Pulang dari Desa Dome di Nglepen dan memastikan bahwa hujan tidak akan turun lagi. Saya dan Chandra bergegas untuk menuju Candi Barong. Tujuan utama kami adalah menikmati senja di atas candi tersebut.

Saya pun menuju utara melewati persawahan. Tanah setelah hujan, selain menimbulkan aroma basah juga membuat padi lebih hijau. Saya melewati desa dimana Candi Banyunibo berada. Setelah melewati gapura desa. Saya menuju rumah yang paling atas, paling belakang. Saya ga kenal dengan pemilik rumah secara formil, tapi saya sudah sangat sering memarkirkan motor di halaman rumahnya selama ini.
Kebetulan, rumah tersebut sedang sepi. Karena saya kebelet pipis (efek hujan), saya pun memberanikan diri untuk mengetuk rumah tersebut.
Kelucuannya malah dimulai gara-gara ini. Dari mulai mengetuk, hingga memanggil, kemudian teriak lanjut menggedor. Huahaha! Percaya ga, tetep ga ada jawaban lho. Padahal saya tau banget di dalam ada orang, mengingat ada suara tape yang begitu kencang dari dalam rumah. Awalnya saya pikir, “apa penghuni rumah ini pada ke kebon yaks?”. Tapi kok pintu rumah terbuka lebar.
Setelah berjibaku dengan suara tape yang kian kencang, muncullah dari dalam rumah dua orang, laki-laki dan perempuan seperti sepasang kekasih. Setelah saya ajak ngobrol dan mereka cuma bengong, saya baru ngeh kalo mereka ga bisa bicara normal kayak kita. Ohhh 😉 Untunglah rewang saya dirumah juga ga bisa ngomong, jadilah saya berbicara dengan bahasa isyarat.
Saya cuma ngomong sepele sih, mau numpang pipis karena teman saya dah kebelet dan titip motor. Huehehe. Sepele sih, tapi kalo ga tau cara ngomongnya ya tetep ajah ribet, karena dua anak tersebut ga sekolah tinggi untuk ukuran anak yang memiliki “gift” kayak mereka.
Ajaibnya, meski mereka ga bisa ngomong, tapi mereka berdua punya hape loh dan nampak pandai sms-an! Saya sempet bercanda dengan teman, “wah jangan-jangan mereka berdua punya akun twitter ya?” Hihihi 😉
Dari rumah tersebut, saya mulai trekking naik ke atas bukit. Jalur yang saya lewati memang jalur kampung, jalur yang biasanya dilewati para petani. Mblusukkan di antara sawah yang kering dan bukit yang setengah hutan kering, kami pun sampai di Candi Barong yang terletak tepat di atas bukit.
Sebenarnya ada jalan yang lebih mudah untuk sampai ke Candi Barong, tapi saya suka lewat jalur kampung, rasanya jadi warga local gitu lho!

Chandra baru pertama kali datang ke Candi Barong. Jadi dia ngerasa ajaib ajah di tengah kebon yang sepi kok ada candi 😉 Kami pun mulai mengambil photo. Ga banyak photo yang kami ambil, kami lebih asyik menikmati feel di atas candi. Pura-pura mbayangin candi tersebut kayak apa ribuan tahun yang lalu.
Sebelum sunset benar-benar turun. Datanglah rombongan photographer amatir, entah dari mana. Rombongan ini datang beramai-ramai lengkap dengan modelnya yang bule berkebaya.
Alhasil, sunset saya dipenuhi bunyi cekrik cekrik dari kamera-kamera keren. Hilanglah sudah feel saya menikmati senja di candi. Mana bisa berimajinasi kalo bunyi kamera lengkap dengan pengarah gaya teriak-teriak ada di sebelah kita. Fiuh!
Jika duduk di atas candi sambil menikmati senja adalah sebuah meditasi. Maka ini adalah meditasi yang gagal. Kami pun segera turun gunung sebelum langit benar-benar gelap. Selama perjalanan menuruni bukit, saya sempat berkata kepada Chandra: “beberapa tahun yang lalu, tempat ini tidak ada pengunjungnya. Tapi sekarang beda. Entah bagaimana beberapa tahun lalu”.
Nampaknya tambah susah saja mencari candi yang gratis, punya view sunset bagus, tapi ga rame di Jogja. Setiap inchi dari tanah ini sudah ditulis di media. Menarik minat setiap orang yang penasaran untuk datang dan datang lagi. Termasuk saya, termasuk kami, termasuk anda dan saya, termasuk kita. Benarkan?
Happy Travelling!
*untuk sejarah Candi Barong silahkan klik disini 😉
Tulisan Terbaru:
- Saya Belajar Menulis (Lagi)
- Menghirup Wangi Kopi Maison Daruma Roastery
- Tidak Hanya Sukses, Balkonjazz Festival 2019 Membuka Mata Dunia Keberadaan Balkondes
- Rainforest World Music Festival 2019 Hadir Lagi!
- 360 Dome Theatre, Destinasi Wisata Instagramable sekaligus Edukasi di Jogja
- Hipnotis Madihin dan Baju Berkulit Kayu di Festival Wisata Budaya Pasar Terapung 2018
- Menyusuri Romantisme Venesia dari Timur
- The Kingdom of Balkanopolis di panggung Rainforest World Music Festival 2018
- Gelombang Dahsyat At Adau di Rainforest World Music Festival Kuching 2018
- Semerbak Wangi Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak
- Merayakan Musik di Rainforest World Music Festival Kuching Sarawak