Para pelancong mengunjungi kota kami untuk menyaksikan kepedihan. Mereka datang untuk menonton kota kami yang hancur. Kemunculan para pelancong itu membuat kesibukan tersendiri di kota kami. Biasanya kami duduk-duduk di gerbang kota memandangi para pelancong yang selalu muncul berombongan mengendarai kuda, keledai, unta, permadani terbang, dan kuda sembrani. Mereka datang dari segala penjuru dunia. Dari negeri-negeri yang jauh gemerlap.
Di bawah langit senja yang kemerahan, kedatangan mereka selalu terlihat bagaikan siluet iring-iringan kalifah melintasi gurun perbatasan, membawa bermacam perbekalan piknik. Berkarung-karung gandum yang diangkut gerobak pedati, daging asap yang digantungkan di punuk unta terlihat bergoyang-goyang, roti kering yang disimpan dalam kaleng, botol-botol cuka dan saus, biskuit dan telur asin, rendang dalam rantang, dan berdus-dus mi instan yang kadang mereka bagikan kepada kami.
Penampilan para pelancong yang selalu riang membuat kami sedikit merasa terhibur. Kami menduga, para pelancong itu sepertinya telah bosan dengan hidup mereka yang sudah terlampau bahagia. Hidup yang selalu dipenuhi kebahagiaan ternyata bisa membosankan juga. Mungkin para pelancong itu tak tahu lagi bagaimana caranya menikmati hidup yang nyaman tentram tanpa kecemasan ditempat asal mereka. Karena itulah, mereka ramai-ramai piknik ke kota kami; menyaksikan bagaimana kami hidup dalam penderitaan. Kami menyukai cara mereka tertawa, saat mereka begitu gembira membangun tenda-tenda dan mengeluarkan perbekalan, lalu berfoto ramai-ramai di antara reruntuhan puing-puing kota kami.
Kami seperti menyaksikan rombongan sirkus yang datang untuk menghibur kami.
Kadang mereka mengajak kami berfoto. Dan kami harus tampak menyedihkan dalam foto-foto mereka. Karena memang untuk itulah mereka mengajak kami berfoto bersama. Mereka tak suka bila kami terlihat tak menderita. Mereka menyukai wajah kami yang keruh dengan kesedihan. Mata kami yang murung dan sayu. Sementara mereka –sembari berdiri dengan latar belakang puing-puing reruntuhan kota– berpose penuh gaya tersenyum saling peluk atau merentangkan tangan lebar-lebar. Mereka segera mencetak foto-foto itu, dan mengirimkannya dengan merpati-merpati pos ke alamat kerabat mereka yang belum sempat mengunjungi kota kami.
Belakangan kami pun tahu, kalau foto-foto itu kemudian dibuat kartu pos dan diperjualbelikan hingga ke negeri-negeri dongeng terjauh yang ada di balik pelangi. Pada kartu pos yang dikirimkannya itu, para pelancong yang sudah mengunjungi kota kami selalu menuliskan kalimat-kalimat penuh ketakjuban yang menyatakan betapa terpesonanya mereka saat menyaksikan kota kami perlahan-lahan runtuh dan lenyap. Mereka begitu gembira ketika melihat tanah yang tiba-tiba bergetar. Bagai ada naga menggeliat di ceruk bumi, atau seperti ketika kau merasakan kereta bawah tanah melintas menggemuruh dibawah kakimu. Betapa menggetarkan melihat pohon-pohon bertumbangan dan rumah-rumah roboh menjadi abu. Membuat hidup para pelancong yang selalu bahagia itu menjadi lengkap karena bisa menyaksikan segala sesuatu sirna begitu saja.
Bagi para pelancong itu, kota kami adalah kota paling menakjubkan yang pernah mereka saksikan. Mereka telah berkelana ke sudut-sudut dunia, menyaksikan beragam keajaiban di tiap kota. Mereka telah menyaksikan menar-menara gantung yang dibuat dari balok-balok es abadi, candi-candi megah yang disusun serupa tiara, dan menyaksikan seekor ayam emas bertengger di atas katedral tua sebuah kota yang selalu berkokok setiap pagi. Mereka juga telah melihat kota dengan kanal-kanal yang dialiri cahaya kebiru-biruan. Kepada kami para pelancong itu juga bercerita perihal kota kuno yang berdiri di atas danau bening, dengan rumah-rumah yang beranda-berandanya saling bertumpukan, dan jalan-jalannya yang menyusur dinding-dinding menghadap air, hingga menyerupai kota yang dibangun diatas cermin; kota dengan jalan layang menyerupai jejalin benang laba-laba; sebuah kota yang menyerupai benteng di ujung sebuah teluk, dengan jendela-jendela dan pintu-pintu yang selalu tertutup menyerupai gelap anggur dan hanya bisa dilihat ketika senjakala. Bahkan mereka bersumpah telah mendatangi kota yang hanya bisa ditemui dalam imajinasi seorang pengarang. Tapi kota kami, menurut mereka, adalah kota paling ajaib yang pernah mereka kunjungi.
***
Bila kau merencanakan liburan akhir pekan –dan kau sudah bosan piknik ke kota-kota besar dunia yang megah dan gemerlap– ada baiknya kau berkunjung ke kota kami. Jangan lupa membawa kamera untuk mengabadikan penderitaan kami. Mungkin itu bisa membuatmu sedikit terhibur dan gembira. Berwisatalah ke kota kami. Jangan khawatir, kami pasti akan menyambut kedatanganmu dengan kalungan bunga air mata.
*diambil dari Cerpen “Pelancong Kepedihan”, karya Agus Noor. Cerpen ini sebenarnya bersetting kejadian Gempa Bumi di Jogja tahun 2006. Akan tetapi, untuk saat ini rasanya jauh lebih cocok jika dipasangkan dengan dokumen foto Erupsi Merapi 2010 karena di dusun Kinahrejo, Kec. Cangkringan sekarang terdapat Lava Tour Gunung Merapi Sleman.
**foto diambil dalam rangka tugas kantor.
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
Hemm….
kalo ngliat photo n di iringi karyaAGus Noor itu kok ya mang pas n jadinya nambah keinget kesedihan itu yaa…
😦
eh itu mau kutambah beberapa koleksi photoku pas merapi, tapi ga sempet terus,,,