Di hari pertama di tahun 2016 ini, saya ingin menulis sesuatu. Jika biasanya saya menulis buat diri sendiri agar blog tetap update, kali ini saya ingin menulis buat Bapak saya.
Tahun 2015 ini bisa dibilang adalah tahun yang berat buat saya. Saya mengawali tahun dgn pekerjaan baru, karena per 1 Januari saya dimutasi ke pekerjaan baru.
Namanya juga proses penyesuaian ke pekerjaan baru, tentu saja saya harus lbh giat belajar. Setidaknya, saya merasa begitu. Ada banyak hal yg harus saya pelajari. Tentunya, menyita waktu.
Tapi saya ga komplain dgn sibuknya penyesuaian ditempat baru. Saya tau, bahwa ini resiko pekerjaan.
Yang tidak saya sadari bahwa penyesuaian di tempat baru ini membuat saya menghabiskan banyak waktu buat bekerja. Pekerjaan yg kata orang, sangat enak, karena membuat saya bisa traveling ke banyak kota, sekaligus melelahkan dan menghabiskan banyak waktu dan tenaga.
Harap dicatat, diluar kantor dan pekerjaan utama, saya punya banyak sidejob. Jika pekerjaan utama membuat saya mengunjungi banyak kota besar, sidejob saya pun hampir sejenis, mengunjungi banyak kota lain dgn kuliner unik. Belum lagi, kadang saya melakukan traveling untuk urusan pribadi atau sekedar jalan-jalan bersama teman.
Biasanya, saat sedang di luar kota/ luar pulau/ luar negeri, saya menelpon bapak. Mengabarkan kisah tentang kota-kota yang saya kunjungi.
Saya jarang membeli cinderamata buat diri sendiri, satu-satunya orang yg sering saya belikan oleh-oleh adalah Bapak saya.
Bapak saya, 5 tahun terakhir ini memang sering sakit. Berulang kali saya mendapat kabar kalau Bapak dirawat di Rumah Sakit. Tapi di hari lain, Bapak begitu sehat dan segar bugar.
Pernah seorang teman bertanya, “hadiah ulang tahun apakah yg sering saya berikan ke Bapak?”.
Jawaban saya simple, “tiket pesawat PP ke kota mana saja yg Bapak saya inginkan”.
Teman saya sempat berkomentar, “Kalau hadiahnya adalah sebuah tiket perjalanan. Apakah kamu ga pernah khawatir dgn bapakmu? Bagaimana jika terjadi sesuatu selama perjalanan. Siapa yg menolong Bapakmu?”.
Saat pertanyaan ini terlontar, saya baru sadar bahwa hadiah saya buat Bapak selalu tentang traveling piyambakan.
Waktu itu jawaban saya begini, “Bapak saya itu mirip dgn saya. Sudah terbiasa dgn traveling. Seumur hidup, saya mengenal Bapak sebagai seorang yg lbh sering diluar kota, daripada di rumah”.
Itu benar. Bapak saya, diluar pekerjaan utamanya, beliau aktif di banyak kegiatan. Mulai dari PMI, Pramuka, ORARI, Ketua Komunitas Bonsai, hingga Mancing. Saya ingat sekali, waktu saya masih usia sekolah, Bapak saya bisa berhari-hari mancing di laut atau berhari-hari mblusukkan di hutan Palembang-Bengkulu mencari Bonsai.
Bapak juga pernah 2x naik haji. Pertama, sebagai pendamping kesehatan. Kedua, sebagai pendamping group.
Bapak saya, punya banyak pengalaman traveling piyambakan. Yang kalo dirunut satu per satu, barangkali jauh lbh banyak dari pengalaman saya, jadi kenapa kudu khawatir, pikir saya waktu itu.
Ada kisah lucu diantara Bapak, saya dan adik. Ada masa, dimana adik saya sering curhat, kalo Bapak sikapnya menyebalkan sekali. Hobby marah-marah di rumah. Penyebabnya jelas, skripsinya adik saya ga rampung-rampung.
Adik saya curhat, dia serba salah dihadapan Bapak. Kalo pas di rumah, diomeli terus. Kalo pergi, malah tambah dimarahin. Huahaha 😂 Jadi wajar kalo rumah suasananya ga asyik.
Waktu itu, saya punya ide. Biar Bapak ga marah-marah terus, kita piknik-an Bapak saja.
Jadilah saya hunting tiket. Saya putuskan membelikan Bapak tiket pesawat ke Palangkaraya PP, tapi via Surabaya.
Sahabat baik Bapak tinggal di Palangkaraya. Tapi saya juga bermaksud memberi Bapak kesempatan buat mengunjungi adik-adiknya yg semuanya tinggal di Pulau Jawa.
Gara-gara tiket pesawat Surabaya-Palangkaraya PP ini, Bapak pulang ke Lampung via Surabaya lagi.
Otomatis, Bapak mengunjungi adik-adiknya lagi. Jadi, Bapak memulai traveling dari Lampung-Jakarta-Jogja-Jombang-Surabaya-Palangkaraya.
Kemudian pulangnya, merunut lokasi yang sama lagi. Mulai dari Palangkaraya-Surabaya-Jombang-Solo dan kemudian ke Jogja bertemu saya.
Selama perjalanan itu, otomatis oleh-oleh dari Palangkaraya yg Bapak bawa habis diberikan buat adik-adiknya. Ini malah jadi cerita lucu, karena akhirnya Bapak pulang ke Lampung, tanpa membawa oleh-oleh dari Palangkaraya buat orang rumah 😂
Waktu itu bulan puasa. Bapak menghabiskan bbrp hari tinggal di Jogja. Saya menikmati hari-hari dimana saya berbuka dan sahur bersama Bapak. Kami ga banyak piknik keliling Jogja, tentu karena disiang hari saya mesti bekerja. Dan di malam hari, saya sibuk main. Iya. Saya anak yg nakal, bahkan saat Bapak di Jogja, saya masih sempat-sempatnya menghabiskan malam, ngopi bersama teman-teman padahal Bapak saya tinggal di kamar. Semoga Bapak memaafkan saya.
Waktu itu, saya tanya pada Bapak. Sudah menjelang Lebaran Idul Fitri, kenapa Bapak tidak tinggal lebih lama di Jombang, di tanah kelahiran Bapak? Kenapa tidak pulang ke Lampung setelah Lebaran saja?
Jawaban Bapak sederhana. Bapak kangen rumah 😂. Kata Bapak, “memang paling enak tinggal di rumah”. Saya pun tertawa lepas.
Saya cukup senang, akhirnya Bapak sadar bahwa se-sulit-sulitnya keadaan di rumah, tapi sejujurnya ga ada yg lebih indah dari rumah. Biar Bapak ga marah-marah lagi dirumah. Biar Bapak sadar, bahwa kami sakjane sayang banget sama Bapak. Jadi, tolong dihargai.
Setelah kejadian itu, hampir tiap tahun, saya membiayai traveling Bapak. Bbrp kali, saat saya dengar kabar Bapak sakit. Saya telpon dan bilang, “Ayo sembuh, Pak. Nanti kita traveling bareng lagi, kayak dulu”.
Saya menjanjikan pada Bapak, traveling bersama ke banyak tempat, misalnya ke Pulau Madura. Tapi rencana traveling bersama ini belum terlaksana. Saat saya punya waktu, Bapak sedang sakit. Saat Bapak sehat, saya sibuk kerja. Akhirnya, Bapak lbh banyak traveling sendirian.
Hingga hari itu datang. Akhir Agustus 2015. Saya ditelpon oleh adik saya, mengabarkan Bapak sedang sakit keras dan sakratul maut. Jam 11 malam, saya ditelpon agar bicara dengan Bapak.
Waktu itu, jantung saya berdebar-debar, tangan saya gemetar memegang telepon, dan suara saya pun tidak keluar.
“Mama takut ini adalah kesempatan terakhirmu bicara dengan Bapak. Maka bicaralah,” kata ibuku ditelepon.
Maka saya bicara ditelpon dengan suara di loudspeaker, “Bapak harus sembuh. Bapak harus kuat. Ada banyak janji yg belum saya penuhi buat Bapak. Ada banyak janji Bapak buat saya yg belum terlaksana. Ingat kan, Bapak janji buat mendampingi saya menikah? Bapak harus sembuh. Saya ingin menikah ditemani Bapak”.
Lalu, tangis saya pun pecah.
Malam itu, saya langsung mencari tiket tercepat yg bisa saya dapat buat pulang ke Lampung. Rasanya seperti sebuah mimpi buruk. Airmata saya ga berhenti mengalir sepanjang perjalanan.
Saya bilang pada diri saya, “Kuatlah. Tabahlah”. Tapi airmata saya, seperti diproduksi massal, tidak habis-habis sepanjang perjalanan Jogja-Jakarta-Lampung.
Hari itu Jumat. Bapak saya direncanakan dikubur sebelum sholat Jumat. Saya pun menangis.
Saya bilang pada teman Bapak yg mengurus jenasah Bapak di rumah, “Bisakah mengubur Bapak setelah saya sampai rumah? Saya ingin bertemu Bapak. Saya harus bertemu Bapak. Saya ingin memeluk Bapak dan bilang betapa saya sangat menyayangi Bapak”.
Keluarga di rumah menjawab, “Kalo dikubur setelah sholat jumat, takutnya semua tamu sudah pulang. Bapakmu harus segera dikuburkan”.
Saya ga peduli. Pokoknya, saya harus bertemu Bapak!
Saya rasa, itu jawaban yg paling egois yg pernah saya ucapkan di hadapan keluarga dan teman-teman Bapak saya.
Alhamdulillah. Semesta sedang berbaikhati, meski saya egois dan menyebalkan. Saya pulang tepat waktu. Perjalanan yg demikian panjang dan macet. Akhirnya, saya sampai rumah, tepat sebelum sholat jumatan.
Hari yg saya takutkan datang. Hari dimana saya pulang merantau dan melihat ada tarup dirumah. Bukan pernikahan, tapi kematian.
Saya ga peduli dengan banyaknya tamu di halaman rumah. Saya pulang cuma buat Bapak.
Saya langsung memeluk Bapak dan menangis sejadi-jadinya. Jenasah Bapak terlihat begitu bersih dan tampan.
Kalo digambarkan bagaimana perasaan saya waktu itu, rasanya hati saya adalah tanah, dan Bapak adalah pohon besar yg menaungi saya. Saat Bapak meninggal, rasanya pohon besar tsb seperti dicerabut dari hati saya. Kemudian hati saya terkoyak.
Sampai sekarang pun, saya masih ga percaya kalo Bapak sudah meninggal.
Dalam perasaan saya, Bapak sedang traveling ke kota lain atau memancing di laut hingga berhari-hari.
Setelah Bapak meninggal, saya mengalami bulan-bulan sibuk. Hampir tiap waktu, saya selalu berada di luar kota, entah itu di hari kerja ataupun di weekend.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menangis saat traveling. Entah itu saat duduk di atas pesawat atau saat saya mengunjungi toko oleh-oleh.
“Biasanya saya beli kaos, ikat kepala, kain sarung dari tiap kota sebagai oleh-oleh buat Bapak”, kata saya dalam hati. Kemudian mata berkaca-kaca.
Biasanya saya telpon Bapak saat diluarkota. Bercerita bagaimana hari itu di kota tsb. Menceritakan udaranya, kulinernya dan orang-orang lokal yg saya temui. Terutama di kota-kota yang Bapak punya kenangan tertentu, saya biasanya telepon Bapak. Dan saat ini tidak bisa.
Saya biasanya bilang begini, “coba bapak tebak, saat ini saya dikota mana?”. Lalu kami akan ngobrol sambil saya tertawa terbahak-bahak.
Hari ini 1 Januari 2016, tepat 128 hari meninggalnya Bapak. Saya hanya ingin bilang, “Selamat Tahun Baru, Bapak. Happy Traveling”
Selamat jalan-jalan, Bapak. Saya janji, saya akan mengunjungi kota-kota yang dulu saya janjikan akan kita kunjungi.
Percayalah, saya akan mengingat Bapak, persis seperti saat kita traveling bersama. Buat saya, Bapak tetap sehat, muda dan bahagia.
Sampai jumpa Bapak. Kelak, kita akan berkumpul lagi sahabat baikku, Bapakku tersayang. Akan saya ceritakan semua kisah hebat traveling saya buat bapak.
Terimakasih banyak buat hal-hal ajaib yg telah Bapak lakukan buat saya.
I Love U, Pak.
Happy Traveling! 😄