[Trip] Monumen Nasional Jakarta


Tugu Monumen Nasional Jakarta
Tugu Monumen Nasional Jakarta

Saya pertama kali menuju puncak Monas saat berumur 12 tahun, waktu itu acara studi tour dari SMP memang mengunjungi beberapa museum di Jakarta, Monas dan Museum Gajah menjadi salah dua diantara beberapa tujuan studi tour kami.

Kali kedua menuju Monas adalah saat saya kelas 1 SMA, acara studi tour juga. Tapi saya ga kebagian jatah naik ke puncak. Maklumlah, saat itu bukan kami satu-satunya rombongan studi tour di Monas, mesti berjejalan antri bersama puluhan siswa dari sekolah lain

Monas mulai dibangun tahun 1961 dengan arsitek bernama Sudarsono dan Frederich Silaban. Buku sejarah bercerita bahwa gagasan untuk membangun Monas datang dari Presiden Sukarno. Rancangannya pun berasal dari ide Presiden Sukarno yang menghendaki sebuah bangunan yang sangat Indonesia, yaitu lingga dan yoni.

Pas saya belajar sejarah, saat guru menerangkan tentang candi dan symbol, saya masih ingat sekali, bahwa guru melarang kami berpikiran tentang pornografi (hal-hal yang saru). Dulu, kami sekelas sering tertawa terbahak-bahak kalo guru selalu menjelaskan tentang makna Lingga dan Yoni. Lingga adalah lambang laki-laki berupa tugu. Dan yoni adalah lambang perempuan yang merupakan badan tugu. Lingga adalah gambaran dari Syiwa (Dewa Perusak), dan Yoni adalah gambaran dari Shakti (istri) Dewa Syiwa yaitu Dewi Parvati. Lingga mirip kemaluan laki-laki dan yoni mirip kemaluan perempuan. Saat keduanya digabungkan maka timbullah konsep “kesuburan”, barangkali semacam konsep “penciptaan” manusia awal. Itu sebabnya, pada daerah-daerah kering, banyak dibangun Candi Syiwa. Berbeda dengan Candi Wisnu yang umumnya dibangun pada daerah-daerah yang subur.

Dulu guru saya menekankan, kalo kami murid-muridnya, tidak boleh menertawakan saat belajar kedua lambang ini. Monumen Nasional merupakan lambang nyata wujud Lingga-Yoni yang bisa kita saksikan hingga hari ini *malah begitu besar dan begitu terbuka* Lantas bagian mana yang saru dan lucu? Begitu kira-kira guru memarahi kami 😉

Saya sendiri tidak pernah merasa ide Lingga-Yoni Monas berasal dari cirri khas orang Indonesia. Bagaimanapun Lingga-Yoni adalah lambang Syiwa-Parvati milik umat Hindu. Bahkan terkadang Monas lebih mirip dengan tugu Obelisk pada Kebudayaan Mesir Kuno. Dalam beberapa catatan sejarah, Lingga-Yoni (Tugu Monas) dimaknai dengan Alu-Lesung, alat penumbuk padi pada masyarakat petani tradisional. Kalo Monas dimaknai demikian, Monas menjadi lebih cocok untuk Soeharto daripada Soekarno, bukankah Soeharto adalah keturunan petani Jawa yang mengenal konsep Alu-Lesung. Berbeda dengan Soekarno, yang berdarah biru baik dari ayahnya yang Jawa, ataupun dari Ibunya yang Bali. Tapi apapun itu, Lingga-Yoni ataupun Alu-Lesung, keduanya memang bisa diterjemahkan sebagai konsep kesuburan. Guyonan yang malah muncul, katanya nenek moyang Bangsa Indonesia seorang Pelaut? Pelaut khan butuh penakluk gelombang (barangkali seperti tombak Neptunus) bukan peralatan pertanian. Huehehe.

Hingga bertahun-tahun kemudian, saya tidak pernah lagi ke Monas. Masa kuliah, saya membaca banyak buku. Ada beberapa novel sejarah yang sangat saya sukai, salah satunya Rahasia Meede milik ES Ito. Novel ini menawarkan perspektif lain, bagaimana jika Monas melambangkan sesuatu yang lain, bukan hanya Lingga-Yoni, tapi Monas pengejewantahan dari lambang VOC, pendiri kota Batavia. Bukankah Batavia adalah Jakarta di masa lalu.

Lambang VOC
Lambang VOC

Coba kalian lihat lebih dekat lambang Monas pada bagian bawah, bagian yang mewakili Yoni, sisi feminism. Tanpa tugu (yang tegak berdiri menjulang) lambang yoni tersebut lebih mirip dengan huruf V capital besar. Bandingkan dengan lambang VOC. Mirip khan?

Bagian Yoni Tugu Monas
Bagian Yoni Tugu Monas

ES Ito dalam tulisannya mengajak kita berkeliling kota Batavia, dengan iming-iming rahasia emas VOC. Ini semacam kisah petualangan berburu harta karun. Dan salah satu tempat yang menjadi “clue” lokasi penyimpanan harta karun adalah Monas. Fantasi dari buku inilah yang menjadi magnet buat saya menuju Monumen Nasional.

Ada juga sudut pandang lain. Sebuah buku berjudul The Jacatra Secret karya Rizki Ridyasmara. Buku milik Rizki Ridyasmara ini lebih banyak bercerita tentang bangunan-bangunan di Kota Jakarta yang konon adalah lambang illumination dan Freemason di Indonesia, Monas salah satunya. Illumination dan Freemason biasanya dikaitkan dengan Yahudi.

Buku ini cukup mengundang banyak reaksi, bahkan yang menolak dengan ide cerita buku ini, juga membuat banyak pledoi atas banyak bangunan di Indonesia. Gejolak penolakan tidak hanya di Jakarta, Jogja pun turut serta. Tugu Jogja, Gedung Agung, dan beberapa loji menjadi beberapa bangunan yang turut dibahas dalam buku ini, dan dikabarkan sebagai bagian dari bangunan milik Freemason, tentu saja ide cerita ini ditolak oleh masyarakat “pembaca symbol”.

Buat saya, ini menjadi menarik karena toh lambang Bintang Daud sebenarnya jauh lebih tua dari Nabi Daud dan Nabi Sulaiman sendiri. Ini adalah sebuah lambang yang sebenarnya juga dikenal jika kita mau belajar tentang Syiwa dalam konsep Kebudayaan Hindu Kuno. Bahkan penganut Islam dan Katholik, jika mau belajar jauh lebih banyak sejarah akan menemukan symbol bintang Daud dalam beberapa bangunan tua masjid dan gereja menurut wilayah persebarannya. Tapi yang saya pikirkan adalah kenapa sich diributkan kalo itu memang dilambangkan dengan bintang Daud, bukankah agama kita juga mengakui Nabi Daud sebagai salah satu nabi kita (dengan segala kontroversinya di Alkitab).

Meski begitu, buku ini cukup bagus dibaca, karena membuat kita menyadari tentang bangunan-bangunan tua di sekeliling yang awalnya belum kita sadari. Yang disayangkan, karena buku ini hadir setelah “The Da Vinci Code” terkenal, maka buku The Jacatra Secret seperti sebuah buku yang berlari di belakang buku milik Dan Brown tersebut, seperti follower 😉

Tugu Monumen Nasional Jakarta
Tugu Monumen Nasional Jakarta

Pembangunan Monas sendiri menghabiskan waktu yang begitu panjang. Pembangunan dimulai tahun 1961 dan baru dibuka untuk umum tahun 1975. Sejarah juga mencatat bagaimana pembangunan ini menghabiskan dana yang begitu banyak. Sebuah proyek Mercu Suar. Sebuah obsesi Bung Karno agar merasa sejajar dengan kemegahan bangsa lain. Monas dan Stadion Gelora Bung Karno adalah dua proyek kontroversial milik Soekarno. Bagaimana tidak? Kedua proyek ini dibangun saat bangsa kita sedang terpuruk kondisi ekonominya. Sejarah Indonesia mencatat uang proyek pembangunan harusnya bisa memberi makan banyak rakyat yang mati busung lapar, tapi malah dipergunakan membangun sebuah tugu raksasa demi obsesi Bung Karno. Untungnya jaman Pak Karno, media tidak sevulgar hari ini. Ga kebayang gimana komentar media, kalo Pak Karno hidup dijaman ini.

Data dari Wikipedia, puncak tugu Monas, terdapat lidah api yang dilapisi emas murni seberat 38kg. Emas ini sumbangan dari Teuku Markam, seorang Aceh. Kebayang ga, dengan emas sebanyak itu, berapa jumlah orang yang bisa diberi makan?

Paradoks lainnya, seandainya Soekarno tak pernah punya obsesi besar, kita tidak akan pernah memiliki Monas dan Stadion Gelora Bung Karno. Pilihan berat khan? 😉

Kalo saya boleh urun rembug tentang keadaan Monas hari ini, ada banyak hal yang ingin saya sampaikan. Naik ke puncak Monas adalah hal yang paling menarik buat wisatawan, sayangnya kami mesti antri berjam-jam untuk naik. Maklumlah, lift untuk naek ke puncak Monas hanya muat buat 11 orang. Sebenarnya ga masalah juga, ini demi ke-safety-an wisatawan. Tapi jelas, antri bukanlah hal yang menyenangkan *ciri khas manusia Indonesia*

Yang paling saya keluhkan, di bagian dalam cawan monumen di ruang Kemerdekaan yang berbentuk amphitheater, sering banget dijumpai pasangan muda-mudi yang lagi asyik-masyuk bercumbu. Halah! Kesan yang didapat, kok generasi muda kita ga menghargai sejarah bangsa sendiri ya. Malu lihatnya! Lha rata-rata masih berseragam sekolah menengah ;-( Hal miris lainnya, barangkali isu prostitusi di sekitar Monas di malam hari. Ga tau mesti komen apa tentang hal ini. Ujung-ujungnya cuma bisa nyanyi lagunya Armada, “mau dibawa kemana negara kitaaa…”

Tugu Monumen Nasional Jakarta
Tugu Monumen Nasional Jakarta

Terkubur jauh di perut bumi, tetapi bisa dilihat setiap hari.
Tersembunyi tetapi diketahui semua anak bangsa.
Terbenam tetapi sebenarnya mencumbu awan.
Penuh rahasia tetapi menjadi keseharian manusia Indonesia.
–ES ITO–

Selamat Berburu Harta Karun, Kawan!

Tulisan Terbaru: