[Trip] Menunggu Sunset di Pantai Kuta Bali


Dari semua daerah yang pernah saya kunjungi di Bali, entah kenapa Kuta adalah daerah yang paling berjodoh dengan saya 😉 Setiap ke Bali, juragan saya selalu meminta menginap di daerah Kuta. Saya sich seneng-seneng ajah. Kuta adalah daerah yang menyenangkan. Apapun yang kalian inginkan ada. Saingannya adalah Kota Denpasar, tapi saya tetap suka Kuta -untungnya juragan juga ;-)- selain dekat dengan bandara, tinggal di Kuta rasanya kayak tinggal di sebuah tempat serba ada, mau makan -dari yang murah sampe mahal- ada; mau belanja ada; mau nyari tempat ngopi sambil nongkrong –hohoho- adaaa banget! Mau berwisata, ada ada ada! 😉

Pantai Kuta adalah tempat wisata yang (biasanya) terdekat dengan hotel tempat rombongan saya menginap. Beberapa kali, saya dan teman-teman datang ke pantai sambil jalan kaki, itung-itung program pengurusan badan. Hap hap hap!

Di Kuta, ada mall yang letaknya dekat dengan pantai. Beberapa kali saya sering iseng nyari makan siang di mall ini ato kalo ga, iseng nyobain ngopi, tapi ga sering-sering banget, ga enak kalo keliatan juragan lagi ngopi di tempat mahal. Takut jadi ketagihan gitu lho. Hihihi 😉

sunset di Pantai Kuta
sunset di Pantai Kuta

Waktu yang paling pas buat ke pantai Kuta adalah di sore hari. Kebalikan dari Pantai Sanur, Pantai Kuta adalah Pantai Sunset, pantai matahari terbenam. Sekitar jam 4 sore biasanya wisatawan mulai berdatangan untuk menikmati sunset di Kuta. Buat saya, keramaian ini malah jauh lebih menarik daripada pantainya sendiri. Ada yang sedang surfing, ada yang sepakbola di pantai, ada yang berjemur, ada yang sibuk berfoto-foto, ada yang jalan-jalan menikmati sensasi kaki menginjak pasir, ada juga yang cuman duduk-duduk ga jelas kayak saya.

Pantai Kuta bukan pantai terbaik yang dimiliki oleh Pulau Bali, pengunjungnya yang begitu ramai, malah membuat Pantai Kuta lebih mirip pasar malam daripada sebuah pantai yang syahdu. Pantainya juga ga bersih-bersih banget. Apalagi wisatawan dalam negeri tipikal suka buang sampah sembarang. Tapi memang letak pantai Kuta yang dekat dengan pusat kota, membuatnya sebagai tempat yang gampang “disamperin” buat bertamasya.

Ada banyak cerita tentang Pantai Kuta, tentu saja beberapa tahun yang lalu video dokumenter Cowboy in Paradise dan video porno “Koreana” yang mengambil lokasi di Pantai Kuta sempat menggegerkan dunia pariwisata Bali.Tapi apakah itu satu-satunya, saya kira tidak. Pariwisata, di belahan dunia manapun, selalu memberikan efek yang sama, prostitusi dan perdagangan manusia. Beda negara, beda daerah, hanya masalah beda levelnya saja.

Lantas apakah kita harus menepiskan pariwisata? Tentu saja tidak. Saat ini, pariwisata merupakan tulang punggung perekonomian negeri ini. Lihat saja, pajak hotel, pajak restoran, dan pajak hiburan merupakan penyumbang terbesar PAD tiap daerah. Anda pasti akan terkaget-kaget dengan jumlah pemasukan dari beberapa pajak yang terkait dengan industry pariwisata bagi sumber PAD Bali. Bali adalah gambaran industry pariwisata yang sukses di tanah air. Kalo bisa digambarkan secara “kasar”, masyarakat Bali itu bisa hidup tanpa melakukan apapun, cukup mengandalkan pariwisata. Ini tidak hanya berlaku buat Bali, sadar atau tidak, kita semua (yang hidup di tempat yang terkenal dengan pariwisata) makan dari roda ekonomi bernama pariwisata.

Pilihan yang bisa kita buat adalah bagaimana menyikapi pariwisata dengan cara yang lebih baik. Tentu saja, masyarakat akan jauh lebih komersil setelah daerahnya menjadi lokasi pariwisata yang terkenal. Warga sekitar tempat wisata jadi “kaget pariwisata”. Bagaikan penderita efek “OKB” , orang yang tinggal di kawasan wisata (yang baru terkenal) menjadi penderita efek yang sama. Apa-apa dikomersilkan. Apa-apa dinilai dengan uang. Apa-apa diukur dengan uang. Kadang dengan kurang ajarnya mematok harga semaunya, itu namanya palak!

Bayangin ajah? Berfoto dengan warga local ajah, dikomersilkan. Belom lagi kita disuruh sumbang ini itu yang ga ada hubungannya. Kadang dipaksa-paksa buat membeli barang jualan mereka. Belom lagi harga sewa guide dengan label “seikhlasnya” kadang membuat saya bingung kudu ngasih berapa (maklum saya bukan traveler berbudget mahal). Nah, ada lagi tuh, toilet yang cuman numpang pipis ajah dipatok dengan harga yang jauh lebih tinggi dari tempat-tempat wisata di Jakarta.

Ini saya sadari setelah beberapa kali mengunjungi tempat wisata di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara dan beberapa kota wisata di luar negeri. Beberapa lokasi bahkan saya kunjungi sebelum tempatnya menjadi objek wisata, dan setelah ditulis media, sekarang menjadi salah satu destinasi wisata. Tentu saja saya merasakan efek perubahan, baik dari penataan lokasi wisata maupun dari sikap masyarakatnya sendiri. Beberapa, menuju arah yang jauh lebih baik. Tapi sebagian besar tidak.

Faktor kebersihan, keamanan dan kenyaman, tentu ikut jadi tolak ukur. Dan yang sering bikin kaget adalah bagaimana nilai-nilai adat kita menjadi makin kendur terhadap hal-hal yang menyimpang baik secara agama maupun secara sosial. Sangat disayangkan ya?

Kadang saya berpikir, apa masyarakat sekitar ga paham bahwa pariwisata adalah investasi jangka panjang. Wisatawan akan terus berdatangan jika mereka mendapatkan keindahan, tapi ada yang lebih penting lagi yaitu kenyaman dan keamanan. Sering banget khan dapet kata-kata “lebih aman jalan-jalan sendirian ke luar negeri, daripada jalan-jalan sendirian ke negeri sendiri”! Ironis ya, tapi saya sendiri mengakuinya lho? (tolong perbandingannya dengan negeri yang setara dengan negeri kita ya, jangan disamakan dengan jalan-jalan sendirian di negara berkonflik 😉 )

Tapi apapun itu, memang ada baiknya masyarakat kita di-didik “sadar wisata”, ini akan me-langgeng-kan konsep pariwisata itu sendiri. Membuat wisatawan datang, berkali-kali, bukankah itu malah jauh lebih menguntungkan daripada sekali datang, trus dipalak mahal, dan ga bakal datang-datang lagi?

Eh eh, meski begitu, saya kadang merasa bersalah lho, setiap  bikin tulisan tentang tempat-tempat wisata baru di blog ini. Kesannya kok saya memperkenalkan konsep “komersialisasi” pariwisata. Huahaha! Ini kok malah ngelantur tho ngomongnya, yuks kita balik lagi menikmati indahnya sunset di Pantai Kuta, sambil menikmati secangkir kopi panas *sruput* 😉

This slideshow requires JavaScript.

“…di pasir putih
kau genggam jemari tanganku
menatap mentari yang tenggelam…”
–Andre Hehanusa—

Selamat Menikmati Sunset di Pantai Kuta 😉

Tulisan Terbaru:

Advertisement

4 thoughts on “[Trip] Menunggu Sunset di Pantai Kuta Bali

  1. Ini bagusnya diubah aja judulnya menjadi kritikan untuk industri pariwisata di indonesia… hehehe tapi salut buat anda yang otaknya encer mengeluarin kalimat demi kalimat yang renyah dan enak di baca… keep post semoga sukses!

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

Please log in using one of these methods to post your comment:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.