan mengambil gambar sesukanya. Ada beberapa petugas yang mengawasi cukup ketat. Jika memang mau mengambil gambar, maka bisa meminta bantuan para fotografer amatiran ini dengan biaya 20ribu per lembar foto. Dan percayalah, kita akan dipaksa untuk membeli hasil jepretannya, meski hasilnya sangat-sangat jelek ;-(

makam Bu Tien dan Pak Harto
makam Bu Tien dan Pak Harto

Untuk bisa masuk ke Astana Giribangun biasanya kudu melewati beberapa penjagaan. Di penjaga ini, kita wajib mengisi selembar kertas tentang maksud dan tujuan datang, plus menyerahkan KTP sebagai jaminan. Setelah membayar biaya administrasi, barulah kita bisa masuk untuk melewati penjaga yang selanjutnya.

Di parkiran juga terdapat beberapa penjual kaos dan souvenir khas Astana Giribangun. Kadang, jika datang dengan plat kuning, malah akan dicegat oleh tukang ojek dibawah, dan dipaksa naek ojek mereka. Huehehe. Pokoknya yang sabar ajah kalo dolan ke sana. Yah, namanya juga ke komplek makam.

Sebenarnya, keluarga besar Bu Tien Soeharto bukanlah satu-satunya keluarga Presiden yang berdarah ningrat. Keluarga Presiden Soekarno juga berdarah biru, berasal dari ayah Soekarno yang merupakan seorang dalang. Selain itu, salah satu dari putri Soekarno yang bernama Sukmawati, pernah menikah dengan Pangeran Sujiwokusumo, yang saat ini telah bertahta menjadi Raja di Mangkunegaran bergelar Mangkunegara IX.

Dari hasil pernikahan ini, mereka memiliki sepasang putra putri, yaitu Paundra dan Menur. Paundrakarna, putra tertua Mangkunegara IX inilah yang saat ini menjadi Putra Mahkota dari Keraton Mangkunegaran. Jika kelak, Mangkunegara IX mangkat, barangkali Paundra-lah yang akan menjadi raja Mangkunegaran selanjutnya.

Seperti diketahui, bahwa pada masa awal Mangkunegara IX bertahta menggantikan kakaknya, Pangeran Raditya, yang meninggal dunia karena kecelakaan. Sempat terjadi pergolakan di antara pendukung yang pro terhadap Pangeran Sujiwokusumo untuk menjadi Mangkunegaran IX, dan juga pendukung GRA Nurul Kamaril yang saat itu telah berusia 72 tahun untuk menjadi Raja selanjutnya. Tentu saja, cerita yang beredar adalah ada kekuasaan Bu Tien sebagai pendukung utama GRA Kamaril. Bu Tien, waktu itu disinyalir, keberatan jika posisi “keturunan” Soekarno berada lebih tinggi garis kedekatan dengan Sang Raja, dibandingkan dirinya.

Untuk memperkokoh keningratannya, bahkan bu Tien menjodohkan putra tersayangnya, Tommy, dengan Tata, salah satu puteri dari RM Bambang Soetjahjo Adji Soerjosoebandoro, keluarga bangsawan di Mangkunegara.

Tapi begitulah takdir, sebesar apapun konflik politik antara Keluarga besar Soeharto dan Keluarga besar Soekarno, nampaknya kedua keluarga ini memang akan terus bersaudara dalam trah ke-Mangkunegara-annya mereka. Huehe. Setidaknya, anak cucu-lah yang akan mengumpulkan tulang belulang leluhur yang sempat terserak karena perbedaan kepentingan politik.

This slideshow requires JavaScript.

Overall, Astana Giribangun sangat menyenangkan untuk dikunjungi karena lokasinya yang tinggi memberikan kita pemandangan yang apik dan udara yang segar, sekalian belajar sejarah! Pokoknya asyiklah 😉

Happy Travelling!

Tulisan Terbaru:

Advertisement