“jadi, apakah kau bahagia bersamaku?”, tanyamu padaku
sore itu, gerimis menawarkan harum bunga kopi
dan sensasi tanah basah menyengat. yang perlahan mulai
membaur memenuhi teras rumah kita
entah kenapa mas, kau suka sekali
mengajukan pertanyaan yang sama berkali-kali.
padahal kau tahu dengan sangat. aku benci
menjelaskan isi pikiranku.
“ini adalah gerimis ke duapuluh dua”, gumamku
sudah berhari-hari gerimis tak mau berhenti
menciptakan simphoni kudus bagi anak-anak pertiwi.
menenggelamkan para petani dalam mimpi-mimpi
tentang panen dan hidup fana bagai ekspatriat di tivi
dan selewat sore yang penuh basah. angin kemarau
datang dari selatan. menerbangkan serat-serat randu
dan bunga ilalang yang gelisah mengikuti
naluri alam mencari sepetak rahim ‘tuk di diami
kau pasti sangat tahu. kalau aku sangat menyukai
rutinitas ini. gerimis yang sore. dan kau disini.
menemaniku. dalam pelukanmu.
seandainya kau tak perlu menjelma menjadi apapun atau siapapun, mas.
“jadi, apakah kau bahagia bersamaku?”, tanyamu memecah lamunanku
aku cuma ingin sebuah sore yang sederhana.
bersamamu menemaniku. hanya memelukku.
tak peduli apakah aku benar-benar bahagia
dengan dirimu. atau hanya dengan sel-sel di otakku.
tiba-tiba saja, aku merasa iri pada gerimis kali ini.
gerimis yang begitu lihainya memaksa kemarau
‘tuk berlutut mengalah dengan wajah bahagia.
ah mas, seandainya saja saya bisa seegois gerimis di musim ini.
memaksamu terus bahagia disampingku. sampai sore yang ke sepuluhribu.
Wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi.
mBeran, 27 Mei 2010.
Hmmmm… menggambarkan wanita yang kesepian.. sore yang ke sepuluh ribu berarti sekitar 27 tahunan.. padahal baru sore ke dua puluh dua..masih berharap 9978 sore lagi.. ckckck..
manggut manggut menyimak wae lah…