Perempuan 30%


Perempuan 30%.

Mumpung Hari Ibu, saya pengen share sedikit ttg perempuan dalam konteks pengambilan kebijakan publik.

Apakah kamu tau, bahwa di negri kita ada aturan bahwa tiap Partai Politik yg ingin jadi peserta Pemilu harus memenuhi kuota 30% untuk memberi ruang keterwakilan perempuan di Parlemen?

Peraturan ini, membuat Parpol, mau ga mau, suka ga suka, memberikan bbrp kursinya agar diduduki oleh Perempuan.

Kenapa sih harus ada peraturan semacam ini? Logikanya mudah. Perempuan, dlm budaya patriarki, menjadi manusia kelas 2.

“Ketidaksamaan” ini menimbulkan banyak tuntutan bahwa perempuan harusnya hadir sebagai pengambil keputusan-keputusan penting kaitannya dgn kebijakan publik. Tapi, bagaimana bisa turut menentukan kebijakan publik, kalo kesempatannya saja tidak ada?

Itu sebabnya, perempuan diberi kesempatan kuota 30%.

Apakah efektif?

Perempuan saat ini mmg banyak yg menduduki jabatan penting. Jabatan seksi. Seksi, karena selain menghasilkan banyak uang, tapi juga tiap keputusan yg mereka buat, mempengaruhi hidup banyak orang.

Bbrp pejabat memang layak dgn posisinya, karena sesuai dgn kompetensinya. Tapi, apakah semua?

Saya menemukan kasus, akibat kuota 30% ini, kadang bukan yg berkompeten yg menang duduk di kursi parlemen. Banyak yg saya temui, menang kursi parlemen dgn alasan entah apa.

Kompetensi yg tdk mendukung, ditambah Partai yg tidak memiliki sistem kaderisasi yg baik dan tidak adanya pendidikan politik membuat kualitas perempuan yg duduk di kursi parlemen menjadi sangat kurang.

Bagaimana bisa berjuang bagi kepentingan orang banyak, jika kualitasnya saja meragukan?

Jika tidak tahu apa yg diperjuangkan, bagaimana bisa masa depan hidup kita dititipkan ke mereka?

Dalam rapat-rapat penting kaitannya dgn pengambilan kebijakan publik, sangat minim sekali perempuan yg hadir. Ada yg hadir, tapi tdk memberikan kontribusi apapun. Yang lainnya, tidak hadir di rapat karena sibuk menjemput anak, sibuk “macak”, sibuk ngurusi rumah, dan banyak alasan lain.

Kemudian saya berpikir, lantas apa gunanya kuota 30%, kalo isinya hanya perempuan seperti ini?

Buat saya, kursi-kursi tsb tidak mengapa diisi laki-laki tapi memperjuangkan hak persamaan bagi perempuan, daripada diisi oleh perempuan, tapi tidak memperjuangkan apapun 😥

Perempuan kuota 30% ini seperti lupa bahwa mereka duduk di kursi-kursi tsb, dengan harapan yg begitu tinggi terhadap mereka. Yaitu, perubahan kualitas hidup bagi perempuan.

Bicara ttg sejarah gerakan perempuan, kita bisa merunut kembali ke era 22-25 Desember 1928. Era dimana perempuan dari Nusantara, menempuh perjalanan dgn kapal laut berhari-hari meninggalkan keluarga untuk datang ke Yogyakarta, menghadiri kongres membicarakan ttg agenda kemerdekaan dan perbaikan kualitas hidup perempuan.

Bahkan, di era itu, perempuan sudah maju berpikir dan bertindak untuk membuat perubahan bagi orang banyak. Itu adalah peristiwa bersejarah yg membuat hari ini kita memperingatinya sebagai Hari Ibu, meski lbh tepat disebut sebagai Hari Perempuan. Karena pada saat itulah, Gerakan Perempuan diakui dalam sejarah bangsa kita, sebagai sebuah Gerakan Organisasi.

Negri kita merubah sebuah Gerakan Perubahan Perempuan yg revolusioner, menjadi Hari Ibu yg diperingati dgn slogan “Mother Day” yg dijual oleh acara tivi, sinetron dan mall.

Jarang sekali kita mengenang Hari Ibu, dgn menghitung berapa banyak kebijakan publik yg pro perempuan? berapa jumlah peraturan yg ramah thdp karyawan perempuan? Berapa perempuan yg berkontribusi dalam kebijakan publik?

Atau jangan-jangan perempuan masih dalam konsep yg sama: macak, manak, masak?

Apapun yg terjadi; Selamat Hari Ibu. Selamat Hari Perempuan! Selamat menjadi bagian dari kuota 30%.

View on Path

monggo silahkan nyinyir disini ;-)

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.