Pancasila Agawe Guyub


Buat saya pribadi, sangat menarik menyimak Hari Lahir Pancasila yang jatuh pada tiap 1 Juni. Bagaimana tidak?

1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila sejak masa Kusno (nama kecil Sukarno) berkuasa, tapi Orde Baru menghilangkannya dari Kalender Nasional.

Menggantinya dengan apa? Dengan Hari Kesaktian Pancasila.

Tapi sebenarnya sejak kapan 1 Juni jadi Hari Lahir Pancasila?

Dalam Risalah BPUPKI yang pertama terbit tahun 1959, di kata pengantarnya, Radjiman Wedyodiningrat – Ketua BPUPKI – menuliskan 1 Juni 1945 adalah Hari Lahir Pancasila, hari dimana Kusno berpidato pertama kali mengenalkan kata “Panca Sila”.

Kenapa Sila, bukan Dharma?

Dharma berarti kewajiban, kita membicarakan dasar. Sila artinya asas atau dasar dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.

Lima sila yang jika diperas jadi tiga sila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ke-Tuhan-an. Tiga sila yang jika diperas, jadi satu sila, yaitu: gotong royong. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.

Sidang I BPUPKI 28 Mei – 1 Juni 1945, kita membicarakan Dasar Negara. Mimpi yang sangat luar biasa ya?

Pinjam istilah Wong Jawa: “Pidato Sukarno ndakik-ndakik”. Terlalu tinggi. Merdeka saja belum, kok mikir Dasar Negara.

Tapi begitulah, Negara kita dibangun diatas mimpi. Mimpi hidup merdeka.

Banyak hal yang bisa dipelajari disana. Misal, ada 2 perempuan yang duduk di BPUPKI. Iya. Hanya ada 2 perempuan, satu perempuan dari Yogyakarta dan satu lagi dari Semarang.

Perempuan dari Semarang itu bernama Mr. Maria Ulfah Santoso. Beliau adalah perempuan pertama yang bergelar Meester in de Rechten di Negri kita. Lulusan Sarjana Hukum dari Leiden.

Perempuan satu lagi, berasal dari Yogyakarta bernama lengkap Siti Soekaptinah Soenarjo Mangoenpoespito. Istri dan sekaligus tokoh pergerakan: anggota Jong Java, Pemuda Indonesia, Ketua Pengurus Besar Jong Islamieten Bond Dames Afdeling, Penulis Kongres Perempuan Indonesia IV, Ketua Poetera bagian wanita di Jakarta, Ketua Pengurus Pusat Huzinkai, Anggota PB Perwari, Ketua Kowani Pusat, Ketua PB Masjumi Muslimat.

Bayangkan, di jaman seperti itu, betapa liberalnya negeri kita.

Di saat di Arab, perempuan tidak boleh keluar rumah sendirian, tidak boleh menyetir mobil. Di Negri kita, perempuan malah duduk sebagai Pembentuk Negara – The Founding Fathers – membicarakan Dasar Negara, Wilayah Negara, dan siapa saja yang bisa disebut Warga Negara.

Sungguh terlalu para leluhur kita!

Dari 60 anggota BPUPKI, 4 diantaranya adalah etnis Tionghoa, yaitu Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Liem Koen Hian, dan Mr. Tan Eng Hoa.

Dua lelaki Tionghoa yang disebut diawal adalah perwakilan dari Jawa Tengah. Putra Raja Gula dari Semarang – Oei Tiong Ham – ikut memikirkan dasar Negara kita.

Ada Frits Dahler, sahabat Douwess Dekker, pria ini Indo. Darahnya Belanda, tapi jiwanya Indonesia.

Ada Ki Bagoes Hadikoesoema dari Yogyakarta, ketua PP Muhammadiyah ke-5.

Ada KH. Abdoel Wachid Hasjim dari Jombang, ayah dari Gusdur, Ketua Madjelis Islam A’laa Indonesia.

Ada Abdoel Kahar Moezakir, yang berbarengan dengan sidang PPKI, beliau juga menjabat menjadi Rektor ke-1 UII 8 Juli 1945 – 1960.

Lalu, yang tidak boleh terlewatkan, tepat di hari ini: 1 Juni 1945. Seorang lelaki muda bernama Ahmad Rasyid Baswedan – pria Surabaya keturunan Arab – berpidato di atas podium: “Kebangsaan tidak berdasarkan keturunan, tapi menurut tempat dimana dia berada. Saya seorang Islam, maka saya nasionalis Indonesia”.

Saya Indonesia, Saya Pancasila.

Tabik!

 

One thought on “Pancasila Agawe Guyub

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.