Setelah menelusuri Telaga Warna dan Kawah Sikidang, sebenarnya kami mau masuk ke Dieng Plateau Theater, tapi rencana dibatalkan karena hari yang semakin sore dan cuaca mendung memaksa kami harus buru-buru menuju ke kompleks Candi Dieng.

Istilah Plateau biasanya diterjemahkan menjadi dataran tinggi. Istilah Dieng Plateau pertama kali digunakan oleh NJ Krom dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst (1923). Sebenarnya dalam buku ini juga ditulis tentang Siva Plateau yang merujuk pada candi-candi di kawasan selatan (sekarang masuk Jogja) seperti Candi Boko, Candi Ijo, Candi Banyunibo, dan Candi Barong. Tapi penyebutan Siva Plateau memang tidak terlalu populer dibandingkan Dieng Plateau.
Menurut Soetjipto Wirjosuparto dalam bukunya yang berjudul Sedjarah Bangunan Kuna Dieng (1957) , kompleks Dieng ini pertama kali dikunjungi tahun 1814 oleh H.C.Cornelius.

Dalam laporannya ditulis bahwa dataran Dieng masih berupa danau dan di antara candi-candinya ada yang terendam air. Baru setelah tahun 1856 J.van Kinsbergen membuat gambar candi-candi Dieng ini, sebelumnya air telaga yang mengelilinginya dialirkan terlebih dahulu sehingga dataran tinggi Dieng menjadi kering seperti yang kita kenal sekarang ini. Wow!
Luas keseluruhan kompleks Candi Dieng mencapai 1.8 x 0.8 km2. Candi-candi di kawasan Dieng Plateau terbagi dalam 3 kelompok dan 1 candi yang berdiri sendiri. Masing-masing candi dinamakan berdasarkan nama tokoh dalam cerita wayang yang diadopsi dari Kitab Mahabarata ala Jawa. Kenapa saya sebut ala Jawa, karena beberapa nama candi dinamakan dengan nama punakawan yang memang tidak ada di dalam kisah Mahabarata asli ala India.

Ketiga kelompok candi tersebut adalah Kelompok Candi Arjuna, Kelompok Gatutkaca, Kelompok Dwarawati dan satu candi yang berdiri sendiri adalah Candi Bima.

Kelompok Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri atas 4 candi yang berderet memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa.
Tepat di depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komples ini menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.

Kelompok Gatutkaca juga terdiri atas 5 candi, yaitu Candi Gatutkaca, Candi Setyaki, Candi Nakula, Candi Sadewa, Candi Petruk dan Candi Gareng, namun saat ini yang masih dapat dilihat bangunannya hanya Candi Gatutkaca. Keempat candi lainnya hanya tersisa tinggal reruntuhannya saja.
Lalu ada juga Kelompok Dwarawati yang terdiri atas 4 candi, yaitu Candi Dwarawati, Candi Abiyasa, Candi Pandu, dan Candi Margasari. Ditambah 1 lagi candi yang menyendiri di bukit, yaitu Candi Bima. Candi Bima merupakan bangunan terbesar di antara kumpulan Candi Dieng.


Sayangnya, sore itu karena kabut telah turun kami membatalkan untuk mblusukkan ke kompleks Candi Dwarawati dan Candi Bima. Perjalanan kami akhiri dengan ngaso sejenak di halaman parkir. Di sebrang halaman parkir ada sebuah museum tentang kompleks Candi Dieng.
Saya sempat membeli beberapa tanaman di perkompleks-an candi ini. Namun cukup repot juga membawanya pulang.

Sempat diingatkan juga oleh beberapa petugas di kompleks candi ini agar kami buru-buru pulang sebelum jam 5 sore, kondisi jalan yang turun dan berkabut sangat berbahaya bagi pengendara yang belum begitu kenal kawasan Dieng.
Jadi kami pun buru-buru pulang meski waktu itu hujan begitu deras. Jika pas berangkat kami bertemu dengan banyak tanjakan jahanam. Memang benar, jalan pulang lebih keren karena view dari dataran tinggi memungkinkan kita untuk bisa melihat pemandangan ke bawah secara keseluruhan. Kami pun pulang sambil berpacu melawan kabut.

Begitu adzan maghrib, kami pun menyempatkan diri istirahat sejenak, menikmati sore, menikmati kopi, dan pergi ke surau 😉 Selamat Jalan-Jalan!
*ini adalah dokumentasi acara Touring Team Sambang Alam ke Dieng pada tanggal 4 Januari 2010 yang lalu. Maaf, baru bisa di upload ke blog 😉
–The End–
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak