Secangkir Teh Hijau
Jika Anda kenal saya bertahun-tahun yg lalu, barangkali Anda akan tahu bahwa saya sangat tidak menyukai teh hijau tawar.
Entah kenapa, saya sangat tidak suka aromanya. Pernah bbrp kali, jika saya datang kuliner ke kota-kota yg menyajikan teh tawar, pasti tetap request yg manis sambil ngomel 😂
Pergi ke banyak kota membuat saya lebih menghargai secangkir teh hijau tawar.
Jaman dulu sering ke Hongkong adalah awal saya belajar “menyukai” teh hijau. Awalnya menderita. Tapi mau gimana lagi? Sebagai traveler kere, saya harus bertoleransi dengan uang di kantong.
Di Hongkong, kalo mau minum yg gratisan ya pilihannya hanya pesan Chinesse Tea, di refill bolak balik sampe pegel tuh waitress nya 😂
Di Macao, di Shenzen, di Beijing pun menerapkan yg sama jika kulineran di Restaurant pasti Chinesse Tea nya free refill. Barangkali, saking seringnya, akhirnya lidah pun terbiasa. Iya. Orang kere ncen kudu tau diri, ga bisa mengharap yg macam-macam.
Lama-lama akhirnya saya menyukai teh hijau. Sekarang, kalo pergi ke beberapa kota, yg saya cari pasti teh hijau nya. Enak atau ga, lidah akhirnya punya standar sendiri ttg taste teh hijau yg saya suka.
Buat saya, teh hijau artinya sore hari dan kopi artinya pagi hari.
Hanya kota-kota ttt yg bisa membuat acara nge-teh saya di skip. Phnom Penh, Siem Riep, Saigon adalah kota-kota yg membuat saya bisa minum kopi 5-6 kali dalam sehari. Bayangkan saja, setiap haus saya minum es kopi 🙈
Meski begitu, saat keadaan normal, saya lebih menyukai menghabiskan sore dengan teh hijau.
Kalo dulu, saya menyebut aneh ke teman-teman yg tiap sore minum teh hijau tawar, sekarang teman-teman yg menyebut saya aneh huehehe 😂
Ini namanya kuwalat!
Saya masih suka teh gula batu, sesekali. Tapi barangkali, saya lebih terpesona pada aroma teh hijau, tawar tanpa gula.
Eh jangan-jangan ini pengaruh usia ya?
*Tulisan ini ditujukan pada mbak Che dan kak Pim yg dulu saya anggap aneh karena hobby minum teh. Dulu menurut saya, hanya mbah-mbah yg minum teh huahaha 🙈 – with Chandra
View on Path