Selamat Pagi.
Jika saya sebutkan ini Sleman dan Selokan Mataram, kamu percaya?
Sleman itu satu-satunya daerah yg membuat saya tau arah. Gunung Merapi adalah Utara.
Saat terlihat pucuk Gunung Merapi, maka itulah petunjukmu mencari arah.
Permasalahannya, sekarang tumbuh banyak bangunan baru yg ketinggiannya membuat puncak Merapi tak lagi terlihat dari jauh.
Saat pucuk Merapi tak terlihat, Sleman tak lagi terasa Sleman.
Bangunan vertikal atau bangunan yg meninggi ke atas adalah sebuah dilematik tersendiri di Sleman. Apakah diperbolehkan ataukah sebaiknya tidak boleh?
Sleman sendiri adalah kawasan yg tidak terlalu luas. Memang cukup luas dibandingkan Kota Jogja, tapi jika dilihat secara global dalam peta, DIY memang memiliki wilayah yang ga luas dibandingkan propinsi lain.
Tanah adalah sesuatu yg statis, tidak berubah. Ini berlawanan dengan jumlah penduduk yg tiap tahun semakin meningkat.
Jika Bangunan Vertikal tidak boleh didirikan, lantas bagaimana memecahkan permasalahan kebutuhan tanah?
Taukah Anda, menurut beberapa sumber, ada lebih dari 800 ribu pasangan yg menikah tiap tahun. Artinya, kebutuhan rumah baru pun sebanyak itu, setiap tahun.
Sleman sendiri, daerah pemukimannya, merupakan daerah yg tanahnya paling mahal jika dibandingkan kabupaten/kota yang lain. Ini dikarenakan banyak pensiunan dari kota-kota besar, seperti Jakarta & Surabaya, membeli rumah di Sleman untuk investasi di hari tua. Lihat saja harga rumah di Depok, Mlati, Ngaglik, Ngemplak semuanya diatas rata-rata.
Lalu, apakah membangun Perumahan di desa-desa merupakan solusi?
Pasti tidak! Saat perumahan menerobos aturan, demi kebutuhan rumah murah, maka ada banyak sawah dan ladang yg berubah fungsi, tidak lagi ditanami padi tapi ditanami beton.
Bukan solusi yg baik jika Sleman ingin mempertahankan titelnya sebagai “Daerah Lumbung Padi”.
Tapi apakah dengan tindakan pemerintah yg membiarkan Pasar mengontrol harga rumah yg semakin menjulang merupakan solusi?
Ya tidak tepat juga. Sleman membiarkan hanya orang-orang yg “mampu” saja memiliki tanah, rumah, sawah, kebun. Padahal dengan fakta bahwa tiap tahun terjadi ratusan ribu pernikahan, artinya kebutuhan rumah pun sebanyak itu, setiap tahun.
Apakah Bangunan Vertikal merupakan solusi?
Pilihan yg berat. Jika dihadapkan dengan jumlah sawah dan ladang di Sleman yg tiap tahun semakin menurun, barangkali iya.
Tapi jika Bangunan Vertikal berdiri tanpa kontrol dan aturan yg jelas, selain mengganggu mata, dampak terhadap lingkungan juga banyak. Mulai dari air bersih, kemacetan, kebutuhan akan sinar matahari, rawan gempa, ada banyak yg perlu di kaji lebih lanjut secara akademis.
Tapi Kebijakan memang begitu, kebijakan ga hanya berbicara ttg baik atau tidak? Kebijakan Publik itu berbicara juga ttg, bagaimana jika pilihan A dan B sama-sama memiliki konsekuensi, memiliki dampak sosial lingkungan. Kebijakan berbicara ttg pilihan yg sama-sama sulit.
Bagaimanapun, rumah adalah kebutuhan primer bagi pasangan yg berumahtangga. Tidak semua orang beruntung mendapat warisan rumah. Tidak semua orang beruntung bisa tinggal selamanya di rumah orangtua atau mertua.
Sleman merupakan Kabupaten dengan tingkat perkawinan tertinggi di DIY. Ada banyak pasangan baru yg mencari rumah dan gentar melihat harganya.
Jika tidak dicarikan solusi, lama kelamaan sawah di Sleman akan habis menjadi pemukiman dan perumahan.
Pada saat itu, barangkali saya dan kamu akan piknik ke negri lain hanya untuk melihat sawah dan kebun salak. Karena jalur hijau di Sleman makin lama makin habis.
Selamat Pagi, Sleman.
View on Path